TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPRD DKI Jakarta mulai membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), setelah penyelesaiannya tertunda lebih dari satu dekade.
Sekjen Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Titik Suharyati mengatakan kebijakan KTR adalah bentuk investasi jangka panjang untuk melindungi anak-anak dari paparan asap rokok.
Selain itu, kebijakan tersebut diharapkan dapat menekan angka perokok anak yang dari tahun ke tahun kian mengkhawatirkan.
“Kebijakan ini berperan penting dalam menekan angka perokok anak yang semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun,” kata Titik kepada wartawan, Sabtu (5/7/2025).
Namun belakangan berhembus kekhawatiran bahwa Raperda KTR ini akan berdampak negatif pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Roosita Meilani Dewi mengatakan jika menilik data keuangan resmi DKI Jakarta, kekhawatiran tersebut terbantahkan dengan sendirinya.
Pasalnya selama satu dekade penerapan larangan iklan rokok melalui Pergub Nomor 1 Tahun 2015, penerimaan pajak reklame tetap mengalami tren stabil bahkan meningkat dari Rp714,9 miliar pada tahun 2015 menjadi Rp961,3 miliar pada 2024, di mana puncak tertinggi terjadi pada tahun 2022 dengan penerimaan Rp1,095 triliun.
Sementara dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019, jumlah pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok justru menempati urutan kedua setelah beras, yang mencapai Rp 79.226 per bulan.
Hal ini menunjukkan adanya beban ekonomi keluarga untuk peruntukan membeli rokok.
“Fakta ini membantah narasi bahwa promosi rokok diperlukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Justru, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok yang menempati urutan kedua setelah beras mencapai Rp79.226 per bulan, menunjukkan beban ekonomi yang justru ditanggung keluarga,” jelas Roosita.
CHED pun mendorong DPRD DKI Jakarta untuk segera mengesahkan Raperda Kawasan Tanpa Rokok dengan landasan utama untuk melindungi hak kesehatan masyarakat, menyelamatkan generasi muda dari adiksi nikotin dini, serta menguatkan konsistensi pengendalian tembakau di ibu kota.
“Ini adalah bentuk nyata dari implementasi hak atas hidup sehat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun,” kata Roosita.
Terpisah, Ketua Smoke Free Jakarta, Dollaris Riauaty Suhadi, menyatakan regulasi KTR harus disusun secara komprehensif.
Aturan ini wajib mencantumkan sanksi bagi pelanggar, serta perluasan cakupan larangan rokok elektrik, promosi dan sponsor.
“Raperda ini menyatukan berbagai kebijakan yang telah ada sebelumnya, termasuk aturan sanksi bagi pelanggar dan perluasan cakupan larangan pada rokok elektronik, promosi, dan sponsor rokok,” kata Dollaris.
Ia juga membantah klaim regulasi KTR akan merugikan usaha kecil.
Sebab belum ada bukti bahwa penerapan aturan ini mengganggu ekonomi lokal di kota-kota global yang sudah menerapkannya.
“Tidak ada bukti bahwa penerapan KTR mengganggu ekonomi lokal, baik di Jakarta maupun di kota-kota global lainnya. Penjualan warung dan UMKM tetap berjalan normal setelah larangan iklan rokok diberlakukan,” katanya.
Ketua Tobacco Control Support Centre Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Sumarjati Arjoso juga menekankan pentingnya keselarasan Raperda KTR dengan PP Nomor 28 Tahun 2024.
Ia berharap Raperda KTR tetap mempertahankan larangan total iklan rokok, dan larangan penjualan rokok elektronik, penjualan rokok batangan, serta integrasi layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM).