Jakarta (ANTARA) - Babak baru Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) mulai terlaksana. Banyak kanal media melaporkan bahwa pemerintah akan kembali mengguyur pasar dengan beras murah melalui program SPHP mulai akhir Juni 2025.
Namun, penyaluran beras murah kali ini berbeda, distribusinya tidak dilakukan secara nasional, melainkan hanya ditujukan untuk daerah-daerah yang benar-benar membutuhkan, terutama wilayah Indonesia Timur seperti Papua dan Maluku Utara.
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa SPHP tahun ini tidak akan digelontorkan sepanjang tahun sebagaimana sebelumnya.
Pemerintah memilih pendekatan yang lebih selektif dan tepat sasaran, agar keseimbangan harga di tingkat petani dan konsumen tetap terjaga. SPHP hanya akan dikeluarkan sesuai peruntukannya.
“Jadi, misalnya ketika kita menghadapi masa tidak panen atau panennya terbatas dan dibutuhkan stabilisasi harga serta pasokan, saat itulah SPHP akan digelontorkan. Pemerintah menugaskan Bulog untuk melaksanakan ini dengan seizin rapat terbatas atau rapat koordinasi terbatas,” ujar Arief.
Ia juga menambahkan bahwa SPHP sempat dihentikan usai Februari lalu karena pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani agar tetap berada di kisaran Rp6.500 per kg.
Pertanyaannya kemudian, mengapa pemerintah kembali berencana menggelontorkan beras SPHP pada akhir Juni 2025, atau bahkan mempercepat pelaksanaannya?
Alasan utamanya tampak pada ketersediaan stok. Cadangan Beras Pemerintah (CBP) saat ini mencapai 4,2 juta ton, dan gudang Bulog pun memiliki stok berlimpah.
Kondisi ini membuat pemerintah mempertimbangkan berbagai langkah strategis untuk menjaga keseimbangan sistem pangan nasional.
Beberapa alasan yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah antara lain: pertama, menjaga stabilitas harga.
Dengan menggelontorkan SPHP, pemerintah dapat menahan gejolak harga beras di pasar agar tetap terjangkau oleh masyarakat luas.
Kedua, mengurangi risiko kerusakan akibat kelebihan stok. Beras yang terlalu lama disimpan di gudang bisa menurun kualitasnya. Dengan menyalurkan stok yang ada, pemerintah menghindari potensi kerugian tersebut.
Ketiga, meningkatkan ketersediaan beras di pasar. Melalui distribusi SPHP, masyarakat memiliki akses yang lebih mudah terhadap komoditas pokok ini, terlebih menjelang masa paceklik atau saat harga pasar mulai naik.
Keempat, mendukung program bantuan pangan. Pemerintah dapat memanfaatkan stok beras yang ada untuk mendukung program seperti bantuan sosial (bansos) beras bagi masyarakat miskin dan rentan.
Dengan kata lain, SPHP tidak hanya menjadi instrumen pengendalian harga, tetapi juga alat penting dalam menjamin ketahanan pangan nasional serta perlindungan sosial masyarakat.
Ada Tantangan
Meski demikian, penyaluran SPHP juga memiliki tantangan. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah penurunan harga gabah di tingkat petani akibat membanjirnya beras murah di pasar.
Jika harga gabah turun terlalu rendah, petani berpotensi mengalami kerugian karena biaya produksi tidak tertutupi. Hal ini tentu menjadi perhatian serius mengingat petani adalah aktor utama dalam sistem pangan nasional.
Risiko lain adalah meningkatnya ketergantungan pada impor. Jika distribusi SPHP tidak seimbang dengan ketersediaan produksi domestik, maka celah kebutuhan bisa saja ditutup dengan beras impor.
Ini bisa melemahkan posisi petani lokal dan membuat sistem pangan nasional kurang mandiri. Selain itu, kualitas beras SPHP juga harus dijaga. Jika yang disalurkan ke pasar adalah beras dengan mutu rendah, maka konsumen bisa dirugikan.
Namun, tantangan-tantangan tersebut bukan tanpa solusi. Pemerintah dapat melakukan sejumlah langkah antisipatif untuk mengurangi risiko, di antaranya adalah pengaturan volume pasokan.
Penyaluran SPHP perlu disesuaikan dengan situasi pasar dan kalender panen agar tidak menekan harga gabah lokal secara drastis.
Kebijakan harga pun harus diatur dengan cermat. Pemerintah dapat menetapkan harga SPHP sedemikian rupa sehingga tetap kompetitif di pasar, namun tidak merugikan petani.
Selain itu, kualitas beras yang didistribusikan juga harus dijaga agar tetap sesuai standar dan tidak mengecewakan konsumen.
Dengan pendekatan yang tepat dan pengelolaan yang profesional, pemerintah melalui Perum Bulog memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa program SPHP berjalan optimal dan memberikan manfaat nyata bagi semua pihak.
Ini membutuhkan koordinasi yang baik antar lembaga, termasuk kementerian teknis, pemerintah daerah, serta pelaku pasar.
Pada akhirnya, dengan digelontorkannya beras SPHP, sejumlah harapan pun mengemuka. Pertama, stabilitas harga beras bisa dijaga, yang berarti masyarakat tidak perlu khawatir akan lonjakan harga mendadak. Kedua, ketersediaan beras di pasaran tetap terjaga, terutama di wilayah-wilayah yang rawan gejolak pangan.
Ketiga, inflasi dapat ditekan. Beras merupakan komoditas strategis dalam penentuan angka inflasi, sehingga pengendalian harganya turut berkontribusi menjaga kestabilan ekonomi nasional.
Keempat, kesejahteraan masyarakat meningkat. Beras yang mudah dijangkau akan membantu memenuhi kebutuhan dasar keluarga, yang pada gilirannya turut mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kelima, pengentasan kemiskinan. Melalui bantuan pangan yang tepat sasaran, kelompok masyarakat miskin dan rentan dapat lebih terbantu, terutama dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Dengan demikian, program SPHP berpotensi besar menjadi kebijakan yang multi-manfaat: menjaga stabilitas pasar, melindungi petani, memastikan ketersediaan bahan pangan pokok, sekaligus memperkuat perlindungan sosial masyarakat.
Tentu saja semua ini bergantung pada implementasi di lapangan yang tepat, terukur, dan konsisten.
Sekarang, tinggal bagaimana komitmen semua pemangku kepentingan, terutama Perum Bulog sebagai operator utama, mampu menjalankan peran strategis ini secara serius dan profesional.
Ini semua tak lain demi mewujudkan tujuan besar ketahanan pangan nasional yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.