Refleksi HUT Ke-79 Polri, Mewujudkan Perpolisian Masyarakat
Hari Widodo July 02, 2025 07:31 AM

Oleh: Joko Riyanto Alumnus Fakultas Hukum UNS

BANJARMASINPOST.CO.ID - Tepat pada tanggal 1 Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) genap berusia 79 tahun.

Dalam beberapa waktu belakangan ini, institusi Polri sedang disorot tajam oleh masyarakat. Dilihat dari faktor penyebabnya sangat bermacam-macam. Ikan busuk mulai dari kepalanya. Tak jarang kerusakan dimulai dari keinginan pribadi, termasuk dari anggota keluarga terdekat. Tak peduli itu perwira, bintara, atau tamtama; atasan atau bawahan.

Boleh jadi, hal itu akibat motivasi dari dalam diri sendiri yang menginginkan hidup mewah kaya-raya (terkadang berlebihan), bersama keluarga, meskipun banyak orang harus jadi korban.

Teori terjadinya kriminal pun berlaku; “ada niat, ada kesempatan” atau “kesempatan” yang menjadikannya terjerumus. Maka, ada polisi terlibat pemerasan, predator seksual anak, pemerkosa tahanan perempuan, rekayasa kasus, backing, premanisme hingga terliat judi online.

Tugas-tugas kepolisian secara universal adalah sebagai aparat penegak hukum (law enforcement), memerangi kejahatan (crime fighting), dan memelihara ketertiban umum (public order maintenance) serta fungsi pelyanan pada masyarakat (public services).

Dalam konteks nasional, tugas polisi Indonesia begitu luas dan kompleks karena selain dituntut menjamin berjalannya ketertiban sekaligus mematuhi dan menegakkan hukum (rule of law), tetapi juga harus melayani dan mengayomi masyarakat dengan baik. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 huruf c UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, pemantapan kepemimpinan dan profesionalisme penegak hukum dalam rangka mewujudkan supremasi hukum dan memelihara keamanan dalam negeri merupakan tugas Polri yang tidak ringan. Karena hal itu merupakan proses konsolidasi berkesinambungan yang tak kunjung usai karena sifatnya yang juga imajinatif. Yang dapat diharapkan dari hal itu adalah terjadi peningkatan gradasi dalam kualitasnya dari waktu ke waktu.

Polri merupakan ujung tombak penyelenggaraan keamanan dalam negeri dan juga sebagai “the gatekeeper of the criminal justice system” memang tengah mengalami masa yang paling sulit saat ini.  Bertumpuk persoalan, baik internal maupun eksternal tengah membebani Polri.

Masalah eksternal berkenaan dengan kondisi negara yang belum stabil dan masyarakat yang masih berada dalam dunia mispersepsi akan makna demokrasi yang diterjemahkan sebagai kebebasan sebesar-besarnya dan kalau mungkin tanpa batas (Atang Setiawan, 2009).

Upaya untuk mengedepankan Polri sesungguhnya mengandung konsekuensi kebijakan yang luas dan memiliki implikasi politis yang tidak ringan. Mengedepankan polisi tidak cukup dengan pemisahan Polri dari tubuh TNI. Yang lebih penting adalah pengembalian wewenang yang seharusnya berada di tangan Polri. Keberadaan Tap MPR No. VI dan No. VII MPR Tahun 2000 yang mengesahkan pemisahan Polri dari TNI diharapkan supaya polisi yang berwatak sipil atau bermitra dengan dengan masyarakat.

Polisi harus kembali pada habitatnya yang berwatak sipil. Hemat saya, tiga syarat yang dapat mengubah pemolisian masyarakat, yaitu pertama, kerja sama proaktif dan efektif antara polisi dan masyarakat yang berbasis pada keunikan tiap komunitas. Kedua, penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Ketiga, konsistensinya dalam menciptakan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum dan pelayanan.

Mungkin hanya polisi, di mana lembaganya berkelindan erat dengan masyarakat. Maka, pelajaran pertama menuju polisi baru adalah menyadarkan, tugas polisi meringankan penderitaan manusia (to grasp human suffering). Maka, kehadiran polisi yang menyakiti rakyat tak dapat dibiarkan.

Memang berat menjadi polisi ideal, tetapi itulah ongkos yang harus dibayar untuk membangun citra polisi. Maka, sejak sekarang, kita perlu membangun kepolisian bersama-sama, yaitu oleh polisi dan masyarakat sendiri. Kita menutup lembaran lama, di mana polisi dicitrakan sebagai lembaga yang penuh kekuatan, berhadapan dengan masyarakat (Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Masa Depan, 2008).

Institusi Bhayangkara telah mengagendakan reformasi Polri. Namun tekad itu hanya akan menjadi slogan manakala sejumlah persoalan di atas tersebut tidak bisa diurai dan dituntaskan.

Reformasi Polri membutuhkan keberanian untuk berintrospeksi dan memanfaatkan momentum yang muncul. Sikap yang berkesan defensif tidak akan membantu untuk memperbaiki citra, karena image hanya bisa diangkat dengan contoh-contoh sikap dan tindakan nyata.

Pengabdian yang mulia dan luas di masyarakat sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk membuktikan bahwa kepolisian mampu membenahi diri. Jangan malah mengesankan memperlebar jarak dari rakyat. Merekatkan jarak harus dimaknai bahwa polisi secara serius mengikuti, menyerap, dan mengekspresikan aspirasi rakyat.

Polisi mesti profesional dalam menjalankan tugas dan senantiasa dibarengi dengan akuntabilitas. Memang ini tidak mudah karena penuh dengan dinamika yang mesti didesain agar sejalan dengan kondisi psikologis masyarakat yang akan diayomi, dilayani, dan dilindungi.

Meski profesionalisme sering terabaikan saat polisi terdesak oleh kondisi tertentu saat bertugas di lapangan, amat mendasar dalam mengelaborasi kebutuhan masyarakat atas jaminan keamanan dan perlindungan. Di institusi kepolisian di dunia mana pun, profesionalisme selalu dijadikan standar untuk membangun citra yang baik.

Dalam usianya ke-79, dituntut kemandiran, integritas, netralitas, dan profesionalisme Polri. Polri adalah bagian dari pemerintah namun sekaligus sebagai hamba hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Perlu dihindari hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan umum. Harmonisasi dengan lembaga penegak hukum lain demi penegakan hukum yang baik.

Jangan sampai polisi terjebak pada permainan politik atau menjadi alat politik. Polri dituntut mampu mengamankan setiap tahapan demokrasi secara baik, bertanggung jawab, mampu mencegah terjadinya konflik, menjaga netralitasnya, serta mampu menjaga setiap kebijakan pemerintah secara profesional.

Revolusi mental ditubuh Polri sangat dibutuhkan untuk mengembalikan citra Polri. Revolusi mental dapat diwujudkan dalam bentuk menciptakan personel yang mempunyai kemampuan intelejensia dan tangguh di lapangan, membina anggota polisi untuk mengubah pelayanan buruk menjadi pelayanan prima, taat pada hukum, menjaga ketertiban dan pelindung masyarakat.

 HUT Bhayangkara Ke-79 dengan mengangkat tema “Polri untuk Masyarakat”, harus dijadikan momentum Polri untuk mewujudkan profesionalisme dan merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, serta bebas KKN, sehingga harapan polisi yang bersahabat dengan rakyat atau perpolisian masyarakat benar-benar dapat diwujudkan. Demikian.(*)

 

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.