Jakarta (ANTARA) - Pemohon uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan pokok permohonan meminta wakil menteri (wamen) dilarang rangkap jabatan semakin bertambah jumlahnya.
Teranyar, advokat Viktor Santoso Tandiasa resmi mendaftarkan permohonannya ke MK pada Senin. Viktor meminta MK memuat larangan wamen rangkap jabatan secara eksplisit pada amar putusan, bukan hanya di dalam pertimbangan hukum.
Viktor saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, menjelaskan ia menguji konstitusionalitas Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
“Pada intinya, permohonan itu kami minta agar wakil menteri itu ditegaskan dalam amar putusan untuk dilarang, sama seperti menteri, tidak boleh merangkap jabatan, salah satunya sebagai komisaris BUMN,” ucap Viktor.
Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara berbunyi “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Sementara itu, dalam pertimbangan Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, Mahkamah menyatakan pengangkatan dan pemberhentian wamen merupakan hak prerogatif Presiden, layaknya menteri.
Oleh sebab itu, menurut MK, wamen haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan menteri kepada menteri.
Dengan status demikian, MK menilai, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri dalam Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara berlaku pula bagi wamen.
Kendati begitu, MK tidak memuat penegasan tersebut di dalam amar putusan karena para pemohon Perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019 tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonannya tidak dapat diterima.
Melalui permohonannya ini, Viktor selaku pemohon merasa MK perlu memuat penegasan larangan rangkap jabatan wamen di dalam amar putusan. Ia mengaku mengalami kerugian konstitusional sebagai masyarakat akibat ketiadaan penegasan dimaksud.
Viktor menyoroti masih adanya wamen yang merangkap sebagai komisaris BUMN. Padahal, kata dia, jabatan komisaris harus diemban oleh orang yang kompeten di bidangnya karena harus mengawasi serta memberikan pertimbangan dan nasihat kepada direksi perusahaan.
“Ketika komisaris itu dirangkap oleh wakil menteri maka tidak fokus dalam melakukan fungsinya, baik itu memberikan nasihat, pertimbangan terhadap direksi dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan BUMN, dan juga tidak mengawasi secara maksimal,” ujarnya.
Dalam petitumnya, Viktor meminta MK menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan…”.
Sebelum Viktor, pendiri Pinter Hukum Ilhan Fariduz Zaman dan aktivis hukum A. Fahrur Rozi juga mengajukan permohonan serupa.
Kedua pemohon itu mengajukan permohonan uji materi Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara serta Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Ilhan dan Fahrur meminta MK menyatakan frasa “menteri” pada Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menteri dan wakil menteri”.
Adapun Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang BUMN berisi larangan rangkap jabatan dewan komisaris BUMN. Mereka meminta MK memperluas larangan tersebut, termasuk dilarang merangkap jabatan struktural dan fungsional pada kementerian lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Permohonan Viktor saat ini masih pada tahap registrasi dan belum memiliki nomor perkara, sementara permohonan Ilhan dan Fahrur telah diregistrasi sebagai Perkara Nomor 118/PUU-XXIII/2025.
Sebelumnya, MK juga telah mengucapkan putusan perkara dengan pokok permohonan yang sama, yakni Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025. Namun, MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena pemohonnya, Juhaidy Rizaldy Roringkon, tidak memiliki kedudukan hukum lantaran meninggal dunia sebelum perkara diputus.