Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengeliminasi hepatitis di tanah air melalui penerapan empat gerakan “atasi”.

“Penanggulangan hepatitis bukan semata tanggung jawab Kemenkes atau dokter spesialis. Ini adalah tugas kita bersama. Mari, kita putuskan penularan hepatitis, baik secara vertikal maupun horizontal,” kata anggota Komite Ahli Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Kemenkes RI David H. Mulyono dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Empat gerakan "atasi" itu meliputi atasi ketidaktahuan dengan edukasi, atasi keterlambatan diagnosis dengan skrining, atasi akses terbatas dengan memperluas layanan gratis, dan atasi stigma dengan empati serta solidaritas.

Hal tersebut dia sampaikan saat menghadiri temu media secara daring yang bertema "Bergerak Bersama, Putuskan Penularan Hepatitis” pada Selasa (22/7). Temu media itu digelar untuk memperingati Hari Hepatitis Sedunia (HHS) 2025.

Menurut David, peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2025 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen dalam mengeliminasi hepatitis B dan C pada tahun 2030.

Berikutnya, David menyoroti mengenai pentingnya pendekatan yang bersifat spesifik dan terdesentralisasi dalam penanggulangan hepatitis.



“Saat ini, tiga negara, China, India, dan Indonesia menanggung lebih dari 50 persen beban hepatitis B dunia. Jika Indonesia mampu mengeliminasi hepatitis, kontribusinya terhadap kesehatan global akan sangat signifikan,” ujar dia.

Ia lalu menyampaikan, lebih dari dua juta infeksi baru dan 1,4 juta kematian terjadi setiap tahun akibat hepatitis. Di Indonesia, ucapnya melanjutkan, kasus hepatitis dengan prevalensi tinggi masih ditemukan di wilayah seperti Maluku dan Papua.

“Lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia belum memiliki kekebalan terhadap hepatitis B. Ini adalah populasi rentan yang bisa menjadi penderita di masa depan jika tidak segera ditangani melalui imunisasi dan skrining dini,” ujarnya.

David lalu menegaskan bahwa strategi eliminasi tidak bisa memakai pendekatan tunggal karena setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda. Ia menilai pendekatan lokal yang melibatkan tokoh agama, adat, dan masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Ia juga menyoroti pentingnya desentralisasi layanan diagnosis dan terapi dalam mengatasi hepatitis.

“Tes dan pengobatan harus tersedia hingga ke tingkat puskesmas. Ibu hamil atau pasien di daerah terpencil harus bisa mendapatkan pengobatan tepat waktu,” kata dia.

Dengan kemajuan dalam imunisasi bayi, menurut David, pemberian antivirus bagi ibu hamil, dan penyediaan tablet antivirus untuk hepatitis C, Indonesia memiliki peluang besar mencapai target eliminasi. Namun, David berpandangan keberhasilan upaya itu sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan keterlibatan aktif masyarakat.


Baca juga: Kemenkes intensif deteksi hepatitis ibu hamil, tekan penularan ke bayi