Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat menyumbang angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia.
"NTB (tertinggi angka perkawinan anak)," kata Pribudiarta Nur Sitepu di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, penyebab tingginya angka perkawinan anak di daerah tersebut beragam, di antaranya pengaruh adat dan budaya, ekonomi, pengetahuan masyarakat, perkembangan teknologi, hingga dekadensi moral.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik 2023, NTB memiliki persentase tertinggi untuk perempuan yang menikah saat usia anak sebesar 17,32 persen.
Pemerintah terus memperkuat strategi kolaborasi multipihak dalam upaya menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.
"Komitmen kolektif untuk mengatasi perkawinan anak telah dituangkan dalam kebijakan lintas sektor Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 - 2024. Melalui Stranas PPA, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi jumlah perkawinan anak di Indonesia melalui lima strategi utama," kata Pribudiarta Nur Sitepu.
Lima strategi tersebut yaitu optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Perkawinan usia anak memiliki dampak negatif yang luas, yakni meningkatnya risiko kekerasan dalam rumah tangga, meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, bayi berisiko mengalami stunting dan berat badan lahir rendah, dan memicu masalah kesehatan mental.
Perkawinan anak juga berdampak anak kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan, melanggengkan kemiskinan, dan menurunkan kualitas sumber daya manusia.