Kesurupan dan Terbongkarnya Misteri Hilangnya Gadis Bos Penggilingan
Moh. Habib Asyhad July 31, 2025 08:34 PM

Cerita Kriminal kali ini tentang misteri terbunuhnya gadis cantik bos penggilingan. Anak indigo mencoba menerawangnya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Hari sudah gelap ketika Lucas memarkir taksinya di halaman depan rumah Wheeler. Dari balik pintu muncul Geraldine Wheeler. Tubuhnya ramping, terbungkus pakaian yang biasa dikenakan untuk bepergian.

"Masuklah!" katanya. "Koporku ada di dalam."

Lucas kenal rumah itu berikut isi dan perabotannya. Satu-satunya supir taksi di Medvale itu mengangkat kopor berwarna hitam yang tergeletak di kaki tangga.

"Cuma ini, Nona Wheeler?"

“Ya. Yang lain sudah saya kirim ke kapal lebih dahulu. Oh, tunggu! Mungkin ada yang terlupa. Gas, listrik, telepon, oh, ya saya ingat .. perapian! Tolong periksa perapian itu, Lucas!"

"Baik, Nona." Lucas masuk ke ruang tamu. Dipadamkannya bara api itu dengan batang besi pengorek api.

Sesaat kemudian wanita itu masuk. "Oke," katanya. "Kukira semuanya beres. Kita bisa berangkat sekarang."

"Ya, Nona."

Nn. Wheeler berbalik diiringi Lucas di belakang yang masih menggenggam batang besi. Tiba-tiba batang besi itu diayunkannya mengenai bagian belakang kepala Nn. Wheeler. Kontan saja tubuh wanita itu lunglai mati seketika.

Diangkatnya tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Melalui pintu dapur dia keluar melewati halaman belakang, terus melangkah menembus kerimbunan hutan yang melingkari tanah milik keluarga Wheeler. Setelah menemukan tempat yang tepat, dia segera menggali lubang menggunakan sekop yang sudah disiapkannya.

Tidak akur

Di bulan April yang basah sebuah mobil besar berwarna putih berhenti di depan rumah Wheeler. Rowena, istri David Wheeler, menapakkan sepatunya yang bertumit tinggi di atas kubangan lumpur. Dia melangkah dengan hati kesal.

David cuma tersenyum.

Bibi Faith menyambut kedatangan mereka. "Ingat apa yang sudah kukatakan, kalau dia mulai bicara soal setan-setan dan roh-roh halus. Usahakan sikapmu biasa-biasa saja," bisik David kepada istrinya.

"Akan kucoba," jawab istrinya dingin.

"Oh, David! Apa kabar?"

"Baik-baik saja, Bibi!"

David memperkenalkan istrinya. Mereka menikah di Virginia dua tahun lalu, tetapi Bibi Faith tidak menghadirinya. Dia tak pernah keluar dari wilayah Medvale.

Wanita tua itu menatap istri David dengan kagum. "Aduh, kau cantik, Rowena."

Di ruang tamu ada seorang laki-laki berdiri di dekat perapian. David jadi ingat maksud pertemuan itu."Letnan Reese," kata Bibi Faith, "Ini keponakan saya, David, dan ini istrinya."

Reese menjabat tangan David dengan hangat. "Sayang sekali, kita harus bertemu dalam suasana seperti ini," ujarnya.

"Saya meminta bantuan Letnan Reese untuk menolong kita menemukan Geraldine," Bibi Faith menjelaskan dengan wajah risau. Letnan Reese kenalan lama Bibi Faith.

Mata David menyapu ruangan itu. "Sudah bertahun-tahun saya meninggalkan rumah ini. Saya lupa di mana disimpan minuman keras."

"Saya kira tidak ada," kata Reese. "Waktu saya memeriksa tempat ini beberapa minggu yang lalu, ketika Nn. Wheeler diketahui hilang, saya tidak menemukan minuman keras itu."

Sebentar ruangan itu sunyi.

"Sudah berapa lama Anda meninggalkan Medvale, Pak Wheeler?" tanya Reese, setelah Bibi Faith mengajak Rowena beristirahat ke lantai atas.

"Mungkin, sepuluh tahun. Bukan berarti saya tidak pernah datang kemari. Misalnya, ketika ayah meninggal empat tahun yang lalu. Seperti Anda ketahui, bisnis keluarga kami berada di Selatan sana."

"Ya, saya tahu. Anda dan kakak perempuan Anda..."

"Kakak tiri saya."

"Ya," kata Reese. "Anda dan kakak tiri Anda adalah satu-satunya pemilik usaha penggilingan itu, bukan?"

"Benar."

"Namun, berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, Andalah yang terutama mengelolanya. Waktu orangtua Anda meninggal, Nn. Wheeler tetap tinggai di Medvale, sementara Anda ke Virginia untuk mengurusi perusahaan itu. Benarkah begitu?"

"Ya," kata David.

"Anda sukses?"

David duduk di kursi, melonjorkan kakinya. "Letnan, Anda boleh berterus terang saja," ujarnya. "Saya tidak bergaul akrab dengan Geraldine. Kami berdua bicara seperlunya."

"Terima kasih atas keteruster rangan Anda."

"Saya bisa menebak pertanyaan Anda berikutnya, Letnan. Anda ingin tahu kapan terakhir kali saya bertemu dengan Geraldine?"

"Benar. Kapan?"

"Tiga bulan lalu, di Virginia dalam rangka kunjungannya yang setengah tahun sekali itu ke penggilingan."

"Bukankah setelah itu Anda berada di Medvale?"

“Ya. Saya menemuinya pada bulan Maret karena ada urusan penting. Mungkin bibi saya sudah mengatakan kepada Anda, waktu itu Geraldine tak mau menemui saya."

"Apa maksud kedatangan Anda itu?"

"Melulu urusan bisnis. Saya minta kepadanya agar dia menyetujui pinjaman dari bank untuk membeli peralatan baru. Dia menolak. Terpaksa saya kembali ke Virginia."

"Setelah itu Anda tak pernah bertemu lagi?"

"Tidak pernah," kata David.

"Saya juga tak punya bayangan di mana Geraldine sekarang."

Memanggil "dukun"

Sejam kemudian, setelah Letnan Reese meninggalkan rumah itu, Rowena bersama Bibi Faith turun dari lantai atas. "Aku tidak bisa memahami kejadian yang kita alami ini," ujar Bibi Faith. "Juga polisi. Waktu itu, Geraldine sudah siap pergi ke Karibia. Sebagian kopornya sudah dikirimnya ke kapal. Kau ingat Lucas, supir taksi itu? Dia datang ke sini menjemputnya dan mengantarkannya ke stasiun, tapi setelah itu Geraldine tidak dijumpai di mana-mana."

"Apakah polisi sudah mengecek tempat-tempat yang diperkirakan Geraldine ada?"

"Sudah. Rumah sakit, kamar mayat, ke mana saja. Letnan Reese berpendapat, banyak kemungkinan bisa menimpa Geraldine. Boleh jadi dia dirampok lantas dibunuh atau dia hilang ingatannya atau bahkan ...." Sampai di sini wajah Bibi Faith tampak memerah.

"Ini yang tidak bisa kupercayai. Kata letnan itu, bisa jadi dia sengaja menghilang … bersama seorang laki-laki."

Bibi Faith berdiri. "David, kau setuju ataupun tidak, aku akan bertanya kepada Iris Lloyd, di mana Geraldine berada."

David melengkungkan alis matanya.

"Kepada siapa?"

"Iris Lloyd," jawabnya tegas.

"Nah, jangan bilang kau tak pernah dengar tentang gadis itu. Baru dua bulan lalu koran-koran memuat cerita tentang dia dan berkali-kali juga kusebut namanya dalam surat-suratku."

"Saya ingat," ujar Rowena mendahului suaminya. "Dia adalah gadis yang punya ... kekuatan gaib atau entah apa namanya."

"Iris itu anak Panti Asuhan Medvale. Kalian tahu, aku wakil pimpinan panti itu. Usianya enam belas tahun. Dia bisa meramal, David. Dia bisa menemukan barang-barang yang hilang, dan juga orang."

"Saya tidak setuju dengan perdukunan macam ini. Serahkan saja persoalan ini kepada polisi."

Bibi Faith menarik napas dalam-dalam. "Aku sudah mengira kau bakal tak setuju. Tapi, aku tetap akan melakukannya, David. Sudah kubicarakan dengan panti asuhan, Iris kuminta tinggal bersama kita beberapa waktu untuk berkenalan dengan ... roh Geraldine yang masih ada di rumah ini."

Begitulah, David terpaksa menemani Bibi Faith menjemput Iris ke panti asuhan. Iris muncul mengenakan gaun yang warnanya sudah pudar dan kaku karena kanji. Rambutnya yang mirip serabut kelapa itu pirang dan lusuh. Penuh debu, pikir David. Ketika itu pandangan matanya senantiasa merunduk menatap lantai, seperti ayaknya gadis alim.

"Iris," kata Suster Clothilde,

"kau kenal Ny. Demerest, 'kan? Ini keponakannya, Pak Wheeler."

Iris mengangguk. Tiba-tiba, tatapan matanya menghunjam mereka, sampai David terkejut.Di mobil Iris duduk di depan di antara David dan Bibi Faith.

"Anda punya rokok?" tanya Iris kepada David. Dari gadis alim dia tiba-tiba menjadi liar.

"Aduh, Iris!" seru Bibi Faith kaget.

Iris tersenyum. Dengan mata terpejam, dia bersenandung sepanjang jalan menuju rumah Wheeler.

Gaya buruh pelabuhan

David turun ke kota sore itu, membawa sederet panjang daftar bahan makanan dan macam-macam barang yang dirasa perlu oleh Bibi Faith untuk gadis itu.Ketika dia keluar dari Pasar Swalayan Medvale, taksi warna hitam milik Lucas Mitchell meluncur turun dari ruang parkir. David memasukkan barang belanjaannya ke tempat bagasi mobilnya sendiri. Tahu-tahu mobil Lucas berhenti di sampingnya.

"Halo, Pak Wheeler," sapa Lucas sambil melongokkan kepalanya keluar jendela.

"Halo, Lucas. Bagaimana bisnismu?"

"Boleh kita bicara sebentar, Pak Wheeler?"

"Jangan," ujar David. Dia pun berjalan ke depan, lantas meloncat ke belakang kemudi.

"Saya harus bicara dengan Anda, Pak Wheeler."

"Jangan di sini," kata David."Jangan di sini dan jangan sekarang, Lucas."

"Ini soal penting. Saya ingin bertanya tentang sesuatu."

"Sialan, kau," ujar David kesal. "Minggirlah kau, Lucas. Aku tidak bisa berlama-lama sekarang."

"Gadis itu, Pak Wheeler. Betulkah apa yang mereka bicarakan mengenai gadis itu?"

"Gadis yang mana?"

"Iris Lloyd. Saya khawatir dia akan mengetahui apa yang kita lakukan."

"Minggir kau!" David berteriak. Dihidupkannya mobilnya, lalu ditancapnya gas kuat-kuat. Lucas pun ngeloyor pergi dengan pikiran kacau.

Tiba di rumah, David mendapati istrinya mondar-mandir di ruang tamu. "Ada apa?" katanya.

"Bibi Faith tadi masuk ke kamar Iris. Lantas terdengar kegaduhan di kamar itu. Aku cuma mendengar beberapa potong kata. Tapi, satu hal yang ingin kusampaikan padamu, gadis itu berbicara dengan gaya seorang buruh pelabuhan."

“Ya, barangkali itu akan menyadarkan Bibi Faith. Aku akan mengusulkan agar gadis itu buru-buru dikembalikan ke ...."

"Jangan ke Bibi Faith dulu. Dia sedang pusing."

"Kalau begitu, aku akan menemui monster kecil itu. Di mana dia?"

"Di kamar Geraldine."

Di depan pintu kamar yang ditunjuk istrinya, David hendak mengetuk pintu, tapi pintu itu sudah keburu terbuka. Wajah Iris muncul. Rambutnya tergerai menutupi sebelah matanya. Bibirnya yang semula tampak menyiratkan kebencian, lambat laun berubah penuh gairah, dan tangannya lalu mempermainkan gaunnya.

"Halo, sayang," sapanya. "Bibi Faith bilang kau pergi berbelanja untukku."

David melangkah masuk dan menutup pintu. "Kau apakan Bibi Faith?"

Dia cuma mengangkat bahu dan berbalik menuju tempat tidur. "Aku menemukan sebatang puntung rokok di asbak. Aku isap. Tahu-tahu dia masuk. Dia marah seakan-akan aku hendak membakar habis rumah ini."

Tiba-tiba saja wajah dan juga sikap Iris berubah. Ia bersikap seperti anak-anak lagi.

"Maafkan saya," pintanya merengek. "Maafkan saya, Pak Wheeler. Saya tidak bermaksud berbuat yang tidak baik."

David terheran-heran. Dia tak mengerti mengapa Iris mendadak berubah jadi begitu. Namun, dia sadar ketika pintu di belakangnya terbuka. Bibi Faith masuk ke kamar mereka.

Iris menghempaskan dirinya di atas ranjang, sesaat kemudian terdengar isak tangisnya. Bibi Faith memeluknya, layaknya seorang ibu memeluk penuh kasih.

"Diamlah, sayang," hiburnya.

"Aku mengerti, kau tidak akan mengulangi perbuatan tidak baik itu. Jangan risau. Kau tak usah terburu-buru memikirkan soal Geraldine itu."

"Tapi, saya ingin menolong!" ujarnya. "Saya bersungguh-sungguh, Bibi Faith."

Dia beranjak dari ranjang, wajahnya kini tampak berseri. "Saya bisa merasakan kehadiran Geraldine di rumah ini. Saya hampir bisa mendengar suaranya, dia berbisik di telinga saya, mengatakan di mana dia berada!"

"Kau bisa?" tanya Bibi Faith dengan kagum. "Benarkah yang kaukatakan itu?"

"Hampir, hampir!" ujar Iris sambil berputar-putar melakukan tarian aneh. Dia menari-nari di depan sebuah lemari, lalu membuka pintunya. Terlihat masih tersisa setengah lusin gaun di dalamnya. "Ini pakaian-pakaiannya. Oh, betapa bagusnya! Dia tentu tampak cantik dengan gaun-gaun ini!"

Si gadis mengambil sepotong gaun malam berwarna keemasan milik Geraldine, lalu memantas-mantas gaun itu di lengannya.

"Oh, alangkah indahnya! Saya bisa merasakan dirinya di dalam gaun ini. Ya, saya benar-benar bisa merasakannya!" Dia menatap Bibi Faith dengan kegembiraan yang meluap-luap. "Saya tahu, saya pasti akan dapat menolong Anda!"

"Ohhh, terima kasih," ujar Bibi Faith dengan mata berkaca-kaca.

Kitty kepanasan

Di hari-hari berikutnya, Iris bertingkah laku baik.

Sore itu David berbicara dengan bibinya. "Tidakkah Bibi melihat, Iris itu pandai bersandiwara?"

Wanita itu tampaknya kesal. "Kau keliru. Kau tidak paham tentang orang yang memiliki kekuatan gaib."

Seolah membuktikan apa yang dinyatakan Bibi Faith, dua puluh menit kemudian Iris turun ke bawah dengan mengenakan gaun malam keemasan milik Geraldine Wheeler. Dandanan yang berlebihan menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mirip sabut itu disisir ke belakang dan diikat dengan cara yang aneh. David dan Rowena melongo dibuatnya, sementara Bibi Faith sedikit gelisah.

"Iris, sayang," ujar Bibi Faith,

"Apa yang kaulakukan?"

Iris melangkah ke tengah ruangan.

"Kembalilah ke kamarmu dan lepaskan gaun itu," ujar David."Kau tidak berhak memakai pakaian saudaraku."

Wajah Iris berubah kecewa.

"Oh, Bibi Faith!" ratapnya. "Anda mengerti apa yang telah saya katakan pada Anda! Saya harus mengenakan pakaian keponakan Anda untuk merasakan ... rohnya!"

"Apa, roh?" tutur David.

Iris menatap David. Sesaat kemudian tubuhnya terkulai lemas menimpa kursi dekat perapian. Dia terisak-isak. Bibi Faith memarahi David.

Dengan sabar Bibi Faith menunggu sampai isak tangis Iris mereda. Dia mendekati gadis itu dan berbisik di telinganya.

"Iris, dengarlah. Ingatkah kau tentang apa yang pernah kaulakukan di panti asuhan? Caramu menemukan barang-barang untuk Suster Theresa?"

Iris mengusap air matanya. “Ya.”

"Menurutmu, apakah kau bisa melakukannya lagi, Iris? Sekarang, untuk kami?"

"Saya ... saya tidak tahu. Akan saya coba."

"Biarkan dia mencoba, David!"

Rowena menyela, "David, kau ingat? Suatu kali kau pernah bercerita padaku tentang boneka kucing dari wol yang kaumiliki semasa kecil. Kau bilang, dia hilang di rumah ini waktu kau berusia lima tahun, dan kau begitu sedih hingga selama beberapa hari tidak mau makan."

"Gila! Itu sudah tiga puluh tahun yang lalu..."

"Sudah, sudahlah," ujar Bibi Faith. "Apakah kau bisa menemukan boneka itu, Iris?"

"Saya tidak yakin. Saya tidak pernah yakin, Bibi Faith."

"Cobalah, Iris. Kami tidak akan menyalahkanmu kalau kau tidak berhasil."

Iris berdiri. Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah tangannya.

Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak. Dari kedua ujung bibirnya, menetes air liur.

"Apa yang dia ucapkan?" tanya Rowena. "Aku tak bisa mendengarnya."

"Tunggulah! Kalian harus menunggu!" Bibi Faith mengingatkan.

Suaranya kian terdengar jelas. "Panas," katanya. "Oh, panas sekali … panas sekali ...." Dia menggeliat-geliat di atas kursi, dan jari-jari tangannya menarik-narik kerah gaun malam itu.

"Oh, tolong! Tolonglah! Kitty kepanasan! Kitty kepanasan!"

Sesaat kemudian Iris menjerit keras, dan David pun berdiri. Rowena memegang lengan suaminya.

"Dia berpura-pura!" ujar David.

"Diam kau, David!" kata Bibi Faith. "Gadis itu kesakitan!"

Iris mengerang-erang dan tubuhnya terhempas di kursi. Butir-butir keringat kini membasahi keningnya.

"Panas! Panas!" jeritnya. "Di balik perapian! Oh, tolong, tolong, tolonglah ... panas sekali ... Kitty kepanasan ...." Kemudian dia terkulai di atas kursi sambil merintih-rintih.

Bibi Faith berlari ke sisinya. Diangkatnya pergelangan tangannya, lalu dielusnya sambil berkata, "Kaudengar dia, David? Kaudengar sendiri, 'kan? Kau masih meragukan gadis itu sekarang?"

"Saya tidak mendengar apa-apa. Apa maksud igauannya itu?”

"Kau bodoh! Boneka kucing itu ada di belakang perapian tentu saja. Barangkali boneka itu kau selipkan di sana waktu kau masih anak-anak dan bandel!"

"Mari kita lihat, David!" desak Rowena.

Ternyata boneka itu ada di sana, Sebuah boneka dari kain yang sudah berlumur debu, warnanya coklat nyaris hancur termakan panas selama tiga puluh tahun. Wajah David berubah pucat.

Ketahuan serong

Di awal bulan Mei sinar matahari menyiram bumi. Iris Lloyd mulai banyak bermain di luar rumah.Di suatu sore, David mendapatinya terbaring di tengah rerumputan yang sedang berbunga.

"Bagaimana Iris? Sudah lebih dari seminggu kau tinggal di sini dan kau belum berbuat apa-apa. Ini hanya piknik besar buatmu, bukan?"

"Kau kira aku ingin kembali ke asrama yang menjemukan itu? Lebih enak tinggal di sini."

Iris menutup kedua matanya dengan tangannya. "Istrimu membencimu," katanya. "Dia anggap kau curang. Belum setahun menikah, kau sudah mulai bergaul dengan wanita lain. Kau hampir tidak mengurusi penggilingan itu. Paling-paling kau cuma pergi satu atau dua kali sebulan. Yang kau lakukan cuma menghambur-hamburkan uang."

Wajah David bertambah lama bertambah pucat. Tiba-tiba dia menarik lengan Iris. "Kau berandal kecil! Kau bukan peramal! Kau cuma tukang nguping!"

"Lepaskan tanganku!"

"Kamarmu bersebelahan dengan kamarku. Jadi, kau cuma mendengar secara diam-diam omongan kami!"

Iris tertawa terbahak sambil mengaku bahwa ia tadi cuma bergurau. Tiba-tiba dia memeluk David dan mencium bibirnya. David mendorong tubuh Iris dengan jijik. Dia tak habis mengerti. "Apa-apaan kau ini?" bentaknya kasar. "Anak tolol!"

"Aku bukan anak-anak!" ujarnya. "Usiaku hampir tujuh belas!"

Kemudian Iris beranjak dan berlari menuruni bukit itu menuju ke rumah.

Mirip lembu tua

Sementara itu David pun menyusul pulang lewat belakang rumah melalui dapur. Bibi Faith bertanya, "Kau memanggil taksi, David?"

"Taksi? Tidak, mengapa?"

"Lho, taksi Lucas ada di depan. Katanya, dia sedang menunggu kau."

Lucas meloncat turun dari taksinya waktu David mendekatinya.

"Kau mau apa, Lucas?"

"Mau bicara, Pak Wheeler, seperti yang saya bilang tempo hari."

David duduk di jok belakang taksi. "Baiklah," ujarnya, “Jalankan ke mana saja. Kita bisa omong-omong sambil berjalan."

"Baik, Pak."

Kata Lucas kemudian setelah mereka jauh meninggalkan kawasan rumah itu, "Saya sudah lakukan persis seperti yang Anda minta, Pak Wheeler. Saya pukul kepalanya dengan mulus. Dia tidak terluka sedikit pun dan tidak berdarah. Mirip lembu tua habis disembelih."

"Aku tak mau mendengar itu lagi, Lucas. Aku puas. Kau pun mestinya begitu. Nih uangmu, sekarang lupakan itu."

"Saya bawa dia masuk ke hutan, seperti yang Anda bilang, dan saya menggali lubang sedalam mungkin. Waktu itu, tanahnya keras sekali. Saya timbun lagi lubang itu sedemikian hingga tak seorang pun bisa mengira apa yang ada di balik timbunan itu. Tak seorang pun ... kecuali...."

"Kecuali gadis itu? Apakah hal ini yang merisaukanmu?"

"Saya mendengar hal-hal yang sangat aneh tentang dia, Pak Wheeler. Tentang menemukan barang-barang yang hilang, menemukan anak kecil yang jatuh dekat Danau Crompton. Barangkali dia bisa melihat ke dalam kuburan wanita itu…”

"Stop, stop, Lucas!"

Lucas menginjak rem mobilnya.

"Iris Lloyd tidak akan menemukannya," ujar David bernada pasti. "Tak seorang pun akan menemukannya. Kau jangan lagi cemas soal itu. Makin cemas, rahasiamu akan makin terbuka."

"Tapi, dia persis di belakang rumah, Pak Wheeler! Dia begitu dekat, di hutan itu."

"Lupakanlah, Lucas, anggap saja tidak pernah terjadi. Saudara perempuanku hilang, dan tidak kembali lagi. Titik. Soal gadis itu, biarlah aku yang mengurusnya."

Dia menepuk-nepuk bahu Lucas untuk menentramkan hatinya, tetapi tepukan itu malah bikin Lucas tambah tegang.

"Sekarang, antarkan aku pulang," kata David.

Damai sajalah kita!

David cemas tentang Iris belakangan ini, tetapi Iris tampaknya sungguh lupa akan tujuannya semula tinggal di rumah itu. Rupanya, tak ada habisnya pula kesabaran Bibi Faith menanti datangnya keajaiban dari gadis peramal itu.

Pada malam Kamis berikutnya, di atas ranjang mereka, Rowena mulai bicara tentang perusahaan penggilingan itu.

"Diamlah, sayang," ujar David lembut. "Jangan teruskan bicaramu. Iris bisa mendengar setiap pembicaraan kita di kamar ini. Karena itu damai sajalah kita."

"Dia tidak perlu mendengar secara diam-diam. Dia bisa membaca pikiran orang. Dia bukan satu-satunya peramal di rumah ini. Aku pun bisa membaca pikiran orang."

"Oh?"

"Dia jatuh cinta padamu," kata Rowena sengit.

"Tidurlah, Rowena."

"Masih ada satu rintangan kecil lagi yang harus dia hadapi. Istrimu. Tapi, aku tidak terlalu banyak mengalangi percintaan kalian, bukan?"

"Aku minta, kita damai saja," tutur David.

Rowena tertawa. "Kau memang orang yang cinta damai, David. Untuk itu kau manfaatkan pesonamu yang termasyhur itu. Itulah sebabnya kau datang kemari bulan Maret itu, bukan? Untuk membuat perdamaian dengan Geraldine?"

"Aku datang ke sini untuk urusan bisnis."

"Ya, aku tahu. Mencegah Geraldine menjebloskan kau ke dalam penjara, itukah yang kau maksud dengan bisnis itu?"

"Kau tidak tahu apa-apa soal itu!"

"Aku punya mata, David. Tidak seperti Iris Lloyd, tapi mata. Aku tahu kau mengambil uang terlalu banyak dari penggilingan itu. Geraldine pun tahu itu. Berapa lama dia memberimu waktu untuk menutup kerugian itu?"

"Jangan bicara lagi, kaudengar? Aku tidak ingin kau berpanjang kata!"

Setelah Rowena tak lagi bicara, mata David tak juga mau terpejam.

Dia kesurupan

Dia masih belum tertidur ketika telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki orang berjalan di lorong dan mendengar grendel pintu dibuka pelan.Dilihatnya Rowena terlelap. Tanpa menimbulkan suara, dia melangkah ke pintu dan membukanya.

Iris Lloyd, dengan gaun tidurnya, menapak kaku pelan-pelan menuruni tangga. Rambutnya yang pirang itu tergerai di pundaknya. Di ujung ruang itu, Bibi Faith membuka pintu kamarnya, mengintip keluar. "Kaukah itu, David?"

"Iris, Bi," ujar David.

Bibi Faith keluar dari kamarnya dengan gemetar. Dia bersikeras mengikuti gadis yang sedang tidur berjalan itu ketika David mencoba mencegahnya. Iris berputar-putar tak keruan di ruangan bawah.

"Sekarang waktunya kita berangkat," katanya. Dia memutar tubuhnya dan seolah menatap lurus ke arah kedua pengintai itu, tapi ia tak melihat mereka.

"Kita harus berangkat!" ucapnya bernada sedih. "Oh, tolong bawakan barang-barangku. Aku takut. Aku takut ...."

"Dia kesurupan," bisik Bibi Faith, sembari meremas tangan David.

"Mungkin ada yang terlupa?" kata Iris gemetar.

"Gas, listrik, telepon, perapian ... Apakah perapian itu masih menyala? Oh!" Dia tiba-tiba terisak, tangannya menutupi wajahnya.

David bertindak selangkah, tetapi Bibi Faith mencegahnya, "Jangan! Jangan kau bangunkan dia!"

Iris, yang tampak seperti hantu bergaun komprang, berjalan ke arah dapur dan membuka pintu yang menuju keluar.

"Dia keluar!" ujar David. "Kita tidak bisa membiarkannya ...."

"Biarkan saja, David! Biarkan!"

Iris berjalan ke luar menuju halaman belakang, mengikuti jalan yang diterangi sinar bulan, menuju ke hutan yang gulita di ujung sana.

"Iris!" teriak David. "Iris!"

"Jangan!" sergah Bibi Faith."Jangan bangunkan dia!"

"Bibi ingin gadis itu menderita radang paru-paru?" kata David beralasan. "Iris!" panggilnya lagi.

Mendengar namanya dipanggil, dia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah sumber suara. Tatapan matanya yang tadinya kosong berubah kebingungan. David merentangkan lengannya. Iris menjerit dan menghamburkan diri ke pelukannya. Setengah menyeret David mengajak gadis itu kembali ke rumah.

Bibi Faith menangis. "Oh, mengapa kau lakukan itu, David?" ujarnya di sela-sela isaknya. "Kau tahu, tidak seharusnya kau membangunkan orang yang sedang tidur berjalan!"

"Saya tidak akan membiarkan gadis itu mati kedinginan! Apa yang harus kita ceritakan kepada suster-suster itu nanti kalau kita membiarkan anak asuh mereka mati karena radang paru-paru?"

Iris sudah tenang. Matanya menatap dan mengamati wajah-wajah tegang mereka. "Bibi Faith ...."

"Kau baik-baik saja, Iris?"

Tatapan kosong masih tersisa di matanya yang bulat itu. "Ya," jawabnya. "Ya, saya tidak apa-apa. Saya kira, kini saya siap, Bibi Faith, Saya bisa melakukannya sekarang."

"Melakukannya sekarang? Maksudmu ... mengatakan di mana Geraldine berada?"

"Saya bisa coba, Bibi Faith."

Hati wanita itu menjadi harap-harap cemas. "Kita mesti memberi tahu Letnan Reese, David. Sekarang. Dia tentu ingin mendengar apa yang dikatakan Iris."

"Reese? Sekarang sudah lebih dari pukul 02.00!"

"Dia mau datang," kata Bibi Faith yakin. "Aku tahu, dia pasti mau. Akan kutelepon sendiri dia. Bawalah Iris ke kamarnya."

"Aku sudah menikah..."

David memapahnya naik ke tangga, mukanya cemberut karena Iris merapatkan tubuhnya. Begitu sampai di kamarnya, Iris menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan tersenyum. "Kau ketakutan," ujarnya kepada David.

David menelan ludah dengan susah, sebab yang diucapkannya itu benar.

"Kau akan kuantar pulang," katanya parau.

"Aku tidak akan membiarkan kau tinggal di rumah ini lagi. Kau ternyata memang merepotkan."

Iris tertawa. David membungkam mulut gadis itu.

"Tutup mulutmu, tolol!"

Iris pun diam. Masih dengan mulut terbungkam, dia menatap David seolah hendak menembus jantungnya. David pun melepaskan dekapannya.

Iris menyandarkan tubuhnya kepadanya. "David," ujarnya manja. "Aku tidak ingin kau pergi dariku, biarpun kau tidak menginginkan aku."

"Kau penipu," kata David.

Iris makin merapatkan tubuhnya. David ragu-ragu, tetapi lalu menarik tubuhnya dan mencium bibirnya.Sesudahnya, David menyeka bibirnya dengan jijik.

"David," ujar Iris lembut, "Kau tidak akan membiarkan aku kembali ke panti, bukan?"

"Kau gila! Kau tahu, aku sudah menikah ...."

"Itu bukan masalah. Kau bisa menceraikan istrimu, David. Bukankah kau tidak lagi mencintainya?"

Pintu kamar itu terbuka. Rowena yang tampak angkuh menatap mereka dengan pandangan penuh penghinaan dan amarah.

"Keluar kau!" teriak Iris. "Aku tak ingin kau masuk ke kamarku!"

"Rowena ...." ujar David.

"Aku cuma ingin mengatakan sesuatu padamu, David. Kau benar tentang dinding-dinding yang memisahkan kamar-kamar ini," kata istrinya.

"Aku benci kau!" teriak Iris."David pun membenci kamu! Katakan padanya, David. Mengapa kau tidak mengatakannya?"

"Ya," kata Rowena. "Mengapa tidak, David? Itulah satu-satunya yang tidak kau lakukan sampai sekarang."

David menatap mereka bergantian, gadis remaja bermata hangat dengan gaun malam dari flanel, wanita bermata dingin dengan gaun sutera, menanti jawaban.

"Bangsat semua kalian!" umpatnya. Dia bergegas keluar dari kamar itu.

Tolong! Di sini gelap!

Letnan Reese masih tampak setengah mengantuk.

Iris duduk di kursi. Tangannya tersimpul di atas pangkuannya, wajahnya mengekspresikan teka-teki. Kata Bibi Faith kemudian, "Kau sudah siap, anakku?"

Iris yang bibirnya pucat itu mengangguk.

David menangkap sorot mata gadis itu sebelum kedua matanya terpejam pertanda dia mulai kesurupan. Rupanya Iris menangkap pula makna pandangan mata David yang menyiratkan permintaan belas kasihan, tapi Iris tidak membalas lewat isyarat apa pun.

Berangsur-angsur tubuh Iris Lloyd mulai bergoyang ke kiri dan ke kanan di kursinya. Dia merintih seolah menahan sakit yang menyiksa. Napasnya memburu. Mulutnya menganga dan mengeluarkan busa yang meleleh membasahi dagu.

"Kita harus menolongnya," ujar David dengan suara gemetar. "Dia terserang ayan."

Letnan Reese tampak khawatir.

"Tenanglah!" tukas Bibi Faith.

"Dia sedang kesurupan. Kau pernah menyaksikannya, David, kau tahu ...."

Terdengar Iris berteriak. Reese berdiri.

Iris menjerit-jerit ketakutan sampai kaca di kamar itu tergetar. Rowena menutupi kedua telinganya.

"Bibi Faith! Bibi Faith!" jerit Iris. "Aku di sini! Aku di sini, Bibi Faith. Kemarilah! Tolonglah aku, Bibi, di sini gelap! Gelap sekali! Oh, tidak adakah yang mau menolongku?"

"Di mana kau?" ujar Bibi di sela tangisnya. "Oh, Geraldine, anakku yang malang, di mana kau? Katakan, sayang!"

Beberapa saat kemudian, napasnya yang memburu itu mereda. Pelan-pelan matanya terbuka.

David mencoba mendekatinya, tetapi Letnan Reese mengalanginya. "Sebentar, Pak Wheeler."

Reese berlutut, lantas jarinya meraba denyut nadi di pergelangan tangan gadis itu. Sementara itu dengan tangannya yang lain, dia membuka kelopak mata kanan Iris dan mengamati biji matanya. "Kau bisa mendengar aku, Iris? Kau baik-baik saja?"

“Ya, Pak. Saya baik-baik saja."

"Kau tahu apa yang baru saja terjadi?"

“Ya, saya tahu semuanya."

"Kau tahu di mana Geraldine Wheeler berada?"

Pandangan matanya menyapu wajah-wajah tegang di hadapannya. Dia berhenti ketika tatapannya bertemu dengan tatapan mata David. Sorot mata David mengisyaratkan permohonan kepada dirinya.

“Ya," jawab Iris setengah berbisik.

"Di mana dia?"

Tatapan matanya kini menerawang jauh. "Di suatu tempat yang jauh. Ada kapal-kapal. Matahari bersinar cerah. Saya melihat bukit-bukit, pepohonan yang menghijau .... Saya mendengar lonceng-lonceng berdentang di jalan-jalan ...."

Reese memutar tubuhnya menghadap ke arah mereka. Mereka saling bertukar pandang tak mengerti.

"Tempat itu sebuah kota," Iris memecah kesunyian. "Jauh dari sini."

"Di seberang lautan? Di sanakah Geraldine berada?"

"Tidak! Di suatu tempat di sini, di Amerika. Ada kapal-kapal. Saya melihat sebuah teluk, jembatan dan air yang biru…”

"San Francisco!" ujar Rowena."Saya yakin, yang dimaksudkannya adalah San Francisco, Letnan."

"Iris," ujar Reese agak keras."Kau harus menentukan tempat itu. Kami tidak bisa menguber ke seantero negeri ini. Benarkah tempat itu San Francisco? Di sanakah kau melihat Geraldine?"

"Ya!" jawabnya. "Sekarang aku tahu. Di jalan-jalan itu ada trem listrik, trem-trem aneh yang memanjati bukit ... Tempat itu San Francisco. Dia berada di San Francisco!"

Reese berdiri sembari menggaruk-garuk belakang lehernya.

"Apakah Geraldine pernah ke San Francisco sebelumnya?"

"Belum pernah," ujar Bibi Faith.

David cuma menyeringai. Dia menghampiri Iris dan menepuk-nepuk bahunya. "Itulah tempat di mana dia berada, seperti dikatakan Iris dan saya kira roh-roh itu tahu tentang apa yang mereka bicarakan. Bukan begitu, Iris?"

"Saya ingin pulang," ujar Iris.

"Saya ingin bertemu Suster Clothilde ...." Iris mulai terisak-isak menangis, seperti anak-anak.

"Aku tak habis mengerti," kata Bibi Faith. "Bukan kebiasaannya pergi jauh tanpa sepatah kata pun. Mengapa ia begitu?"

"Saya juga tidak tahu," jawab David.

Di mana, tolol!

Suatu hari David pergi ke kota. Ketika ia melihat Lucas berdiri di samping taksi hitamnya di pangkalannya, dia menghentikan mobilnya dan melompat ke luar. Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Hai, Lucas. Bagaimana bisnis taksimu?"

"Lumayan." Lucas mengamati wajahnya. "Ada kabar untuk saya, Pak Wheeler?"

"Tampaknya begitu. Lebih baik kita ke kantormu saja."

"Sekarang semua beres," ujar David yang tampak cerah itu kemudian. Aku baru saja tiba dari Panti Asuhan Medvale, mengantarkan Iris Lloyd kembali ke sana."

Lucas lega. "Jadi, dia tidak tahu di mana may... eh ... maksudku wanita itu berada?"

"Dia tidak tahu, Lucas."

Supir taksi itu menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil meremas-remas kedua telapak tangannya. "Kalau begitu yang telah saya lakukan itu benar, Pak Wheeler, tapi saya tidak mau mengatakannya kepada Anda."

"Apa maksudmu?"

Lucas menatap David dengan mata berbinar-binar, seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang hebat. "Saya kira, gadis itu bakal tahu kalau mayat itu saya tanam tak jauh dari rumah itu. Jadi ...."

David melompat dan menarik kerah jas Lucas. "Jadi, apa yang kau lakukan?" Lucas tampak amat ketakutan. "Apa yang telah kau lakukan?" bentak David.

"Saya khawatir Anda marah besar," ujar Lucas takut-takut.

"Pada suatu malam, saya masuk ke hutan itu dan menggali lagi mayat wanita itu. Saya masukkan ke kopor miliknya, Pak Wheeler, lalu saya kirim dengan kereta api ke tempat yang paling jauh yang saya ketahui. Itulah sebabnya Iris Lloyd tidak bisa menemukannya. Barang itu sekarang berada di tempat itu."

"Di mana? Di mana, tolol? San Francisco?"

Lucas gemetar ketakutan, tetapi kemudian ia mengangguk pelan. David Wheeler putus asa. Terbayang olehnya pengadilan dan penjara.

Sementara itu di San Francisco, dua detektif berpakaian preman mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada petugas urusan bagasi di stasiun. Petugas mengangkat bahu ketika mereka menunjukkan selembar foto seorang wanita. Mereka kemudian diantarkannya ke ruang tempat menyimpan bagasi yang tak bertuan di bagian belakang stasiun. Kedua detektif itu saling berpandangan, ketika ia menunjuk ke arah kopor yang bertuliskan inisial: G.W..

Setelah merusak kuncinya, mereka berhasil membuka kopor itu. Di dalamnya ada sisa jenazah Geraldine Wheeler....

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.