TIMESINDONESIA, SULAWESI TENGGARA – Secara normatif, tidak ada yang benar-benar lepas dari namanya plagiat. Jonathan Bailey mengatakan plagiat sudah hampir ada ketika awal mula seni dan bahasa ada. Istilah plagiat pertama kali digunakan pada tahun 80 M oleh penyair Romawi Martial.
Saat itu, orang-orang yang menjadi penyair diharapkan mampu membacakan karya-karya orang lain, namun Martial menyadari Fidentinus salah satu pembaca karya seni telah mengambil pengakuan dari karya yang dituliskan oleh Martial.
Perilaku plagiat memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Sampai saat ini, di era modern perilaku plagiat sudah menjadi satu budaya yang turun temurun dilakukan.
Hal ini adanya ketidakmampuan seseorang memproduksi ide dan gagasan dalam bentuk sebuah tulisan baik ilmiah maupun non ilmiah. Keputusasaan memuncak dan berakhir kepada pengakuan terhadap karya orang lain.
Plagiat adalah tindakan mengklaim karangan atau karya orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan ataupun karyanya sendiri. Pada dasarnya mengambil, mengutip kata, kalimat, ide dan teori tanpa memberitahukan identitas sumbernya adalah perilaku plagiat.
Fenomena plagiat yang terjadi di lingkungan Pendidikan, sangat mengkhawatirkan sekaligus memalukan. Moralitas sebagai output dari Pendidikan, bagaikan fatamorgana.
Seringkali para intelektual mengkhotbahkan agar menjadi insan yang baik dan jujur. Namun itu semua hancur Ketika praktik kejujuran justru hadir dari lembaga Pendidikan.
Moralitas sangat penting dimiliki bagi seorang manusia. Immanuel Kant melihat moralitas sebagai suatu kewajiban yang bersifat universal dengan prinsip-prinsip akal budi yang tertanam pada suatu masyarakat atau realitas sosial.
Dalam bukunya yang berjudul “Kritik Atas Akal Budi Praktis” ia menekankan bahwa moralitas dilakukan karena sebuah kewajiban untuk merawat norma-norma yang berlaku. Bukan sebaliknya, karena hanya inigin mendapatkan konsekuensi yang bersifat keuntungan untuk pribadi.
Tindakan plagiat yang terjadi di dunia Pendidikan tinggi, adalah tindakan yang disebut oleh Buya Syafii Marif sebagai orang yang tuna adab atau tuna moral.
Orang seperti ini, tidak memiliki kesadaran yang membantin dalam dirinya. Semua akan dilakukan untuk mencapai pengakuan, dan ia tidak peduli dengan cara apa pengakuan itu di dapatkan.
Dampak Buruknya
Tidak bisa dipungkiri, tuntutan akademik saat ini sangatlah menyulitkan bagi banyak orang. Misalkan saja, di perguruan tinggi ada kewajiban melakukan Tri Dharma Perguruan tinggi. Yaitu Pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat. Para Dosen dituntut untuk melakukan semua kegiatan itu.
Mhd Lailan Arqam seorang akademisi di Universitas Ahmad Dahlan mengatakan, seorang Dosen yang produktif setiap semesternya harus memiliki tulisan atau penelitian yang menjadi tanggungjawabnya selain melakukan pengajaran di kelas.
Beban administratif yang padat bisa menjadi cikal bakal terjadinya plagiat. Hal ini karena adanya desakan waktu yang harus terpenuhi, sementara pendidik masih bergelut dengan kelas yang belum selesai.
Begitupun pada mahasiswa lanjut. Syarat untuk dapat menyelesaikan kuliah dengan membuat penelitian yang diterbitkan oleh jurnal terakreditas sinta atau scopus kadang memberatkan.
Apalagi mahasiswa yang sejak dulu tidak memiliki pemahaman tentang karya tuis ilmiah. Ditambah dengan rasa malas yang tinggi, suka yang instan membuat praktik plagiat menjadi solusinya.
Thomas S Khun mengatakan ketika suatu pengetahuan tidak lagi menghadirkan solusi atas persoalan yang ada, maka dilakukanlah “revolusi ilmiah”. Revolusi ilmiah dalam pandangan Thomas S Khun ialah melakukan perubahan terhadap suatu pengetahuan yang tidak lagi cocok dengan realitas secara fundamental dalam paradigma baru agar dapat diterima oleh banyak kalangan.
Temuan survei penilaian integritas (SPI) tahun 2024 yang dirilis oleh KPK menunjukkan bahwa data kejujuran akademik menjadi potret integritas, menunjukkan data bahwa 78 % di sekolah dan 98% di kampus masih terjadi praktik menyontek.
Sebanyak 43% responden menyatakan bahwa praktik plagiarisme terjadi di kampus. Temuan lainnya 6% plagiarisme rentan terjadi di ruang sekolah.
Olehnya itu, untuk dapat keluar dari persoalan ini solusi terbaiknya adalah menumbuhkan kesadaran akademik dan menerapkan Permendiknas nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dengan kesadaran yang terbungkus aturan akan menghasilkan manusia yang memiliki moralitas.
***
*) Oleh : Asman, Pegiat literasi Asal Sulawesi Tenggara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.