Jakarta (ANTARA) - Fenomena kekurangan zat besi pada anak-anak, terutama balita, kini mulai mencuat ke permukaan sebagai isu kesehatan masyarakat yang perlu disikapi secara bijak.
Banyak orang tua mungkin belum menyadari bahwa di balik keceriaan dan aktivitas anak yang terlihat normal, bisa tersembunyi gejala-gejala anemia ringan yang luput terdeteksi.
Padahal, zat besi adalah salah satu mikronutrien kunci yang berperan vital dalam perkembangan otak, pembentukan sel darah merah, serta imunitas anak.
Kurangnya asupan zat besi bisa mengganggu konsentrasi, menyebabkan kelelahan berlebih, dan dalam jangka panjang berdampak pada performa belajar anak saat memasuki usia sekolah.
Di tengah maraknya perbincangan publik tentang susu dan gizi anak, muncul keprihatinan bahwa tidak semua anak mendapatkan asupan nutrisi harian secara optimal.
Hal ini makin menjadi tantangan ketika pola makan anak cenderung terbatas atau pilih-pilih makanan, sehingga asupan zat besi alami dari sumber makanan seperti daging merah, hati, atau sayuran berdaun hijau tidak mencukupi. Dalam konteks inilah fortifikasi menjadi pendekatan yang sangat relevan.
Pangan sumber nutrisi termasuk susu tetap memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, terutama di masa balita.
Balita boleh mengonsumsi susu setiap hari, selama jumlahnya tidak berlebihan. Apalagi setelah usia satu tahun, susu sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya sumber nutrisi utama. Namun tetap dibutuhkan karena mengandung protein, lemak, kalsium, vitamin A, D, B12, dan zinc yang berperan dalam tumbuh kembang anak.
Di sisi lain, konsumsi susu jangan berlebihan karena bisa berdampak pada penurunan nafsu makan anak dan berpotensi menghambat penyerapan zat besi dari makanan lain.
Jika anak terlalu banyak minum susu dan kurang makan makanan padat yang kaya zat besi, maka risiko kekurangan mikronutrien menjadi lebih besar.
Dalam praktiknya, tidak sedikit anak yang sulit makan dengan variasi yang cukup dan cenderung memilih makanan yang sama dari hari ke hari.
Untuk anak-anak seperti ini, susu yang difortifikasi zat besi dapat menjadi solusi transisi yang membantu mencukupi kebutuhan mikronutrien penting.
Fortifikasi adalah proses penambahan zat gizi tertentu ke dalam makanan atau minuman untuk meningkatkan nilai gizinya.
Dalam konteks pencegahan anemia, susu yang telah difortifikasi zat besi bisa menjadi opsi tambahan yang layak, khususnya bagi keluarga yang mengalami keterbatasan akses terhadap makanan sumber zat besi alami.
Menurut Angka Kecukupan Gizi dari Kementerian Kesehatan, anak usia 1–3 tahun membutuhkan sekitar 7 mg zat besi setiap harinya. Jika kebutuhan ini tidak tercukupi secara rutin, maka risiko anemia menjadi lebih tinggi.
Mengganggu perkembangan
Penelitian dalam Jurnal Iron Deficiency and Impaired Child Development menunjukkan bahwa kekurangan zat besi pada masa balita bisa mengganggu perkembangan kognitif dan motorik, serta menurunkan imunitas tubuh anak terhadap penyakit.
Melihat fakta ini, pendekatan yang dibutuhkan bukan sekadar larangan atau anjuran tunggal terhadap jenis makanan tertentu, melainkan pemahaman menyeluruh tentang bagaimana kebutuhan gizi anak terpenuhi secara seimbang dan bertahap.
Susu, dalam jumlah yang wajar dan dalam bentuk yang tepat seperti susu fortifikasi, dapat menjadi salah satu bagian dari strategi gizi keluarga.
Penting bagi orang tua untuk tidak serta-merta menghilangkan susu dari pola makan anak karena khawatir akan dampaknya terhadap penyerapan zat besi, tetapi justru memahami peran susu sebagai pelengkap nutrisi, bukan satu-satunya sumber.
Sebaliknya, ketika anak tidak mendapatkan cukup zat besi dari makanan padat, susu fortifikasi bisa menjadi penyelamat gizi yang membantu anak tumbuh dengan optimal.
Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana masyarakat dan tenaga kesehatan bekerja sama meningkatkan literasi gizi yang benar.
Edukasi gizi tidak boleh berhenti di meja klinik atau ruang konsultasi, tetapi juga harus menjangkau ruang-ruang publik dan media sosial, di mana banyak orang tua mencari informasi cepat tentang tumbuh kembang anak.
Pendekatan ini akan memperkaya pengetahuan masyarakat bahwa pemenuhan zat besi tidak hanya bergantung pada satu jenis makanan, tetapi melalui kombinasi makanan seimbang yang mencakup zat besi hewani dan nabati, serta didukung oleh asupan tambahan yang difortifikasi secara ilmiah.
Artinya, solusi untuk mencegah anemia pada anak bukanlah dengan meniadakan kelompok makanan tertentu, melainkan dengan memperluas akses pada variasi makanan sehat, edukasi gizi yang berbasis sains, dan keterlibatan aktif keluarga dalam memastikan anak tumbuh tanpa kekurangan.
Di tengah kompleksitas tantangan gizi anak yang dihadapi masyarakat modern saat ini, penting untuk mengedepankan pendekatan yang mencerahkan, menyeluruh, dan adaptif.
Anemia pada anak bukan semata masalah medis, melainkan cerminan dari bagaimana sistem pangan, pendidikan keluarga, dan layanan kesehatan saling berinteraksi.
Keberadaan makanan dan minuman yang difortifikasi bukan untuk menggantikan makanan segar, tetapi sebagai penguatan gizi ketika ada kesenjangan dalam pola makan sehari-hari.
Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, agar generasi mendatang tumbuh bukan hanya tinggi dan kuat secara fisik, tetapi juga tangguh secara kognitif dan mental karena dibesarkan dengan kecukupan zat gizi esensial, termasuk zat besi yang sangat vital bagi masa depan mereka.
*) Penulis adalah dokter spesialis gizi klinik.