Presiden RI Prabowo Subianto mendapat apresiasi karena memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, serta 1.116 terpidana lainnya.
Keputusan ini, yang disahkan melalui mekanisme resmi DPR RI dan didukung penuh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dianggap sebagai simbol kematangan demokrasi Indonesia.
Heikal Safar, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Profesi Pengacara Indonesia (Propindo) menilai bahwa langkah Presiden Prabowo bukan sekadar tindakan hukum, melainkan sebuah strategi politik yang menegaskan pentingnya rekonsiliasi dan persatuan di tengah iklim politik yang penuh ketegangan.
“Keputusan ini mencerminkan keberanian moral dan politik Presiden Prabowo dalam meredakan konflik dan memupuk ketenangan nasional. Ini bukan sekadar pengampunan, melainkan fondasi untuk membangun masa depan bangsa yang adil, makmur, dan damai,” ujar Heikal kepada media di Jakarta, Sabtu (2/8/2025).
Sekjen Rekat Indonesia ini menilai, amnesti dan abolisi yang diberikan kepada tokohtokoh ini juga dianggap sebagai wujud nyata komitmen negara untuk bekerja berdasarkan sistem yang transparan dan bertanggung jawab, bukan berdasarkan tekanan opini publik atau politisasi hukum.
Menurut Heikal, langkah ini menjadi nafas baru dalam perjalanan politik Indonesia, membuka jalan bagi rekonsiliasi yang dibutuhkan demi menyongsong visi Indonesia Emas 2045.
“Presiden Prabowo menunjukkan kepemimpinan yang tidak hanya fokus pada kekuasaan, tapi juga pada penyelesaian yang membangun bagi bangsa dan negara,” tegasnya.
Dengan dukungan DPR dan pemerintah, keputusan amnesti dan abolisi ini diharapkan menjadi momentum penting bagi persatuan nasional dan stabilitas politik yang berkelanjutan.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Langkah ini dinilai peneliti politik Denny JA sebagai simbol politik penyembuhan yang penting bagi bangsa.
“Dalam politik yang terpolarisasi, dan ketidakpastian ekonomi akibat kondisi geopolitik, pemimpinan nasional yang merangkul semua kekuatan bangsa itu sebuah kearifan,” tulis Denny JA dalam keterangannya, Jumat (1/8).
Tom Lembong, pebisnis yang dikenal kritis, divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara impor gula.
“Banyak yang mengernyit, sebagian mengutuk, tak sedikit pula yang meragukan kebenaran putusan itu,” kata Denny.
Proses hukum berjalan, namun Presiden Prabowo mengusulkan abolisi. Pada 31 Juli 2025, DPR menyetujuinya. “Abolisi pun berlaku: proses hukum terhadap Tom dihentikan sepenuhnya, bahkan ketika vonisnya masih dalam tahap banding,” tulisnya.
Sementara itu, politisi PDIP Hasto Kristiyanto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara terkait kasus suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku. Namun, melalui usulan Presiden Prabowo, DPR juga menyetujui amnesti kolektif bagi 1.116 terpidana, termasuk Hasto.
“Secara hukum, keduanya berbeda,” jelas Denny. Abolisi menghapus seluruh proses hukum sementara amnesti menghapus hukuman, tetapi tidak membatalkan vonis.
Meski demikian, Denny menilai keduanya memiliki kesamaan secara moral. “Titik kearifan. Titik ketika negara memilih menyembuhkan, bukan melukai kembali,” tulisnya.
Tak lama setelah keputusan ini diumumkan, Megawati Soekarnoputri memerintahkan seluruh jajaran PDIP untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo. “Bagi sebagian orang, ini kejutan. Bagi sejarah, ini adalah momen penting,” tambah Denny.
Ia menilai langkah ini mencerminkan politik rekonsiliasi. “Seolah bangsa ini, yang selama ini penuh luka dan prasangka, perlahan belajar,” katanya.
Denny juga menyinggung sejumlah preseden di dalam dan luar negeri, mulai dari Truth and Reconciliation Commission di Afrika Selatan, amnesti Gerald Ford kepada penolak wajib militer di AS, hingga amnesti eks kombatan GAM oleh Presiden SBY.
“Setiap kali pengampunan diberikan, sejarah bertanya: adakah kebijaksanaan di baliknya, atau hanya kalkulasi kekuasaan?” tulis Denny.
Menurutnya, abolisi dan amnesti yang dilakukan Prabowo bukanlah tanda melemahnya hukum.
“Justru sebaliknya, ia adalah puncak kekuatan hukum yang hidup, yang tak hanya menegakkan keadilan retributif, tapi juga merawat keadilan restoratif,” tegasnya.
“Prabowo memilih menyalakan nyala kecil di tengah kabut: nyala rekonsiliasi,” tulis Denny. “Ia tahu, pembangunan hanya tumbuh di tanah damai. Dan damai hanya tumbuh jika luka masa lalu tak terus diwariskan sebagai racun.”
“Di dunia yang kian gaduh oleh kebencian,” pungkas Denny JA, “negara yang bisa memaafkan bukanlah negara yang lemah, melainkan negara yang telah dewasa. Karena keberanian sejati bukan membalas luka, melainkan mengubah luka menjadi jembatan.” (*)