independensi peradilan yang sejati bukan berarti isolasi dari keprihatinan sah masyarakat, melainkan kemampuan untuk mengambil keputusannya objektif, tidak memihak, serta berdasarkan hukum tanpa terpengaruh oleh tekanan politik, kepentingan golongan,
Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjadikan amicus curiae alias sahabat pengadilan yang diajukan berbagai tokoh terkemuka sebagai pertimbangan integral dalam proses pengambilan putusan kasus Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Hakim Ketua Rios Rahmanto menegaskan amicus curiae yang diajukan bukan sekadar referensi tambahan, melainkan sebagai masukan penting untuk memastikan bahwa putusan yang dijatuhkan benar-benar mencerminkan berbagai nilai keadilan konstitusional, keadilan prosedural, dan kesetaraan substansif, yang menjadi fondasi sistem peradilan dalam negara hukum demokratis.
"Hal ini dengan tetap menghormati semangat pencarian keadilan yang disampaikan oleh para tokoh melalui amicus curiae," kata Hakim Ketua saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Maka dari itu, Majelis Hakim berharap putusan yang dijatuhkan terhadap Hasto dapat memberikan kontribusi akademik sebagai bentuk menjaga prinsip proses hukum yang adil dan menjunjung tinggi integritas peradilan pidana di Indonesia demi terwujudnya negara hukum yang demokratis.
Hakim Ketua menjelaskan selama proses persidangan, pihaknya telah menerima masukan substantif melalui amicus curiae dari berbagai tokoh terkemuka, termasuk Franz Magniz Suseno sebagai filsuf dan pemikir konstitusional, Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, serta 22 akademisi dan praktisi hukum lainnya.
Dalam amicus curiae tersebut, dikatakan bahwa terdapat perspektif mendalam tentang aspek yuridis, filosofis, dan konstitusional dalam perkara yang menyeret Hasto, sebagai manifestasi penting dari prinsip demokrasi konstitusional dan transparansi peradilan, yang sejalan dengan semangat saling mengawasi dan mengimbangi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hakim Ketua mengatakan amicus curiae yang diajukan telah memuat berbagai permasalahan substantif dalam perspektif sosio-legal yang memerlukan perhatian serius dari Majelis, khususnya tentang kekhawatiran kemungkinan adanya politically motivated prosecution atau penuntutan bermotif politik, yang dapat mempengaruhi persepsi keadilan
Selain itu, ditambahkan bahwa amicus curiae juga menyoroti pentingnya menjaga independensi peradilan dari tekanan politik serta kompleksitas hukum pidana dalam perkara korupsi setelah dampak putusan terhadap kepercayaan publik dan kelangsungan demokrasi di Indonesia, yang menunjukkan keperluan mendalam terhadap supremasi hukum dan demokrasi konstitusional.
Majelis Hakim pun mengapresiasi semangat kepedulian konstitusional yang ditunjukkan para tokoh dalam amicus curiae dan menegaskan bahwa independensi peradilan yang sejati bukan berarti isolasi dari keprihatinan sah masyarakat.
"Melainkan kemampuan untuk mengambil keputusannya objektif, tidak memihak, serta berdasarkan hukum tanpa terpengaruh oleh tekanan politik, kepentingan golongan, atau motivasi di luar pencarian kebenaran dan keadilan," tutur Hakim Ketua.
Hasto terseret dalam kasus dugaan perintangan penyidikan korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap.
Dalam kasus itu, Hasto akhirnya divonis pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan serta denda Rp250 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Hasto terbukti menyediakan dana suap sebesar Rp400 juta yang akan diberikan kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022 Wahyu Setiawan untuk pengurusan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Namun demikian, Sekjen DPP PDI Perjuangan tersebut tidak terbukti merintangi penyidikan kasus tersangka Harun Masiku dalam rentang waktu 2019–2024, seperti dakwaan pertama penuntut umum.
Dengan demikian, Hasto dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.
Putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada Hasto lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan.