Guru Saryono 33 Tahun Mengajar Cuma Digaji Rp350 Ribu Tiap 3 Bulan, Hidupi Keluarga & 2 Kakak Ipar
Mujib Anwar July 06, 2025 12:30 PM

TRIBUNJATIM.COM - Seorang guru honorer di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bernama Saryono hanya digaji Rp350 ribu.

Diketahui, bahwa ia sudah 33 tahun berprofesi sebagai guru, namun Suryono hanya mendapat gaji kecil per bulan. 

Meski begitu, semangatnya untuk mencerdaskan anak bangsa tak pernah pudar.

Saryono mulai mengajar pada 1992.

Kala itu, ia masih berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah.

Saat awal-awal mengajar, Saryono hanya menerima gaji Rp10 ribu per bulan melalui Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari iuran masyarakat.

"Begitu susah payah. Saya dulu digajinya melalui SPP dari iuran masyarakat sebulan cuma Rp10 ribu."

"Tidak ada generasi di sini karena tempatnya juga jauh dari kota, terpencil, terisolir," ujar Saryono dilansir dari Tribun Jabar, Kamis (3/7/2025).

Kini setiap hari, ia menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer menggunakan sepeda motor.

Ia berangkat dari rumahnya ke Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tegal Panjang, Desa Sidamulya, Kecamatan Ciemas.

Demi pendidikan anak di pelosok terpenuhi, Saryono terus menekuni pekerjaannya.

Meski ia juga dibebani berbagai kebutuhan untuk menghidupi anak dan istrinya.

Selain menghidupi anak dan istri, dengan gaji Rp350 ribu yang ia terima tiap tiga bulan sekali, Saryono juga harus menanggung kehidupan dua kakak iparnya.

Sebab, dua saudaranya tersebut sudah tak bisa beraktivitas normal karena usianya yang renta.

Potret Saryono, seorang guru honorer di Sukabumi. Pria berusia 55 tahun ini hanya dibayar Rp350 ribu per tiga bulan dan kini berharap diangkat jadi PNS. Setiap hari, ia ke sekolah naik motor bekas yang ia beli tiga tahun lalu untuk menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer atau sekitar 30 menit untuk sampai ke sekolah. (Tribun Jabar/M Rizal Jalaludin)
Potret Saryono, seorang guru honorer di Sukabumi. Pria berusia 55 tahun ini hanya dibayar Rp350 ribu per tiga bulan dan kini berharap diangkat jadi PNS. Setiap hari, ia ke sekolah naik motor bekas yang ia beli tiga tahun lalu untuk menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer atau sekitar 30 menit untuk sampai ke sekolah. (Tribun Jabar/M Rizal Jalaludin)

Demi menghidupi keluarga, Saryono pun melakukan pekerjaan sampingan dengan bertani palawija, dibantu istrinya.

Istri Saryono juga membuka warung kecil-kecilan untuk membantu perekonomian keluarga.

"Agar bisa menunjang seluruh anggota keluarga, saya bertani palawija."

"Juga supaya istri ada kegiatan di rumah itu dagang kecil-kecilan," tutur Saryono.

"Kalau honorer dari sekolah sekarang itu cuma Rp350 ribu setiap triwulan sekali, karena begitu keluar BOS itu baru ada honor," bebernya.

Bahkan, cairnya gaji tiga bulan sekali itu pun jika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) cair.

Saryono sendiri sebenarnya telah beberapa kali mencoba peruntungan mengikuti tes keguruan, namun gagal.

"Saya juga udah beberapa kali melakukan ajuan-ajuan untuk menunjang kehidupan saya."

"Ikut testing juga untuk masalah GBS (Guru Bantu Sekolah) itu tahun 2005, sertifikasi juga sudah, tapi diangkat PNS belum, masih belum ada kabar," terangnya.

Saryono pun berharap pemerintah bisa membantunya dengan mengangkat dirinya menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sebab, ia sudah mengabdi puluhan tahun lamanya dan usianya pun telah menginjak 55 tahun.

"Harapan saya kepada pemerintah mohon dengan sangat untuk mengangkat saya baik melalui PPPK atau PNS secara otomatis."

"Karena apa, dilihat dari pengabdian begitu lama, usia begitu lanjut juga."

"Mau kapan lagi kalau-kalau saya nantinya tidak kebagian jatah, sedangkan pengabdian udah begitu lama," pungkasnya.

HONORER - Potret Saryono, seorang guru honorer di Sukabumi. Pria 55 tahun hanya dibayar Rp530 ribu per 3 bulan dan kini berharap diangkat jadi PNS.
Potret Saryono, seorang guru honorer di Sukabumi. Pria berusia 55 tahun ini hanya dibayar Rp350 ribu per tiga bulan dan kini berharap diangkat jadi PNS. (TribunJabar.id/M Rizal Jalaludin)

Di tempat lain, dua guru dari SDN Sare, Desa Komba, Kecamatan Kota Komba, Heribertus Minggus dan Elias Lema Tobi melakukan aksi kemanusiaan yang inspiratif.

Mereka meluangkan rezekinya dan waktu di luar jam mengajar untuk membantu Maria Sisilia Regi (53), yang akrab disapa Mama Sisi.

Mama Sisi merupakan seorang ibu tunggal yang tinggal di rumah reyot berukuran 2x3 meter.

Ia tinggal bersama delapan keponakan dan cucunya di Kampung Leke, Kelurahan Tanah Rata, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Melansir Kompas.com, Mama Sisi hidup sendiri setelah suaminya meninggal beberapa tahun lalu.

Rumahnya yang sederhana terletak di pinggir jalan Transflores Waelengga-Ruteng, berdinding bambu, atap seng karat, dan lantai tanah.

Bagian dalam rumah ditutup terpal untuk melindungi dari hujan.

"Saya pertama kali mendengar kisah pilu Mama Sisi dari warga," kata Minggus kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (26/6/2025).

"Setelah memastikan sendiri kondisinya, hati saya tergerak," imbuhnya.

Untuk menghidupi delapan keponakan dan cucunya, Mama Sisi berjualan keliling di Kota Borong, ibu kota Manggarai Timur.

Setiap pagi, ia berangkat pukul 06.00 atau 07.00 WITA dengan angkutan desa.

Mama Sisi menjajakan berbagai komoditas seperti buah pepaya, kelapa, daun sere, kemangi, ubi jalar, hingga ubi kayu.

Ia berjalan kaki dari toko ke toko, membawa bakul di kepala, dan pulang sekitar pukul 13.00 atau 14.00 WITA.

Tak jarang, ia tertinggal angkutan karena masih berkeliling.

Jika dagangannya laku, ia membeli 1-2 kg beras untuk makan malam bersama keluarganya.

Namun, jika tidak, ia pulang dengan tangan hampa.

Kisah Mama Sisi menggugah hati Minggus dan rekannya, Elias Lema Tobi, yang dikenal sebagai sukarelawan berjiwa besar.

"Kami punya motto: berbagi kasih dari kekurangan untuk sesama yang membutuhkan," kata Minggus.

Bersama, mereka mengunjungi Mama Sisi dan membawa sembako seperti beras dan telur dari rezeki pribadi.

Guru Heribertus Minggus berpose bersama Mama Maria Sisilia Regi (53) di depan rumah reyot di Kampung Leke, Kelurahan Tanah Rata, Kecamtan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Kamis, (26/6/2025).
Guru Heribertus Minggus bersama Mama Maria Sisilia Regi (53) di depan rumah reyot di Kampung Leke, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Kamis (26/6/2025). (KOMPAS.COM/DOK Guru Heribertus Minggus)

Pada Kamis (26/6/2025), Minggus dan Elias juga mendampingi Mama Sisi mengurus administrasi kependudukan di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Lehong.

Mereka membantu mengurus kartu keluarga (KK) dan merekam data untuk KTP elektronik.

"KK Mama Sisi sudah selesai, dan KTP elektroniknya bisa diambil minggu depan," ungkap Minggus.

Mama Sisi sangat bersyukur atas bantuan ini.

"Administrasi kependudukan yang beres sangat berarti baginya."

"Namun, rumahnya yang reyot masih butuh uluran tangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah," tambah Minggus.

Rumah Mama Sisi yang sederhana ini menjadi tempat tinggal bagi dirinya dan delapan keponakan serta cucunya, meskipun ia sendiri tidak memiliki anak kandung.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.