Masyarakat Indonesia yang begitu tergantung terhadap beras sedang bimbang gara-gara isu beras oplosan. Kok ada yang tega ya mengoplos makanan pokok kita?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Belakangan ramai beras oplosan di beberapa ritel yang tersebar di Indonesia. Bagaimanapun juga, masyarakat kita sudah sangat tergantung dengan beras, sehingga apa pun jenis beras ya diterima-terima saja, entah itu beras oplosan atau beras "beneran".
Artikel ini akan mencoba melacar akar ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras, terhadap Oriza satifa, tumbuhan yang dipercaya pertama di tumbuh di dataran China itu.
Menurut investigas Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri, sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id, setidaknyada 212 merek beras yang tak sesuai dengan label dan standar mutu yang beredar di pasaran, termasuk beras oplosan. Pertanyaan pun menyeruak, siapa yang mesti bertanggung jawab atas hal ini?
Ada beberapa hal yang "kok tega banget" yang ditemukan dalam investigasi. Di antaranya ada merek beras kemasan yang tulsiannya 5 kg eh isinya cuma 4,5 kg. Ada juga beras yang diklaim sebagai premium eh ternyata kualitasnya biasa-biasa saja.
"Praktik semacam ini tak hanya merugikan konsumen, tapi juga menimbulkan gejolak harga di pasar," tulis Kontan.co.id.
Terkait hal itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa pengawasan langsung terhadap produk beras bukanlah tugas lembaganya. "Nah kalau pengawasan, ada Satgas Pangan. Iya dong. Kan bagi-bagi tugas, kalau Badan Pangan ikut masuk sampai ke situ kan enggak,” kata Arief saat ditemui di gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
Kompas.com merilis daftar merek-merek beras apa saja yang disinyalir oplosan. Dalam artikel bertanggal 15 Juli 2025 disebutkan bahwa Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri tengah memeriksa empat produsen beras terkait dugaan pelanggaran beras oplosan.
Sebanyak empat produsen beras diduga melakukan pelanggaran mutu dan takaran beras. Keempat perusahaan tersebut adalah Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Sejumlah perusahaan ini diketahui mengelola beberapa merek beras yang saat ini ada di pasaran.
Daftar merek yang terseret kasus beras oplosan Wilmar Group, misalnya, mengelola Sania, Sovia, Fortune, dan Siip. Merek-merek ini ikut terseret dalam proses penyelidikan Polri. Selain itu, beras premium seperti Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos yang diproduksi oleh Food Station Tjipinang Jaya juga masuk dalam daftar.
Sementara merek lainnya adalah Raja Platinum dan Raja Ultima produksi PT Belitang Panen Raya, serta merek Ayana milik PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Adapun perusahaan yang telah dimintai keterangan oleh Satgas Pangan Polri di antaranya adalah Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Pemeriksaan dilakukan berdasarkan sampel beras kemasan dari berbagai daerah yang sebelumnya dikumpulkan oleh Satgas Pangan Polri.
Miris ya, sepertinya ketergantungan kita terhadap beras telah dimanfaatkan oleh produsen-produsen culas yang tak bertanggung jawab. Nah, sebenarnya sejak kapan masyarakat Indonesia tergantung terhadap beras?
Akar ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras
Sejarawan yang konsen terhadap isu-isu gastronomi, Fadly Rahman, dalam Dialog Sejarah Historia: Keberagaman Pangan di Nusantara yang tayang di kanal YouTube Historia pada 2021 lalu mengatakan bahwa ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras erat kaitannya dengan kebijakan keseragaman pangan selama Orde Baru.
Saat itu kita mengenal istilah swasembada beras yang disebut-sebut sebagai salah satu pencapaian tertinggi pemerintahan Orde Baru. Namun kalau ditarik pada periode lebih jauh, bukan sejak Orde Baru, tapi sudah sejak era Mataram, kerajaan agraris yang, kata Fadli, sangat berorientasi pada beras. Dia bilang, pada masa Kerajaan Mataram, kewibawaan seorang penguasa atau raja ditentukan dalam keberhasilan memakmurkan pangan rakyat yaitu beras.
"Pada zaman kekuasaan VOC sampai Hindia Belanda, produski dan ekspansi beras juga sangat tampak," papar Fadly, dikutip dari Kompas.com.
Fadly juga menjelaskan bahwa botanis Jerman yang bekerja pada VOC, Rumphius, mencatat posisi beras sebagai komoditas yang sangat dominan dalam niaga antarpulau Nusantara. Pada masa itu, orang Maluku menilai beras nilainya sangat prestisus dibandingkan makanan pokok yang sudah ada yakni sagu dan umbi-umbian.
VOC yang terobsesi pada rempah-rempah, banyak meminggirkan pangan sebagai komoditas ekonomi yang sebenarnya bisa didorong. Pada akhirnya banyak lahan pangan terbengkalai karena banyak penduduk pribumi yang dipaksa menanam komoditas yang dirasa menguntungkan.
"Diversifikasi pangan yang melimpah terpinggirkan malah semakin tinggi konsumsi beras meminggirkan konsumsi pangan lain," tambahnya.
Fadly mengatakan pada masa itu peneliti pangan dari Belanda sampai heran meilihat kebiasaan orang Jawa yang memperlakukan ketela sebagai tanaman pekarangan atau hanya sampingan dari padi. Padahal gizi ketela tak kalah dari padi.
Ketika itu, dia mengatakan sudah banyak peneliti pangan yang mengkritik kebijakan politik dagang pemerintah yang menyingkirkan komoditas pangan selain beras. Pakar gizi saat itu berusaha membingkai selera dan cara berpikir masayarakat pribumi di Hindia Belanda supaya tidak berorientasi pada satu jenis makanan pokok atau karbohidrat.
"Ini juga alasan program Empat Sehat Lima Sempurna pada 1950-an, yang mengadopsi dari ahli gizi di zaman kolonial," kata Fadly. "Ada hal yang tidak terjadi dari dulu sampai sekarang, ketidakmampuan dalam sinergi pangan dari hulu ke hilir."
Seiring waktu, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap besar terus meningkat. Mengutip National Geographic Indonesia, angka yang awalnya 53,5 persen pada 1954 -- di mana angka itu sudah cukup besar -- meningkat menjadi 74,6 persen pada 2017. Data tersebut disampaikan oleh Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, dalam Forum Bumi yang digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara, Jakarta, pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Masuknya beras ke Indonesia berutang besar terhadap migrasi penduduk di Asia. Dari China daratan, beras menyeberang ke Jepang, kemudian ke Taiwan, kemudian ke Filipina, lalu ke Sulawesi, lalu ke Jawa.
Sementara menurut dosen UGM Riska Ayu Purnamasari dalam tulisannya menjelaskan bahwa ketergantungan beras di Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh kebijakan era Orde Lama dan Orde Baru. "Setelah Indonesia merdeka, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Soekarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia," tulis Riska.
Upaya intensif dilakukan untuk meningkatkan produksi beras di Indonesia antara lain Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959–1961). Namun keduanya gagal karena situasi politik dalam negeri tidak stabil, di samping masalah keterbatasan anggaran, kesulitan logistik, dan strategi harga yang gagal.
Orde Baru kemudian mengeluarkan kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian. Di samping itu, Orde Baru juga punya kebijakan transmigrasi untuk mencetak sawah di luar Jawa -- dan itu tentu saja punya pengaruh besar terhadap ketergantungan masyatakat kita terhadap beras.
Dari mana datangnya padi?
Mengutip Kompas.com, menurut hasil penelitian para arkeologi bidang pangan ditemukan dua peninggalan sejarah mengenai padi. Pertama ada ahli yang mengatakan bahwa padi adalah tanaman endemik Nusantara, kedua padi dibawa oleh orang China dan India. "Sebelumnya masyarakat Nusantara makanan pokoknya adalah umbi-umbian, tetapi pada masa Hindu-Buddha pedagang Tionghoa dan India membawa padi, lalu oleh masyarakat lokal dibudidayakan dan menjadi makanan pokok," tutur Fadly pada Kompas.com, Rabu (16/09/2020).
Bukti bahwa padi sudah dibudidayakan di Indonesia terpahat dalam relief Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Terlihat bagaimana nenek moyang bangsa Indonesia merupakan petani padi yang handal.
Dia bilang, budidaya padi juga tertulis dalam naskah kuno Nusantara. "Dalam naskah-naskah kuno salah satunya Negarakertagama ditulis pada masa kekuasaan Majapahit bahwa padi yang dibudidayakan secara luas," katanya.
Fadly mengatakan bahwa makanan pokok masyarakat Indonesia sejak amsa kerajaan kuno hingga kini tetaplah beras. Meski begitu,katanya,beras yang masyarakat Indonesia makan saat ini berbeda dengan zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Apa bedanya?
Menurutnya, jenis beras yang sekarang dikonsumsi berasal dari padi yang dibawa orang China dan India. Sementara beras yang dimakan nenek moyang datang dari Afrika. "Menurut para ahli pangan bisa dilihat dari segi teknik pembudidayaan, pemupukannya dan jenis padinya pun sudah berbeda," jelas Fadly. "Beras yang dimakan masyarakat dahulu adalah Oryza glaberrima, ini warnanya hitam pekat tapi beras yang kita konsumsi sekarang ini adalah Oryza sativa dan berwarna putih."