TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok militan Hamas pada Rabu (2/7) menyatakan bahwa pihaknya tengah mempelajari proposal gencatan senjata ‘’final’’ di Palestina yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Proposal ini mengusulkan gencatan senjata 60 hari.
Kendati demikian, tuntutan Hamas agar Israel menarik pasukannya dari Gaza dan komitmen Israel untuk melenyapkan Hamas masih menjadi batu sandungan dalam mencapai kesepakatan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tekadnya untuk mengeliminasi Hamas.
"Tidak akan ada Hamas. Tidak akan ada 'Hamastan'. Kami tidak akan kembali ke sana. Itu sudah berakhir," kata Netanyahu dalam sebuah pertemuan di jalur pipa Trans-Israel, seperti dikutip dari Reuters pada Kamis (3/7/2025).
“Israel akan menghancurkan Hamas sampai ke fondasinya,” tambah Netanyahu.
Meskipun Trump pada Selasa (1/7) mengungkapkan kalau Israel telah menyetujui syarat-syarat gencatan senjata 60 hari, namun pernyataan kedua belah pihak akhir-akhir ini masih mencerminkan posisi lama mereka, minim indikasi kemajuan negosiasi.
Masyarakat Gaza menyambut kabar gencatan senjata ini dengan harapan campur aduk.
“Saya harap kali ini berhasil, bahkan jika hanya dua bulan, itu akan menyelamatkan ribuan nyawa tak bersalah,” kata Kamal, seorang warga kota Gaza melalui telepon.
"Kami harap ia serius seperti saat ia serius dalam perang Israel-Iran ketika ia mengatakan perang harus berhenti, dan itu berhenti," ujar Adnan Al-Assar, warga Khan Younis di Gaza Selatan.
Tekanan publik terhadap Netanyahu untuk mencapai gencatan senjata permanen terus meningkat, mengingat perang ini telah berlangsung hampir dua tahun.
Pada saat yang sama, serangan Amerika Serikat terhadap situs-situs nuklir Iran dan gencatan senjata yang disepakati bulan lalu dalam perang udara selama 12 hari antara Israel dan Iran, telah memberi tekanan pada Hamas yang didukung Iran.
Pemimpin Israel meyakini kalau melemahnya Iran akan membuka peluang bagi negara-negara lain di Timur-Tengah untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyatakan keseriusan Israel dalam mencapai kesepakatan terkait pertukaran sandera dan gencatan senjata.
“Ada beberapa tanda positif. Saya tidak ingin mengatakan lebih dari itu saat ini. Tapi tujuan kami adalah memulai pembicaraan proksimal sesegera mungkin,” sebutnya saat mengunjungi Estonia.
Dari 50 sandera Israel yang ditahan Hamas, sekitar 20 orang diantaranya diyakini masih hidup.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menyatakan bahwa partainya siap memberikan dukungan jika ada anggota kabinet yang menentang kesepakatan antara Israel dan Hamas.
Lapid berjanji untuk tidak mendukung mosi tidak percaya di parlemen yang dapat menggulingkan pemerintahan Netanyahu.
Pada akhir Mei, Hamas menyatakan bahwa mereka ingin melakukan penyesuaian (amandemen) terhadap proposal gencatan senjata yang didukung AS.
Namun, utusan Trump untuk Timur-Tengah, Steve Witkoff, menegaskan bahwa hal tersebut sama sekali tidak dapat diterima.
Proposal tersebut mengusulkan gencatan senjata 60 hari.
Sebagai bagian dari gencatan senjata 60 hari ini, Hamas diminta untuk membebaskan separuh sandera Israel yang mereka tahan.
Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan tahanan dan mengembalikan jenazah warga Palestina yang tewas.
Setelah tahap pertama dicapai, Hamas kembali diminta untuk mengembalikan sisa sandera sebagai bagian dari kesepakatan yang menjamin berakhirnya perang.
"Israel telah menyepakati syarat-syarat yang diperlukan untuk menyelesaikan GENCATAN SENJATA 60 Hari, di mana kami akan bekerja dengan semua pihak untuk mengakhiri Perang," tulis Trump pada Selasa, tanpa merinci syarat-syarat tersebut.
Dari pihak Hamas, sebuah sumber anonim yang dekat dengan kelompok militan tersebut mengatakan bahwa para pemimpinnya diperkirakan akan mendiskusikan proposal tersebut dan mencari klarifikasi dari mediator sebelum memberikan tanggapan resmi.
Di tengah upaya negosiasi, korban konflik terus berjatuhan.
Otoritas kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya 139 warga Palestina tewas di wilayah utara dan selatan dalam 24 jam terakhir akibat tembakan dan serangan militer Israel.
Salah satu korban tewas adalah Marwan Al-Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara, beserta istri dan kelima anaknya dalam serangan udara.
Militer Israel mengklaim bahwa pihaknya menargetkan "teroris kunci" Hamas di wilayah Kota Gaza.
Mereka menambahkan kalau pihaknya sedang meninjau laporan korban sipil dan menyatakan bahwa militer Israel menyesali kerugian yang menimpa individu yang tidak terlibat.
Militer Israel juga mengklaim mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan kerugian tersebut.
Sebagai informasi, pada 7 Oktober 2023 silam, Hamas menyerang Israel.
Serangan itu menewaskan 1.200 orang yang sebagian besar merupakan warga sipil, Hamas juga menculik 251 sandera yang dibawa ke Gaza, menurut data Israel.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan militer Israel setelahnya telah menewaskan lebih dari 57.000 warga Palestina yang sebagian besar merupakan warga sipil.
Hampir seluruh populasi yaitu sekitar 2,3 juta penduduk mengungsi.
Perang di Gaza ini juga telah memicu krisis kemanusiaan.(Grace Sanny Vania)