Berkumpul, Bergerak, dan Berdampak
GH News July 14, 2025 02:03 AM

TIMESINDONESIA, BANTEN – Ada semacam kelegaan yang tak bisa diukur rumus matematika ataupun fisika, ketika para duduk melingkar, bersalaman, menatap wajah-wajah yang dulu sama-sama bangun subuh karena alarm toguren-bunyi suara ember dan seng kaleng dari para petugas jaga, atau dari pekik ustadz yang tak kenal kompromi.

P4NJ (Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid) Jabodetabek-Banten bukan sekadar deretan huruf, tapi perpanjangan rasa. Sebentuk paguyuban yang tak dibentuk oleh AD/ART, melainkan oleh pengalaman bersama, leket- membersihkan kamar mandi umum santri atau makan tabek bersama saat orang tua tiba. Bagi mereka, inilah tali pengikat hati dan kadang juga mengingatkan tagihan iuran.

P4NJ lebih dari paguyuban, ia adalah simpul rasa bagi para santri alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid yang kini berseliweran di belantara kota, ada Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga tanah jawara Banten. 

Ia menjadi ruang berlabuhnya ingatan dan silaturahmi, tempat obrolan ngalor-ngidul melompat dari kitab kuning ke sabar menanti antrean KRL atau kemacetan ibu kota, dari hikmah pondok ke politik warung kopi. Semuanya dibungkus oleh rasa satu almamater yang tak lekang oleh jarak dan zaman. 

Lebih dari sekadar reuni atau majelis ta'lim, P4NJ adalah pertemuan batin tempat visi perjuangan bersilang dan saling menyinari, dengan keberpihakan pada kemaslahatan umat, kemajuan pesantren, kesejahteraan masyarakat, dan kemanusiaan yang melintasi zaman.

Pintu paguyuban ini terbuka lebar-lebar bukan hanya bagi santri, tapi siapapun yang membawa semangat sama untuk menyambung cita-cita pesantren dan membumikan ajarannya. Atau hanya sekedar ingin singgah sebentar. 

Semangat ini berakar pada pesan pendiri pesantren, KH. Zaini Abd Mun’im kepada santrinya, “Santri Nurul Jadid yang pulang ke masyarakat sudah menjadi milik masyarakat dan mereka harus bekerjasama dengan semua pihak". 

Maka, P4NJ menolak terkurung dalam kotak nostalgia. Mereka memilih menjadi jembatan, agar tak ada satu pun ruang hidup umat yang tak disentuh oleh kasih dan cita perjuangan kehidupan umat.

Berkumpul merupakan langkah permulaan. Tapi semua sadar, berkumpul saja tidak cukup. Kata seorang kawan dalam obrolan yang lebih serius dari wajahnya sendiri, “Kalau cuma ngumpul, semua orang juga bisa. Tapi ngumpul yang bisa bawa berkat dan kesejahteraan bagi yang datang itu yang luar biasa.” Kalimat itu menancap seperti paku pada papan sederhana tapi menguatkan.

Nilai yang dibawa dari pesantren bukan sekedar ijazah. Akhlak dan ilmu bermanfaat itulah yang diperjuangkan dalam bentuk kerja sosial, pendidikan, dan pemberdayaan. Dan memang begitulah hidup santri seharusnya: bukan sekadar menabung pahala di mushaf dan sajadah, melainkan menyemai manfaat di tengah masyarakat. 

Seperti ditegaskan Pendiri pesantren, “Saya tidak rela kalau santri saya tidak berjuang di masyarakat. Orang yang hidup di Indonesia, kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah melakukan maksiat". 

Kalimat itu menyetrika hati yang mulai kusut oleh kenyamanan. Mereka  yang semula berpikir bahwa kesalehan santri cukup dengan hafalan kitab dan beribadah tiap malam, mengangguk paham bahwa ada tugas yang lebih besar. Menjadi bagian dari perjuangan masyarakat. Bukan menjadi elit yang lupa jalan pulang, melainkan menjadi pelita kecil, menyala di jalanan becek masyarakat. Sebab hidup bukan soal keselamatan pribadi, tapi keberkahan yang lahir dari kebermanfaatan.  

P4NJ Jabodetabek-Banten pun berikhtiar. Bukan jadi paguyuban nostalgia. Tapi jadi perkumpulan yang memberi ruang bagi anggotanya untuk berekspresi, bereksplorasi, dan saling mengapresiasi. 

Di dalamnya, ada mereka yang jadi guru, aktivis, politisi, pebisnis, penulis, PNS, bahkan driver ojek online yang tidak malu untuk bergerak tanpa kasta. Hanya niat menebar manfaat yang jadi penggerak.

Kegiatan yang dilakukan pun bukan seremoni kosong. Ada pelatihan, diskusi, santunan, penguatan ekonomi, dan pengabdian di berbagai lini kehidupan masyarakat. Mereka tak menunggu dunia menjadi baik dulu baru bergerak. Justru karena dunia belum cukup baik. Dalam kesibukan dan rutinitas, mereka belajar mengelola waktu, pikiran, dan dompet yang kadang saling berebut prioritas.

Tentu, tidak semuanya ideal. Kadang rapat molor, kadang program mandek, kadang iuran tersendat. Tapi itulah dinamika organisasi yang dijalankan dengan cinta, bukan target margin. 

Dari hal kecil itulah energi besar bisa tumbuh. Dari obrolan warung kopi, bisa lahir gerakan literasi. Dari reuni kecil bisa terbentuk koperasi. Dari tegur sapa, menjelma semangat transformasi.

Bagi sebagian orang yang terlibat, P4NJ bukan kendaraan mencari panggung. Tapi kendaraan pulang ke akar. Ke asal mula kami belajar mencintai ilmu, menyayangi sesama, dan berani berkata benar meski kalah jumlah, dan pahit. 

Santri itu bukan sekadar status, tapi kesanggupan untuk membawa cahaya pesantren keluar temboknya. Hidup bukan soal jadi siapa? tapi bisa memberi apa?. Santri sejati bukan soal sarung atau gelar, melainkan sikap. Tetap merunduk ketika dipuji, dan tetap berdiri ketika dibenci.

P4NJ bukan organisasi sempurna, ia ruang yang tulus. Di sinilah tempat santri dan umat yang datang dengan wajah lelah, bisa duduk bersama, bertukar cerita, dan merancang sesuatu yang berdampak, tidak harus megah, tapi mengena. 

Dalam kebersamaan yang hangat ini, mereka tidak sekadar hadir, tapi kehadiran untuk berbagi, memberi manfaat. Tak sekadar berkumpul, tapi berkumpul, bergerak dan memberikan dampak positif. 

Itulah yang membuat P4NJ Jabodetabek-Banten bukan hanya paguyuban, tapi sebuah ikhtiar sosial yang bergerak, dengan cinta yang terus tumbuh, dengan dampak positif yang terus menjelma. Menjadi santri adalah amanat perjuangan yang tak boleh luntur. 

Jika berkumpul hanya untuk nostalgia, warisan perjuangan berubah jadi pesta. Tapi bila dari kumpulan lahir gerakan yang memberkahi dan berdampak buat masyarakat, itulah jalan pulang menuju harapan kiai dan ridha Ilahi.  

Di tengah dunia yang semakin gaduh dan egois, P4NJ mencoba hadir sebagai kelompok kecil yang menolak ego besar. Mungkin tak menggema di media sosial, tapi semoga terdengar di langit. Dan siapapun yang merasa menjadi bagian dari jalan kebaikan, mestinya tak pernah merasa cukup dengan sekadar datang, duduk, dan pulang. 

Sebab, Jika berkumpul itu nikmat, bergerak adalah jihad, maka berdampak adalah berkhidmat. Semoga dari secangkir kopi bersama, lahir cita-cita besar: masyarakat bukan hanya ramai, tapi berkah. (*)

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.