Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mendapatkan abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto dalam kasus korupsi dan suap yang menjerat mereka.
Hal ini terungkap setelah Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa DPR telah menyetujui dua surat tentang abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto tersebut.
"Hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat presiden nomor R43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 atas pertimbangan persetujuan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong."
“Yang Kedua adalah pemberian persetujuan atas, dan pertimbangan atas surat presiden nomor 42/pres/072025 tanggal 30 juli 2025, tentang amnesti terhadap 1116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto," kata Dasco, usai menghadiri rapat konsultasi yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/7/2025).
Abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
Sementara itu, amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti diberikan melalui undangundang atau keputusan resmi lainnya.
Pemberian pengampunan presiden kepada Tom Lembong dan Hasto kini menjadi sorotan publik dan menuai beragam komentar.
Salah satunya datang dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD.
Mahfud menilai baik kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong maupun kasus suap Hasto, keduanya samasama terasa sangat politis.
"Sangat kuat (politisnya)," kata Mahfud dilansir program Kompas Siang di Kompas TV, Jumat (1/8/2025).
Lebih lanjut, Mahfud pun membeberkan detail sejauh apa politisasi hukum yang terjadi dalam kasus Tom Lembong dan Hasto.
Tak Ada Mens Rea, Kasus Tom Lembong Jelas Sangat Politis SIDANG IMPOR GULA Terdakwa Eks Mendag Tom Lembong di PN Tipikor Jakarta Pusat, pada Selasa (1/7/2025) lalu. Pengacara Tom Lembong menyoroti soal perintah Jokowi dalam kasus impor gula. (Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha)Mahfud menilai Tom Lembong terkesan sangat tibatiba ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi impor gula.
Padahal, kebijakan yang diambil Tom Lembong selama menjadi Mendag ini dilakukan juga oleh menterimenteri setelah Tom Lembong.
Namun, kala menteri lain tak dipermasalahkan, Tom Lembong justru dijadikan tersangka.
"Untuk Tom Lembong misalnya, dia kan sudah aman selama beberapa tahun, terus dia merasa ada konflik misalnya dengan salah satu tokoh politik."
"Lalu tibatiba ia jadi tersangka. Politisnya lagi, dia ini melakukan pada satu waktu kemudian disusul oleh menterimenteri sesudahnya, sampai sekarang melakukan hal yang sama tidak diapaapakan," jelas Mahfud.
Mahfud juga mengungkit bahwa apa yang dilakukan Tom Lembong terkait impor gula ini sudah jelas terbukti karena perintah atasan.
Bahkan, hakim pun mengakui tak ada mens rea atau niat jahat yang ditemukan dalam diri Tom Lembong.
Atas dasar itulah Mahfud menilai kasus Tom Lembong ini sangat politis dan hukumannya terlalu dipaksakan.
"Politisnya lagi ternyata terbukti kemudian yang dilakukan Tom Lembong itu tidak salah, karena itu atas perintah atasan. Tidak ada mens rea, sehingga ini jelas sangat politis. Sehingga hukumannya dipaksakan," imbuh Mahfud.
Tom Lembong divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 20152016.
Atas perbuatannya tersebut Majelis Hakim memvonis Tom Lembong dengan hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara.
Tak hanya itu, Tom Lembong juga dihukum membayar pidana denda Rp 750 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Ia dijerat Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini mengatur korupsi dalam bentuk perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi negara.
Kasus Hasto Sudah Ada Sejak 2020, Kenapa Baru Dipermasalahkan Sekarang SIDANG VONIS HASTO Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto usai menjalani sidang vonis dugaan suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025). Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap perkara Harun Masiku. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rios Rahmanto menyebutkan, Hasto terbukti bersalah terlibat menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 20172022 Wahyu Setiawan. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)Mahfud MD menilai kasus suap yang menjerat Hasto Kristiyanto juga sarat akan politisasi hukum.
Kasus Hasto dalam suap terhadap eks Komisioner KPU Wayu Setiawan dalam pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku ini sudah ada sejak 2020 lalu.
Mahfud lantas mempertanyakan alasan keterlibatan Hasto baru diungkap sekarang dan kasus baru muncul setelah terjadi konflik antara PDIP dan Presiden RI ke7 Joko Widodo (Jokowi).
Eks Menko Polhukam itu juga menyoroti Hasto yang langsung dijadikan tersangka sehari setelah KPK mengganti jajaran pimpinannya dan diketuai oleh Setyo Budiyanto.
Padahal, di era kepemimpinan yang lama, Hasto tak kunjung jadi tersangka meski banyak dorongan dari luar.
"Sama dengan Hasto sekarang ini, sama persis sudah ada sejak tahun 2020, kenapa baru diungkap sekarang sesudah terjadi pergantian kepemimpinan (KPK), dan sudah terjadi konflik antara misalnya PDIP dan Pak Jokowi. Kenapa kok sehari sesudah KPK dilantik, langsung ditetapkan tersangka."
"Padahal sebelumnya sudah ramai, ada dorongandorongan agar KPK segera menjadikan Hasto tersangka, tapi KPK yang sebelumnya tidak mau terburuburu, itu isunya lebih politik, begitu muncul KPK baru langsung Hasto tersangka, hanya sehari sejak dilantik itu," ungkap Hasto.
Hal ini pun dinilai sangat politis oleh Mahfud. Bahkan, Mahfud menyebut politisasi kasus Hasto ini sangat melukai rasa keadilan.
Terlebih saat di luar sana masih banyak kasus suap atau korupsi yang jumlah kerugian negaranya lebih besar, tetapi proses hukumnya tak berlanjut.
"Itu jelas sangat politis, melukai rasa keadilan. Apalagi kemudian kasus yang jauh lebih besar dari Hasto, yang jelas lebih banyak merugikan keuangan negara, triliunan, ratusan miliar, itu sesudah dilaporkan tidak diapaapakan."
"Sementara Hasto ini sudah lama kasusnya dan cuma kaya gitu juga, dulu dilindungi kelihatannya, nah sekarang malah dijerumuskan ke dalam satu situasi yang tidak bagus," terang Mahfud.
Sebelumnya, Hasto dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku.
Hakim pun menjatuhkan vonis penjara 3 tahun dan 6 bulan terhadap Hasto.
Tak hanya itu, Hasto juga dihukum untuk membayar pidana denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Ia dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baca berita lainnya terkait Abolisi dan Amnesti dari Presiden RI.