Usulan pelibatan swasta lebih ditingkatkan ini sejalan dengan kebijakan Arab Saudi yang saat ini memberikan porsi besar terhadap pihak swasta dalam melayani jamaah calon haji
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) meminta pemerintah agar peran swasta lebih ditingkatkan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
"Karena haji sangat related dengan Arab Saudi. Kita harus melihat bahwa Arab Saudi dengan Visi 2030 memiliki tata kelola yang jauh lebih baik dan modern dengan digital," ujar Ketua Umum Amphuri Firman M. Noor di Jakarta, Jumat.
Firman mengatakan usulan pelibatan swasta lebih ditingkatkan ini sejalan dengan kebijakan Arab Saudi yang saat ini memberikan porsi besar terhadap pihak swasta dalam melayani jamaah calon haji.
Menurut dia, tidak hanya Arab Saudi, banyak negara yang sukses memberikan porsi besar terhadap pihak swasta dalam penyelenggaraan haji, seperti Malaysia, Turki, dan Pakistan.
"Indonesia juga dapat mempertimbangkan pelibatan swasta yang teregulasi untuk meningkatkan kualitas layanan," kata dia.
Dari 80.000 kuota haji yang dimiliki Turki, sebanyak 60 persen dialokasikan ke pihak swasta. Sementara Pakistan, dari 179.000 kuota haji setiap tahunnya, sebanyak 50 persen dikelola oleh swasta.
Di Malaysia, swasta juga diberikan porsi 20 persen, sedangkan Indonesia, dari 210.000 kuota haji, hanya 8 persen yang dipercayakan kepada pihak swasta dengan istilah Haji Khusus.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang sedang dibahas di DPR RI saat ini, Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa kuota haji khusus paling tinggi 8 persen.
Hal ini merupakan kemunduran dibandingkan Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pasal 64 ayat (2) bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen.
Firman mengatakan amandemen UU Haji dan Umrah harus dapat memenuhi harapan Masyarakat agar tata kelola haji ke depan jauh lebih baik. Selain itu, UU Haji dan Umrah hasil amandemen nanti harus sejalan dengan kondisi di Arab Saudi.
"Mereka (Arab Saudi) memberikan proporsi penyelenggaraan ke pihak swasta yang sangat kuat. Kami harapkan, itu sejalan juga di Indonesia," kata Firman.
Sidang paripurna DPR RI, 24 Juli 2025 lalu, telah menyepakati draf RUU Haji dan Umrah. Dari 8 fraksi di DPR RI, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang dalam pendapatnya menyebut kuota haji khusus maksimal 8 persen. Sedangkan 7 fraksi lainnya, sama sekali tidak menyebut pembatasan kuota haji khusus.
Amphuri menilai frasa “paling tinggi” pada draf RUU Haji dan Umrah dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi.
Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang telah terbukti berjalan baik selama lebih dari satu dekade.
Menurut dia, realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 8 persen dan dikelola oleh PIHK secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional.
Maka, kata dia, pengurangan kuota secara sepihak tanpa dasar objektif merupakan bentuk pembatasan hak jamaah untuk memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas.
"Amphuri merekomendasikan agar ketentuan ini diubah menjadi 'Kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8 persen dari kuota nasional'. Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, namun memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah dan penyelenggara," kata dia.