Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Isya Anshori
TRIBUNJATIM.COM, KEDIRI - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kediri resmi menutup Tempat Penampungan Sementara (TPS) Plongko di Kecamatan Pare, Kediri, secara permanen mulai 1 Juli 2025.
Langkah ini diambil sebagai respons atas keluhan warga sekitar yang merasa terganggu dengan dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas TPS tersebut.
Dalam penutupannya, tampak area TPS yang ditutup dan diberi segel dengan tulisan TPS Plongko ditutup serta dilarang untuk buang sampah di area tersebut.
Selaim itu, masyarakat diminta untuk membuang sampah di TPS tersekat, yaitu TPS 3R Tulungrejo, Gedangsewu dan Pelem serta yang terdekat dengan lokasi rumah warga.
Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli Muda Dinas Lingkungan Hidup, Meika Dwi Nastiti menyebutkan, penutupan TPS Plongko telah mempertimbangkan aspek teknis, operasional, serta efisiensi sistem pengelolaan sampah secara keseluruhan.
"TPS Plongko memang sudah dinilai mengganggu. Namun sebelum ditutup, kami sudah menyiapkan strategi agar pengelolaan sampah warga tidak terputus. Salah satunya melalui penguatan peran desa," jelas Meika, Selasa (1/7/2025).
Peran yang dimaksud adalah DLH menggandeng sejumlah desa di wilayah perkotaan Pare seperti Tulungrejo, Pelem, Tertek, dan Kelurahan Pare, untuk mulai mandiri dalam menangani sampah warganya.
Setiap desa diberi keleluasaan menentukan sistem pengangkutan dan sanksi sosial guna mencegah warga membuang sampah sembarangan.
"Kami dorong desa berlangganan ke TPS 3R dan bisa mengatur secara mandiri mekanismenya. Harus ada komitmen bersama agar setelah TPS Plongko ditutup, tidak muncul TPS liar baru," tegas Meika.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap meningkatnya volume sampah di TPS lain, DLH juga sedang menyiapkan skema pengalihan armada dan rute ke TPS terdekat seperti area PMI, Pulosari, dan Jalan Kandangan.
Ritase atau perjalanan pengangkutan truk pun akan ditambah sesuai kebutuhan.
Tak hanya itu, DLH juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk berkontribusi secara nyata, terutama melalui pembayaran iuran sampah.
Meika menilai, retribusi adalah bentuk tanggung jawab bersama dalam menjaga kebersihan lingkungan.
"Kalau tidak mau bayar, artinya tidak ada partisipasi. Padahal TPS 3R butuh biaya operasional dan SDM. Ini tantangan terbesar kami," tambahnya.
DLH mendorong pemerintah desa agar membentuk kelembagaan pengelolaan sampah seperti BUMDes atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan bahkan memanfaatkan dana desa untuk pembangunan fasilitas pengolahan sampah.
Ke depan, DLH menargetkan seluruh desa di Kabupaten Kediri memiliki sistem pengelolaan sampah masing-masing.
Bentuknya bisa berupa TPS 3R, bank sampah, hingga program berbasis sosial seperti Gerakan Sodaqoh Rosok (GSR) atau Sedekah Barang Bekas (SBB).
"Penutupan TPS Plongko adalah awal dari pergeseran paradigma, dari pengelolaan terpusat ke partisipatif. Kami sedang susun peta jalan pengelolaan sampah 2025-2026 agar program ini bisa berkelanjutan," pungkas Meika.