Sejarah Pacu Jalur, Perlombaan Perahu Masyarakat Melayu Teluk Kuantan Riau yang Syarat Nilai Luhur
Moh. Habib Asyhad July 08, 2025 06:34 PM

Sejarah Pacu Jalur terlacak sejak abad ke-17. Tak sekadar lomba, Pacu Jalur menyimpan nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Orang-orang penting di negara ini tiba-tiba membicarakan Pacu Jalur, tradisi perlombaan perahu ala masyarakat Melayu di sekitar Batang Kuantan di Teluk Kuantan (Kota Taluk), Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Terlebih setelah perlombaan ini menjadi viral hingga mancanegara.

Sejarah Pacu Jalur

Mengutip situs PAN-RB, sejarah Pacu Jalur tercatat sejak abad ke-17, saat jalur atau perahu digunakan sebagai alat transportasi utama masyarakat Rantau Kuantan di sepanjang Sungai Kuantan. Pada masa itu, jalur berfungsi sebagai sarana untuk mengangkut hasil bumi dari hulu hingga hilir.

Jalur-jalur itu, seiring berkembangnya waktu, kemudian dihias dengan berbagai ornamen budaya lokal, seperti ukiran kepala ular dan buaya, yang menambah nilai estetika dan kebanggaan masyarakat setempat.

Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur dijadikan ajang hiburan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus. Setelah Indonesia merdeka, tradisi ini terus berkembang dan digunakan untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kini, Pacu Jalur telah menjadi pesta rakyat tahunan yang sangat meriah dan tercatat sebagai warisan budaya takbenda yang mendunia. Festival ini diadakan setiap tahun di Sungai Batang Kuantan dan selalu berhasil menarik perhatian masyarakat, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Mengutip Antara, Pacu Jalur adalah pesta rakyat kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Disebutkan bahwa tradisi ini berakar sejak abad ke-17, ketika perahu panjang yang oleh masyarakat setempat disebut "jalur" menjadi bagian dari moda transportasi utama masyarakat sekitar Sungai Kuantan.

Sungai ini membentang dari Hulu Kuantan di hulu dan Cerenti di hilir. Selain mengangkut 40 sampai 60 manusia, jalur biasa digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan seperti pisang dan tebu.

Masih menurut Antara, seiring waktu, jalur-jalur itu kemudian dihias sedemikian rupa dengan ukuran-ukiran yang artistik. Motifnya bermacam-macam, dari kepala ular, buaya, harimau, dan lain sebagainya. Belum lagi hiasan lain seperti payung, tali hias, selendang warna-warni, tiang tengah, lambai-lambai, yang semakin membuat jalur indah dipandang.

Konon katanya, hiasan pada jalur menentukan status sosial seseorang. Jika ada jalur yang berhias mewah, itu artinya pemiliknya adalah orang dengan status sosial tinggi. Entah kepala ada atau tokoh masyarakat.

Mengutip Kotajalur.kuansing.go.id, sekitar satu abad kemudian, masyarakat setempat kemudian menemukan sisi lain jalur: sebagai ajang adu kecepatan. Dari situlah kemudian digelar lomba adu cepat antar-jalur yang kelak populer dengan sebutan Pacu Jalur.

Masih dari sumber yang sama, Pacu Jalur awalnya diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan dalam rangka memperingati hari besar Islam. Tapi di masa kini, Pacu Jalur juga diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah kenapa setiap Agustus kampung-kampung di sekitar Sungai Kuantan begitu riuh oleh mereka yang hendak menyaksikan Pacu Jalur.

Dulu, ketika Belanda masih bercokol di Indonesia, Pacu Jalur digunakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat, hingga memperingati hari kelahiran Ratu Belanda Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus.

Yang identik dengan Pacu Jalur adalah anak pacu yang jumlahnya mencapai puluhan. Mengutip Kompas.com, mereka memiliki tugasnya masing-masing. Tugas itu dibagi sebagai Tukang Concang yaitu komandan atau pemberi aba-aba, Tukang Pinggang atau juru mudi, dan Tukang Onjai yang pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan.

Ada juga Tukang Tari yang membantu Tukang Onjai dalam memberi tekanan yang seimbang agar jalur dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Pacu Jalur aan dimulai dengan dentuman meriam sebanyak tiga kali. Dentuman pertama sebagai tanda untuk jalur-jalur menempatkan diri, dentuman kedua untuk posisi bersiap mengayuh dayung, dan dentuman ketiga untuk memulai perlombaan.

Pemenang Pacu Jalur tidak ditentukan oleh jumlah atau kekuatan pendayung namun sisi magis dari kayu yang dijadikan jalur serta kemampuan pawang dalam mengendalikan jalur.

Festival Pacu Jalur saat ini dikenal dan diadakan tiap tahun di Tepian Narosa, Teluk Kuantan. Perlombangan ini biasanya dihelat pada bulan Agustus, berdekatan dengan momen peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada momen ini biasanya masyarakat di daerah Kuansing dan sekitarnya akan berdatangan untuk menonton tradisi ini. Selain dapat menaikkan perekonomian setempat, hal ini juga dinilai dapat terus melestarikan tradisi Pacu Jalur yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud.

Selain keseruan perlombaan mendayung, variasi kostum serta seruan dari peserta di setiap jalur juga menarik bagi wisatawan yang menonton. Tak pelak jika pelaksanaan tradisi Pacu Jalur selalu disambut meriah oleh masyarakat Kuansing, wisatawan domestik, bahkan tersohor hingga mancanegara.

Yang identik lagi dengan Pacu Jalur adalah keberadaan Togak Luan. Togak Luan adalah anak kecil yang menari di ujung perahu yang melaju kencang, yang mengenakan pakaian adat dan tanjak Melayu Riau. Anak-anak inilah yang rasanya membuat Pacu Jalur menjadi terkenal dan belakangan dikaitkan dengan terma “Aura Farming”.

Terminologi Aura Farming sendiri adalah sebuah istilah untuk menggambarkan perilaku untuk mendapatkan perhatian dan kekaguman terutama secara online. Nah si Togak Luan ini, oleh kalangan pengguna media sosial, dianggap sangat berhasil melakukan kegiatan aura farming ini.

Mahviyen Trikon Putra, sebagaimana pengakuannya kepada Kompascom, dulunya adalah seorang Togak Luan. Dia menjelaskan, di atas jalur yang berpacu ada dua anak kecil: satu di depan (Togak Luan) dan satu di belakang yang disebut Tukang Onjai. Keduanya bertugas menggoyangkan jalur.

"Yang menari di haluan jalur itu memang hanya anak kecil, berusia sekitar 8 sampai 13 tahun. Dia bertugas memberikan semangat bagi anak pacu dalam mendayung jalurnya," jelas Mahviyen kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (3/7).

Dia menambahkan, anak yang berada di belakang jalur bertugas mengarahkan jalur ke kiri dan kanan. Dahulu, posisi ini diisi orang dewasa, namun kini digantikan oleh anak-anak untuk mengurangi beban jalur.

"Tarian yang dilakukan anak kecil di ujung jalur sebagai tanda bahwa jalurnya dalam posisi unggul," ungkapnya. Tarian tersebut dilakukan secara spontan dan menjadi daya tarik tersendiri, dengan gerakan yang tidak ditentukan, hanya mengikuti naluri sambil menjaga keseimbangan.

Tapi jika jalur kalah, si anak itu akan terduduk. "Karena jika tetap berdiri dan menari, itu menyampaikan informasi yang salah," tambahnya, diiringi tawa.

Kita juga sering melihat Togak Tuan melompat ke sungai, menurut Mahviyen, itu dilakukan supaya beban jalur berkurang. Dengan begitu, jalur diharapkan bisa melaju dengan lebih cepat.

Apakah sembarang anak bisa menjadi Togak Tuan, ternyata tidak. Syaratnya adalah bisa berenang, bisa menjaga keseimbangan, dan mempunyai mental yang kuat, begitu kata Mahviyen. Kenapa, “Karena jika mentalnya tidak kuat bisa jatuh ke sungai karena banyak yang menonton," tuturnya.

Mumpung sudah kadung viral, Mahviyen berharap ada Pacu Jalur kelas Internasional di Kuansing. "Semoga suatu hari nanti diadakan Pacu Jalur antar negara di Kuansing," harapnya.

Alhamdulillahnya, pemerintah tidak menutup mata dengan keberadaan tradisi ini -- sebelum keburu diakui oleh negara lain. Pada 2014, tradisi, pengetahuan, adat budaya, kesadaran biosentrisme dan praktik Pacu Jalur secara resmi diakui dan ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia sebagai bagian integral dari Warisan Budaya Nasional Tak-benda dari Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Indonesia.

Penetapan ini sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya tersebut, pemerintah Indonesia mendukung Festival Pacu Jalur yang diadakan setiap tahun di Kuantan Singingi dan mempromosikan pentingnya festival tersebut kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional, tim pemenang Pacu Jalur juga akan berkesempatan terpilih menjadi atlet nasional Indonesia untuk mewakili Indonesia di ajang balap perahu internasional – jika syaratnya terpenuhi.

Makna filosofis gerakan Pacu Jalur

Mengutip Antara, Pacu Jalur menyimpan makna filosofis bagi masyarakat Melayu Kuantan Singingi. Tak sekadar perlombaan, Pacu Jalur adalah "Cerminan nila-nilai kebersamaan, semangat juang, dan penghormatan terhadap alam yang telah menghidupi mereka sejak ratusan tahun silam," tulis Antara, 4 Juli 2025.

Pacu Jalur menyimpan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan sejak ia dibuat. Bayangkan, sebelum menebang pohon yang digunakan sebagai jalur, masyarakat harus melakukan ritual terlebih dahulu. Ritual ini dilakukan untuk meminta izin kepada alam yang telah memberi mereka segalanya.

Sebuah jalur biasanya akan diisi oleh 50 hingga 60 orang. Tidak semuanya adalah tukang dayung alias anak pacu. Ada juga Tukang Concang yang bertugas sebagai pemimpin tim dan pemberi aba-aba. Lalu ada Tukang Pinggang yang berperan sebagai juru mudi. Ada Tukang Onjai yang bertugas menjaga ritme kayuhan jalur. Lalu ada Anak Coki, ada juga yang menyebutnya Togak Luan, anaka kecil yang menari di depan.

Kenapa harus anak-anak yang menjadi Togak Luan, karena bobot mereka ringan sehingga perahu bisa melaju lebih cepat. Tapi yang juga penting adalah gerakan tari yang mereka hadirkan. Bukan sekadar hiburan, tarian-tarian itu juga menyimpan isyarat.

Masih menurut Antara, ketika Togak Luan membuat gerakan melambaikan tangan ke arah sungai itu tandanya wujud penghormataan kepada Batang Kuatan, sungai tempat mereka lomba dan juga jantung penghidupan mereka. Ketika Togak Luan membuat gerakan tangan terbuka ke atas, itu tandanya rasa syukur atas rezeki yang melimpah.

Saat sebuah jalur memimpin perlombaan, Togak Luan akan menari dengan semangat tinggi. Saat menjelang garis finish, mereka akan sujud syukur. Sebaliknya, ketika jalur kalah, gerakan mereka terlihat lebih lemas dan kurang bersemangat.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.