TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Warga dibuat resah dengan proyek bangunan, yang lokasinya bersebelahan dengan Pura Penataran Ped, di Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Bali.
Diduga proyek itu milik seorang Warga Negara Asing (WNA) dan proses pembangunan tetap dilakukan walau tidak memiliki izin.
Ketua Pengempon Pura Penataran Ped Si Nyoman Sukarta menjelaskan, lokasi bangunan itu berjarak hanya sekitar 1 meter dari Pura Segara yang masih merupakan bagian dari Pura Penataran Ped.
Masyarakat, khususnya pengempon pura sudah keberatan dengan adanya pembangunan itu.
"Lahan itu memang milik warga lokal, tapi disewakan ke orang luar (WNA)," ujar Sukarta, Minggu 6 Juli 2025.
Awalnya pemilik bangunan, menyebut itu merupakan tempat tinggal. Namun warga tetap khawatir, bangunan itu dijadikan akomodasi wisata. Terlebih ada pembangunan kolam renang. Jarak bangunan yang terlalu dekat dengan pura, tentu telah melanggar radius suci pura dan dapat mengganggu aktivitas keagamaan.
Terlebih Pura Penataran Ped merupakan pura yang disakralkan masyarakat di Bali. Serta keberadaannya selama ini sangat dijaga oleh masyarakat setempat.
"Saya sebelumnya sudah koordinasi dengan pihak desa adat dan desa dinas. Bahkan sudah turun termasuk Satpol PP. Aktivitas proyek itu sudah sempat dihentikan, tapi entah kenapa kembali berlanjut," ujar Sukarta.
Hal serupa diungkapkan Ketua MDA Nusa Penida, I Wayan Sukla. Menurutnya bangunan sebenarnya ditolak oleh masyarakat di Nusa Penida. Karena dikhawatirkan keberadaannya dapat menodai tempat suci.
"Kami sudah sempat turun, bahasa awalnya disebutkan itu tempat tinggal, tidak untuk disewakan atau untuk kegiatan pariwisata. Sehingga sempat kami berikan batasan-batasan karena dibangun terlalu dekat dengan pura," ujarnya, Minggu 6 Juli 2025.
Di antaranya agar bangunan tidak bertingkat, tidak ada kolam renang, jarak bangunan dan tembok minimal 3 meter, dan tidak ada aktivitas yang dapat menodai tempat suci.
Namun dalam perkembangannya, ternyata di lokasi itu dibangun kolam renang. Jarak bangunan mepet dengan pura, bahkan dalam bangunan ada banyak kamar menyerupai vila privat.
"Kami terus berkoordinasi dengan pihak kecamatan. Karena kami dan desa adat tidak punya kewenangan kalau sampai menghentikan proyek itu. Kemarin bupati sudah hentikan proyek itu, semoga saja tidak berlanjut," jelas dia.
Menurutnya jika bangunan itu merupakan akomodasi wisata, pihaknya sangat keberatan.
Dirinya tidak anti investasi, namun investasi dengan saling menghargai.
"Pusat ngusaba setiap 2 tahun biasanya di lokasi itu. Kalau menjadi akomodasi wisata, tentu tidak nyaman bagi umat," ungkap dia. (mit)