"Saya Takut Anak Malu" Keluh Orangtua Siswa SMP Negeri di Brebes, 3 Setel Bahan Seragam Rp1,2 Juta
deni setiawan July 30, 2025 04:30 AM

TRIBUNJATENG.COM, BREBES – Praktik "pemaksaan" membeli seragam masih terjadi beberapa sekolah negeri.

Keluhan ini pun kerapkali muncul di awal-awal tahun ajaran baru.

Seperti di Kabupaten Brebes atau Kota Semarang misalnya.

Meskipun sudah ada larangan dari pemerintah, sekolah- sekolah tersebut tetap saja melakukannya dengan beragam dalih agar para orangtua mau tidak mau membeli seragam berbentuk bahan di sekolah.

Harga yang dipatok pun jauh lebih tinggi di pasaran. 

Untuk tiga setel bahan seragam harganya mulai dari Rp1 juta hingga Rp2 juta, belum ditambah ongkos jahit.

Demi anaknya bisa bersekolah di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Brebes, Pak HM, seorang kuli bangunan rela berutang ke majikan tempat dia bekerja.

Pada awal tahun ajaran baru, di sebuah SMP Negeri di Brebes tempat anaknya bersekolah, dia diminta menebus paket seragam sekolah.

Ada 3 bahan seragam, yakni bahan seragam OSIS, ciri khas sekolah dan bahan seragam Pramuka, serta 1 stel kaus olahraga.

Totalnya mencapai Rp1,2 juta.

Harga tersebut disebut-sebut lebih mahal dibandingkan harga di toko dan seragam yang sudah jadi.

Selain menebus paket seragam sekolah, Pak HM juga harus dipusingkan kebutuhan dana untuk menjahitkan bahan seragam itu.

"Ongkos jahit hingga Rp450 ribu untuk tiga stel bahan seragam sekolah."

"Saya terpaksa memberanikan diri berutang ke majikan," ujarnya kepada Tribunjateng.com, Selasa (29/7/2025).

Pak HM menuturkan, dia mematuhi arahan sekolah karena takut jika membeli di luar sekolah akan membuat anaknya bermasalah dalam pendataan.

“Katanya nanti enggak dicatat, beda kelas sendiri."

"Saya takut anak jadi malu."

"Tapi mengapa harus semahal itu."

"Padahal saya tahu harga pasaran jauh lebih murah."

"Padahal saya sudah beli seragam OSIS biru putih di toko seragam di sini, harganya Rp150 ribu satu stel sudah jadi."

"Tapi tetap diarahkan harus dari pihak sekolah."

"Katanya biar seragam, enggak beda," terangnya.

Keresahan seperti itu tak hanya dirasakan Pak HM.

Seorang pedagang bakso keliling bahkan harus merasakan pahitnya awal tahun ajaran baru 2025/2026 kali ini.

Mang ST, setiap hari berkeliling dari kampung ke kampung berharap dagangannya laku untuk sekadar mencukupi makan anak-istri. 

Namun, tahun ini dia terpaksa menyisihkan pendapatan harian demi seragam anaknya.

“Anak saya bangga bisa masuk SMP Negeri, tapi saya malah bingung."

"Harga seragamnya bisa buat modal saya seminggu jualan."

"Tapi kalau enggak ikut beli, takutnya anak saya bisa diperlakukan beda."

"Ini sekolah atau koperasi?"

"Tapi sudah terlanjur saya bayar."

"Tapi tidak diberikan kuitansi oleh pihak sekolah."

"Katanya nanti mau dikasih."

"Saat itu hanya mengisi lembar kertas pesanan,” tanya Mang ST.

Sebagai pedagang bakso keliling yang tak menentu penghasilannya, Mang ST berharap ada perubahan kebijakan yang memberikan pilihan bebas kepada orangtua untuk membeli seragam sesuai kemampuan, tanpa tekanan.

“Biar kami bisa tetap kasih yang terbaik buat anak, tanpa harus berhutang duluan hanya untuk beli bahan baju seragam,” harapnya.

Beberapa cerita orangtua siswa itu setidaknya berbeda dengan pernyataan pihak Dindikpora Kabupaten Brebes.

Sebelumnya disebutkan jika tidak ada kewajiban membeli seragam dari koperasi atau rekanan di sekolah.

SERAGAM SEKOLAH - Ilustrasi siswa SMP di Kabupaten Brebes pulang sekolah, Selasa (29/7/2025). Beberapa orangtua siswa SMP mengeluh mahalnya bahan seragam sekolah. Untuk tiga paket bahan seragam harganya mencapai Rp1,2 juta.
SERAGAM SEKOLAH - Ilustrasi siswa SMP di Kabupaten Brebes pulang sekolah, Selasa (29/7/2025). Beberapa orangtua siswa SMP mengeluh mahalnya bahan seragam sekolah. Untuk tiga paket bahan seragam harganya mencapai Rp1,2 juta. (TRIBUN JATENG/WAHYU NUR KHOLIK)

Reaksi Dindikpora Brebes

Namun pada kenyataannya para guru dan wali kelas kerap menjadi penyambung lidah sistem yang diam-diam seolah tak memberi pilihan.

“Sekolah memang ada menyediakan seragam melalui koperasi, tapi tidak wajib," ujar Kepala Dindikpora Kabupaten Brebes, Caridah.

Caridah menyebut, tidak mengetahui adanya rekanan penyedia dari luar.

"Seragam diserahkan sepenuhnya ke masyarakat."

"Namun ada sekolah yang menyiapkan di koperasi sekolah atau pihak lain."

"Silakan jika masyarakat mau pesan."

"Dalam aturan juga tidak ada pemaksaan pembelian seragam di sekolah."

"Jadi, tergantung kebutuhan wali murid," katanya.

Terpisah, Bupati Brebes, Paramitha Widya Kusuma merespon terkait isu pungutan pembelian bahan seragam sekolah tersebut.

Pihaknya menyebut, sekolah tidak boleh membebankan kepada wali murid.

“Seragam itu tanggungan personal siswa dan tidak boleh menjadi bagian dari kewajiban yang dibebankan melalui sekolah,” tegasnya.

Paramitha menegaskan, tidak boleh ada bentuk diskriminasi terhadap siswa yang mengenakan seragam dari luar jalur pembelian sekolah.

Termasuk dalam hal pencatatan administrasi, pembagian kelas, atau perlakuan di dalam proses pembelajaran.

“Sekolah tidak boleh melakukan pembedaan atau tekanan terselubung dalam bentuk apapun terhadap siswa."

"Seragam bukan penentu kualitas belajar."

"Yang dibutuhkan anak-anak ini pendidikan yang ramah, adil, dan setara."

“Selama seragamnya sesuai ketentuan model dan warna, tidak ada alasan sekolah menolak atau mendiskriminasi,” pungkasnya.

Harga Seragam di Semarang Capai Rp2 Juta

Keluhan nyaris serupa juga ditemukan di Kota Semarang.

Padahal, Kepala Disdik Kota Semarang, Bambang Pramusinto telah menegaskan tidak ada sekolah yang diperbolehkan mewajibkan pembelian seragam, apalagi dengan harga tinggi.

Pernyataan ini disampaikan menyusul beredarnya isu penjualan paket seragam sekolah di tingkat SMP yang diduga mencapai harga Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.

“Kalau ada temuan seperti itu, saya minta dilaporkan langsung ke saya."

"Saya penasaran sekolahnya mana,” ujarnya pada Senin (28/7/2025).

Dia mengungkapkan, pihaknya sudah berulang kali mengingatkan seluruh kepala sekolah agar tidak memaksakan pembelian seragam dari pihak sekolah.

Bahkan menurutnya, untuk seragam nasional, orangtua dianjurkan membelinya secara mandiri di pasar.

"Sudah saya sampaikan berkali-kali ke kepala-kepala sekolah, tidak boleh memaksa pembelian seragam."

"Bahkan kalau seragam nasional, beli di pasar saja," tegasnya.

Meski ada laporan mengenai empat SMP yang diduga menjual seragam dengan harga tinggi, Kepala Disdik menegaskan bahwa hingga kini dia belum menerima data pasti mengenai sekolah-sekolah yang dimaksud.

Dia mengajak masyarakat untuk tidak segan-segan melaporkan jika menemukan praktik penjualan seragam yang merugikan, terutama jika bersifat wajib atau tidak transparan.

“Aturannya, sekolah tidak boleh mewajibkan (pembelian seragam di sekolah)."

"Kalau benar ada paksaan pembelian seragam, kasih tahu saya, saya tindaklanjuti,” tegasnya.

Disdik Kota Semarang juga mengingatkan bahwa seragam sekolah seharusnya tidak menjadi beban tambahan bagi orangtua.

Sekolah diharapkan memfasilitasi pendidikan, bukan menambah beban biaya melalui praktik-praktik seperti itu.

"Sekolah jual bedge saja," ungkapnya.

Sebelumnya, Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiros) mengklaim menerima banyak keluhan dari orangtua siswa terkait mahalnya harga seragam sekolah negeri di Kota Semarang.

Mukhlis Raya, Direktur Pattiros menilai hal itu sebagai beban berat di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya. 

“Seragam adalah kebutuhan dasar yang seharusnya bisa diakses secara adil dan terjangkau."

"Namun kenyataannya, banyak orangtua mengeluhkan harga yang jauh di atas pasaran,” ujarnya.

Dari hasil pemantauan Pattiros, paket seragam untuk siswa baru di beberapa SMP Negeri di Semarang bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2 juta untuk tiga setel. 

Angka ini disebutkan jauh lebih tinggi dibanding salah satu SMP swasta yang hanya mematok Rp600 ribu hingga Rp800 ribu.

Temuannya, tak hanya mahal, beberapa sekolah negeri juga mewajibkan siswa memiliki lebih dari satu jenis seragam identitas seperti batik, kotak-kotak, dan lurik untuk dipakai dalam satu minggu.

Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah juga menilai praktik sekolah yang mewajibkan pembelian dari penyedia tertentu rawan menyalahi prinsip transparansi dan persaingan sehat.

Perwakilan KP2KKN, Ronny Maryanto menegaskan, sekolah negeri tidak seharusnya memaksa orangtua membeli dari satu sumber.

"Tanpa transparansi, ini bisa membuka peluang praktik rente dan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya. (*/Wahyu NK/Idayatul Rohmah)

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.