Mentawai, Sumbar (ANTARA) - Senja pecah di ufuk barat, semburatnya tandas pada helai-helai daun sagu kering di atap rumah. Dari celah rumbia itu, asap kayu bakar membumbung ke langit.

Aman Lippat menyalakan lampu teras Uma seperti biasa di Dusun Maruibaga, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Anaknya merebus keladi di dapur yang membuat asap mengepul.

Sebagai Sikerei, dukun tradisional Mentawai, Aman Lippat tidak terlalu bergantung dengan listrik kecuali untuk penerangan Uma, rumah panggungnya itu. Ia masih bergantung pada alam, namun anggota keluarganya yang lain tetap membutuhkan stopkontak untuk mengisi daya ponsel mereka.

Langit sudah gelap, jalan perkampungan selebar 2,5 meter itu terlihat temaram. Hanya lampu-lampu dari rumah masyarakat yang jaraknya berjauhan, membantu penerangan saat melintas, termasuk rumah Aman Lippat.

Hari itu, biasanya listrik diesel dari PLN sudah menyala sekitar pukul 17.00 WIB, namun hingga pukul 19.00 WIB dan langit sudah gelap, listrik belum menyala. Aman Lippat menyalakan lampu terasnya menggunakan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang masih memiliki daya karena cuaca bagus tanpa hujan.

Kepala Desa Matotonan, Ali Umran mengatakan, daya listrik dari mesin diesel PLN biasanya menyala mulai sore hingga tengah malam, sementara PLTS menyala mulai pukul 08.00 WIB.

"Kami di sini memanfaatkan dua daya energi listrik, pertama ada PLTS dan mesin diesel PLN yang membantu warga sehari-hari meskipun belum maksimal," katanya.

Awalnya, masyarakat Matotonan hanya menggunakan lampu minyak tanah untuk membantu penerangan, tanpa daya listrik hingga tahun 2005.

Kemudian tahun 2006, masyarakat mulai mencari solusi energi alternatif sendiri, di antaranya menggunakan panel tenaga surya dan aki untuk menyalakan listrik.

Ketika itu hanya panel surya yang dapat menjadi alternatif tenaga listrik di Matotonan, karena jika menggunakan genset, warga kesulitan membawa bahan bakar minyak (BBM) ke desa karena akses terbatas.

Akses satu-satunya ke Desa Matotonan hanya melewati sungai Sarereiket yang kini dapat ditempuh paling lama dua jam perjalanan dari Desa Ugai, dan ditambah dua jam perjalanan darat ke Muara Siberut.

Sebelum tahun 2004, perjalanan ke Muara Siberut ditempuh menggunakan sampan sampai satu harian karena saat itu masyarakat belum mengenal mesin pompong. Kemudian 2010 jalan darat mulai dibangun menyambung dusun-dusun di pedalaman, namun hingga kini belum sampai ke Matotonan.

Ali mengaku, karena akses jalan yang belum dibuka sekitar 9 kilometer lagi menuju Desa Matotonan itulah sehingga jaringan listrik ke Muara Siberut belum bisa dibangun.

Pada tahun 2019 Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) diresmikan di desa itu. Alat-alat dan materialnya dibawa menggunakan helikopter.

Proyek yang diklaim energi listrik berbahan bambu pertama di Asia Pasifik itu katanya mampu melayani 1.181 rumah tangga di tiga desa, dengan rata-rata 450 watt untuk tiap-tiap rumah.

Namun apa mau dikata, pada tahun 2020 PLTBm mengalami kerusakan mesin sehingga tak bisa digunakan lagi. Jika ditotalkan, kata Ali Umran, PLTBm hanya dapat digunakan selama 6 bulan, setelah itu tidak sanggup lagi menyala.

Sejak itulah, PLN mengoperasikan mesin diesel berbahan bakar solar yang terus menyala hingga kini.

Pada tahun 2012, Desa Matotonan mendapatkan hibah PLTS dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan jumlah penerima saat itu 268 KK dan kapasitas 75kWp dengan 900 volt ampere yang direvitalisasi pada 2022.

Bantuan itu diberikan dalam rangka meningkatkan akses masyarakat guna penerangan melalui peningkatan pemanfaatan energi tenaga surya dan mengurangi pemakaian BBM.

Ali Umran menjelaskan, untuk pemeliharaan PLTS tersebut diserahkan kepada desa, maka warga sepakat membayar iuran tiap bulannya Rp5.000 per Kepala Keluarga (KK).

"Tapi sekarang sudah tidak berjalan lagi iurannya, terakhir tahun 2024. Kadang listrik PLTS hidupnya sebentar, kadang sampai jam 8 malam, maka itu masyarakat malas membayar," katanya.

Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Barat, Erick Kurniawan menjelaskan, PLTS Matotonan merupakan bantuan dari Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) yang dibangun pada tahun 2012.

PLTS dengan kapasitas 75 kWp itu kemudian direvitalisasi pada 2022 lalu dan sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Dari hasil sosialisasi yang dilaksanakan oleh Ditjen EBTKE sebelum serah terima PLTS dengan masyarakat, disepakati bahwa iuran yang dipungut akan menjadi dana operasional PLTS.

Operasional/pemeliharaan PLTS sesuai dengan kesepakatan akan dilakukan oleh petugas yg ditunjuk oleh Desa, di mana petugas ini sudah diberikan bimtek PLTS oleh Ditjen EBTKE.

"Jadi ini bukan iuran kebersihan. Iuran lebih untuk operasional dan perawatan PLTS yang sudah menjadi aset masyarakat setempat," katanya.

Ada banyak lokasi lain di Mentawai yang memiliki PLTS Terpusat di Desa.

Setidaknya ada 25 lokasi PLTS Terpusat yang dibangun oleh Kementerian ESDM di kabupaten itu. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat berupaya untuk membangun PLTS ataupun pembangkit listrik tenaga energi lain untuk masyarakat di sana.

Karena posisi daerah di khatulistiwa, secara umum potensi PLTS di Mentawai khususnya dan Sumatera Barat umumnya sangat baik dan direkomendasikan untuk dilaksanakan, katanya.



Wujudkan elektrifikasi 100 persen


Dari balik batang-batang sagu, Rena Saegeoni membersihkan panel-panel surya di PLTS Desa Matotonan. Langit masih mendung, hujan semalam menyisakan air pada 289 panel surya yang menghadap langit.

Rena merupakan petugas dari desa yang menjaga PLTS tersebut. Ia menyalakan secara manual daya listrik tenaga surya setiap pukul 08.00 WIB.

Kendati rumput ilalang sudah tinggi dan tanaman merambat di pagar dan plang penanda, tapi Rena tetap berupaya menjaga bagian panel dan ruangan baterai tetap bersih.

Di dalam ruangan tersebut, terdapat 12 panel listrik berwarna kuning, di depannya ada meja dan kursi untuk beristirahat serta televisi layar datar.

Di bagian ruangan lain terdapat tempat baterai-baterai untuk menyimpan daya dari tenaga matahari. Dari luar ruangan, seseorang memanggil Rena.

Lelaki itu, Paulus Sabaggalet memakai ikat kepala khas Mentawai, dengan kalung manik-manik di lehernya. Konten kreator yang biasa dipanggil Uluik itu datang ke PLTS bertanya kepada Rena kapan listrik dinyalakan.

Di rumahnya, Uluik sedang menggelar upacara memperingati kematian dalam rangka mengakhiri masa berkabung. Ia membutuhkan listrik untuk mengisi daya, khususnya mengisi baterai radio dua arah portofon yang biasa ia gunakan berkomunikasi dengan anggota keluarga.

"Saat pergi ke hutan atau ke tempat peternakan babi, kami pakai HT untuk berkomunikasi karena sinyal internet sulit di sini, kebetulan baterai HT habis harus dicas lagi," kata Uluik yang tinggal di Dusun Onga, Desa Matotonan.

Ia menghampiri petugas PLTS ke gardunya karena terkadang sudah pukul 08.00 WIB tapi listrik belum menyala, atau karena daya belum cukup sampai ke rumah-rumah.

Uluik berharap agar petugas terkait dapat menjalankan kedisiplinan waktu, karena listrik menyala dan mati masih belum maksimal dalam pengoperasiannya.

Ia juga berharap waktu listrik menyala khususnya pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) bisa bertambah dari sebelumnya.

Bupati Mentawai Rinto Wardhana mengatakan, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai berkomitmen mewujudkan persentase elektrifikasi di Kepulauan Mentawai mencapai 100 persen.

Tapi karena kemampuan dan keterbatasan anggaran, upaya tersebut, masih terus dioptimalkan, baik melalui program pusat maupun daerah.

"Kondisi listrik kita sekarang di Mentawai hampir 60 persen, itu pun sering tidak hidup. Kita tetap berupaya memaksimalkan PLTS dan lobi ke pusat agar diberikan pembangkit yang lebih besar," katanya.

Penyebab listrik masih sangat terbatas, karena total pembangkit juga sangat terbatas, sehingga sering terjadi pemadaman bergilir.

Selain itu, jalan yang belum tersambung ke dusun-dusun di pedalaman juga menjadi faktor belum bisa dibangun jaringan listrik.

Di Desa Madobag sebelumnya masih menggunakan diesel dan listrik menyala terbatas, sekarang sudah bisa 24 jam karena jaringan sudah terkoneksi ke Muara Siberut. Sementara Desa Matotonan belum bisa tersambung akibat jalan yang tidak ada.

Untuk mempercepat pembangunan kelistrikan, pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak dapat bergerak sendiri dan membutuhkan sinergi antara PLN, dinas-dinas terkait, serta masyarakat agar pasokan kelistrikan di Kepulauan Mentawai dapat terpenuhi.

General Manager PLN Unit Induk Distribusi (UID) Sumatera Barat Ajrun Karim menjelaskan, medan dan akses menuju lokasi yang butuh upaya besar menjadi kendala untuk melistriki daerah pedalaman.

Kondisi kelistrikan di Mentawai secara rasio elektrifikasi PLN adalah 80,94 persen, namun secara rasio elektrifikasi desa sudah 100 persen.

Desa yang masih belum teraliri listrik akan menjadi fokus utama pada tahun 2025.

"Ada rencana kolaborasi dengan Kementerian ESDM, rencana lokasi adalah perairan tanpa ombak yang memungkinkan pembangunan PLTS terapung," kata Ajrun saat menjelaskan pemenuhan kebutuhan listrik di Bumi Sikerei itu.

Listrik di sejumlah titik di kepulauan itu memang sering terjadi padam secara bergilir, karena dua penyebab, yakni padam terencana dan padam tidak terencana.

Padam terencana adalah pemadaman karena adanya pemeliharaan di sisi PLN untuk peningkatan keandalan atau perbaikan jaringan listrik, sedangkan pemadaman tidak terencana adalah karena pohon tumbang, kondisi cuaca, dan faktor alam lainnya.

Sementara itu, terkait warga Desa Matotonan yang merasa pengoperasian PLTD terbatas, ia mengaku desa itu memang disuplai dari PLTD dengan mesin diesel yang sudah cukup berumur. Kadang ada kendala saat penyalaan mesin tersebut sehingga menyebabkan keterlambatan penyalaan.

Untuk Matotonan memang masih belum optimal. Sebelumnya lokasi ini disuplai dari PLBTM yang dibangun oleh Kementerian ESDM, sekarang sudah digantikan dengan PLTD PLN sesuai pasokan PLTBm tersebut.

Jadi, melistriki Mentawai, utamanya di kawasan pedalaman, perlu dilakukan perluasan jaringan, penambahan pembangkit dan sumber daya lainnya. Selain itu, tentu butuh sinergi berbagai pihak maupun potensi energi yang ada.