TRIBUNJATIM.COM - Seorang pria bernama Indra Kurniawan (30) rugi Rp 171 juta karena menjadi korban penipuan.
Indra tertipu jasa pembuatan furnitur atau mebel.
Merasa kesal, Indra melaporkan kasus ini ke Polsek Tambora, Jakarta Barat.
Pelaku pun terungkap berinisial RA (34).
Kapolsek Tambora Kompol Muhammad Kukuh Islami mengatakan bahwa peristiwa itu bermula ketika Indra sedang mencari jasa pembuatan furnitur melalui media sosial Facebook pada Oktober 2024.
Kemudian, Indra menemukan akun pelaku RA dalam sebuah grup Facebook yang mengaku mampu mengerjakan proyek interior, termasuk pembuatan meja, lemari, hingga dapur.
Merasa cocok, lalu korban mengajak pelaku bertemu di rumahnya.
"Kemudian, korban dan pelaku sepakat bertemu di kediaman korban di Jalan Laksa IV, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, pukul 16.05 WIB," kata Kukuh dalam konferensi pers, Rabu (23/7/2025).
"Dalam pertemuan itu dibahas detail proyek dan disepakati total biaya sebesar Rp 180 juta disertai Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan surat perjanjian kerja," jelas Kukuh, seperti dilansir TribunJatim.com dari WartaKota.
Setelah harga disepakati, korban membayar uang muka (DP) sebesar 30 persen atau Rp 54 juta secara bertahap pada 3 dan 9 Okotober 2024.
Selanjutnya, korban kembali melakukan pembayaran kedua hingga total dana yang sudah diserahkan korban kepada pelaku mencapai Rp 171.504.000.
Kala itu, pelaku menjanjikan pekerjaan jasa itu akan selesai selama waktu 3 bulan.
"Tersangka sempat meminta uang kembali kepada korban dengan alasan untuk tambahan biaya belanja, namun tidak ada satu barang furnitur pun yang dikirim kepada korban," tutur Kukuh.
"Saat korban bertanya sehubungan dengan progres, tersangka selalu menjawab sedang dibuat," ucap Kukuh.
Setelah seluruh pembayaran dilakukan, tak satu pun furnitur dikirimkan pelaku hingga batas waktu akhir Februari 2025.
Walhasil, korban pun melapor ke Polsek Tambora pada 24 Februari 2025.
"Korban merasa tertipu dan melapor ke Polsek Tambora. Dari hasil penyelidikan, tersangka mengakui bahwa uang tersebut dipakai untuk main judi online," papar Kukuh.
Kini, pelaku resmi ditahan di Mapolsek Tambora dan dijerat dengan pasal 378 dan/atau 372 KUHP tentang penipuan dan/atau penggelapan, dengan ancaman hukuman makaimal empat tahun penjara.
Lalu, apa penyabab dan bahaya kecanduan judi online?
Psikolog Dosen Jurusan Psikologi UNJA dan Ketua Himpsi Wilayah Jambi, Dessy Pramudiani, M.Psi menjelaskan, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam judi online yakni faktor psikologis dan sosial.
Menurutnya, motivasi untuk cepat kaya sering kali menjadi pendorong.
"Masyarakat yang terjebak dalam ekonomi sulit sering menganggap judi justru sebagai jalan pintas, bukan sebaliknya," ungkap Dessy, Kamis (19/6/2025), melansir dari Kompas.com.
Dessy juga menyoroti efek dopamin yang muncul dari judi online, yang dirancang mirip dengan media sosial dan permainan, dengan sistem hadiah tak terduga yang memicu adiksi.
"Banyak orang tidak paham bahwa algoritma judi online tidak berpihak pada pemain. Mereka berpikir bisa balik modal padahal makin terjebak," tambahnya.
Desakan sosial juga menjadi faktor penting, di mana banyak orang tergoda untuk bermain judi karena pengaruh teman, influencer, atau iklan yang menjanjikan uang mudah.
Selain itu, judi sering dijadikan pelarian dari stres, yang dapat berujung pada masalah serius.
Dampak dari kecanduan judi online sangat merugikan, tidak hanya bagi individu tetapi juga keluarga.
"Korban utama judi online adalah keluarga, seperti istri, anak-anak, dan orang tua, yang mengalami kerugian emosional dan finansial," jelas Dessy.
Pecandu judi online juga berisiko mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan, serta terpuruk secara ekonomi.
Dessy menekankan perlunya upaya pencegahan untuk melindungi masyarakat dari kecanduan judi online.
"Peran keluarga sangat krusial. Pola asuh yang hangat dan pengawasan terhadap penggunaan gadget bisa mencegah anak-anak dari paparan awal judi online," katanya.
Selain itu, pendidikan di sekolah dan kampus juga penting untuk memberikan literasi digital dan finansial.
Pemerintah dan regulator juga memiliki peran penting dalam mengatur dan memblokir situs judi online, serta menindaklanjuti promosi yang merugikan.
Tokoh agama dan masyarakat juga diharapkan memberikan pendekatan nilai dan norma sosial untuk menjauhkan masyarakat dari praktik perjudian.
Untuk individu yang sudah telanjur kecanduan, Dessy merekomendasikan pendekatan psikologis seperti terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dan konseling adiksi.
Keluarga juga harus terlibat dalam proses pemulihan, karena adiksi memengaruhi sistem relasi, bukan hanya individu.
Dessy menegaskan bahwa dampak judi online bukan hanya soal moral, tetapi juga kesehatan mental.
"Menghentikan judi online bukan hanya soal penegakan hukum atau kampanye moral. Ini soal kesehatan jiwa bangsa kita," tutupnya.