TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perusahaan teknologi global Microsoft resmi menghentikan operasinya di Pakistan setelah 25 tahun bergiat di negara tersebut.
Dikutip dari Wionews, Minggu (6/7/2025), Jawwad Rehman, sosok yang meluncurkan Microsoft di Pakistan pada tahun 2000, mengungkapkan kabar ini melalui unggahan di LinkedIn.
“Hari ini, saya mengetahui bahwa Microsoft secara resmi menutup operasinya di Pakistan. Beberapa karyawan yang tersisa diberi tahu secara resmi, dan begitu saja, sebuah era berakhir” tulis Rehman.
Hingga saat ini, Microsoft belum mengeluarkan pernyataan resmi ke publik mengenai penutupan tersebut.
Sejumlah faktor seperti pelemahan mata uang, tingginya hambatan impor terhadap teknologi, serta ketidakpastian politik yang terus berlanjut dinilai menciptakan lingkungan bisnis yang tidak ramah bagi perusahaan multinasional.
Microsoft resmi menghentikan operasinya di Pakistan setelah 25 tahun bergiat di negara tersebut.
Namun, banyak pihak memandang keputusan di Pakistan sebagai cerminan dari kondisi ekonomi dan politik dalam negeri yang semakin tidak stabil.
Faktor-faktor seperti nilai tukar yang terus melemah, pembatasan impor teknologi, serta ketidakpastian politik yang tak kunjung usai membuat iklim usaha menjadi tidak bersahabat.
Kondisi ini menjadikan operasional perusahaan global seperti Microsoft nyaris mustahil dilakukan secara efisien.
Hubungan Dagang dan Kepercayaan Investor Melemah
Penutupan ini terjadi di tengah situasi perdagangan bilateral Pakistan dengan India yang terus menurun dari USD 3 miliar pada 2018 menjadi hanya USD 1,2 miliar pada 2024.
Impor krusial, termasuk obat-obatan esensial, kini harus dialihkan melalui negara ketiga akibat hubungan diplomatik yang memburuk, sehingga menyebabkan keterlambatan dan biaya tambahan yang signifikan.
Penurunan perdagangan ini ikut memperlemah kepercayaan investor, sementara ketegangan geopolitik memperburuk kondisi ekonomi yang sudah rapuh.
Mantan Presiden Kaitkan Penutupan dengan Perubahan Rezim
Mantan Presiden Pakistan Arif Alvi menanggapi keras kabar tersebut.
Ia menyebut keputusan Microsoft sebagai 'anda yang meresahkan bagi masa depan ekonomi kita'.
Dalam unggahan di X (sebelumnya Twitter), Alvi menulis:
“Pakistan kini terjerumus dalam pusaran ketidakpastian. Pengangguran meningkat, talenta kita bermigrasi ke luar negeri, daya beli menurun, dan pemulihan ekonomi dalam konteks 'awami' (kerakyatan) terasa seperti mimpi yang jauh dan sulit diraih.”
Alvi juga mengenang pertemuannya dengan pendiri Microsoft, Bill Gates, pada Februari 2022.
Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas potensi investasi Microsoft di Pakistan.
“Saya bertanya langsung kepadanya, ‘Mengapa Microsoft tidak berinvestasi di Pakistan?’ Ia mencondongkan tubuhnya, lalu dengan percaya diri mengatakan bahwa ia baru saja berbicara dengan PM Imran Khan dan telah mengatur panggilan telepon antara PM dan CEO Microsoft, Satya Nadella".
Menurut Alvi, saat itu Gates menyampaikan bahwa akan ada pengumuman besar dalam dua bulan.
"Namun, segalanya berubah begitu cepat. Perubahan rezim mengacaukan rencana tersebut".
Indikator Ekonomi Pakistan Tertekan
Penutupan Microsoft terjadi di tengah tekanan besar terhadap ekonomi Pakistan.
Defisit perdagangan tahun fiskal 2024 tercatat sebesar USD 24,4 miliar, sementara cadangan devisa negara menyusut menjadi hanya USD 11,5 miliar pada pertengahan 2025. Kondisi ini berdampak langsung terhadap kemampuan impor teknologi dan melemahkan sentimen investor global.
Menurut Alvi, dialog politik saat ini sangat dibutuhkan.
“Opini publik, seperti yang diketahui banyak pihak, mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap proses dan tata kelola pemilu saat ini. Namun, mayoritas tetap meyakini bahwa dialog adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari krisis ini,” ujar Alvi.
Kepergian Microsoft menandai momen penting dalam ekosistem teknologi Pakistan dan mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas terhadap arah masa depan ekonomi negara tersebut.