Khalafiyah dalam Bidang Fiqih Ibadah
GH News July 07, 2025 05:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebuah kisah diceritakan, seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khathab: "Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air" (Maksudnya, apakah ia harus shalat atau tidak). Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air" 'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah Anda ingat. Dulu engkau dan aku pernah be-rada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah SAW Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian".

Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau hidup" (Fath al-Bari, 1:443). Yang dimaksud Ammar, kata Ibn Hajar, (Fath al-Bari, 1:457) "Aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku su-dah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah.

Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya-orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur 'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menen-tang pendapat Abdullah sekaligus madzhab Umar dengan mengutip ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum dengan tanah yang baik").

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pengetahuan yang mereka miliki sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy "Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah SAW ketika ia membaca ayat itu Engkau sendiri berada di pintu. Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak" (Tafsir Ibn Katsir 4:194).

Satu contoh lagi yang lebih konkrit, ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra yunya berkenaan dengan mandi janabah," kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri?" Kata Zaid: "Ya Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi "".

Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah SAW Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah SAW" Kata Umar:"Apakah Rasulullah SAW mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu". Lalu Umar mengumpul-kan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua khi-tan bertemu, wajib mandi".

Kata Umar: "Kalian sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin: "Tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri Rasulullah saw". Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah, Hafshah tidak tahu, 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi". Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia" (Al-Jawziyyah, n.d.: 63-64).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Buat orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah bagi perkembangan pemikiran. Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya" (Rakhmat, 1994).

Perbedaan pendapat di kalangan sahabat menandakan bahwa adanya multi tafsir dalam memaknai perkataan dan perbuataan Rasul. Rasulullah sendiri meniscayakan adanya perbedaan pendapat ini, dengan tidak mem-perdebatkan perbedaan yang terjadi pada sahabat. Jika di zaman Rasulullah masih hidup sudah terjadi perbedaan pendapat, apalagi setelah wafatnya Rasulullah. Karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bila umat Islam memiliki banyak madzhab dan macam-macam pendapat. ***

Sumber: Buku”Model Dakwah Islam: Penangkal Radikalisme dan Transnasionalisme” UNISMA 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.