Yogyakarta (ANTARA) - Grup musik asal Yogyakarta, Shaggydog, mengemukakan upaya pemerintah mewajibkan pelaku usaha komersial, seperti kafe dan restoran, mengurus lisensi pemutaran musik sebagai langkah yang ideal sebagaimana telah diterapkan di sejumlah negara.

Perwakilan Manajemen Shaggydog Martinus Indra Hermawan saat dihubungi di Yogyakarta, Senin, menyebut upaya itu penting demi keadilan bagi para pencipta lagu di tanah air.

"Kalau mau fair seperti yang sudah diterapkan di luar negeri, memang idealnya usaha bisnis itu mengurus lisensi dulu untuk pemutaran lagu dengan tujuan komersial," ujar Martinus.

Meski demikian, ia menyadari masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya lisensi pemutaran musik sebab sosialisasi dari pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum merata.

"Untuk urusan performing right ini, masyarakat awam masih banyak yang belum melek, sementara di sisi lain sosialisasinya juga belum merata," ucapnya.

Martinus berujar sejumlah anggota Shaggydog sebelumnya telah mendaftarkan karyanya ke LMK WAMI (Wahana Musik Indonesia).

Prosesnya disebut mudah dan gratis dengan cukup menyiapkan dokumen, mengisi formulir, dan menunggu verifikasi sekitar dua minggu. Setelah disetujui, anggota akan mendapat kartu resmi.

Ia mengatakan regulasi itu pada dasarnya bisa memberi manfaat nyata bagi musisi, terutama dalam menjamin hak atas karya yang digunakan secara komersial.

Namun, karena baru mendaftar, ia mengaku belum menerima laporan atau pembayaran royalti.

Meski begitu, ia berharap sistem tersebut bisa memberi manfaat konkret jika dijalankan dengan transparan dan inklusif.

Martinus juga menilai bahwa musisi lokal di Yogyakarta belum semuanya memiliki akses dan informasi memadai soal perlindungan hak cipta dan sistem royalti.

"Harapan kami, semoga sosialisasi kepada masyarakat awam tentang hal ini lebih merata lagi, mempermudah serta mempercepat proses untuk pendaftaran, juga distribusi pembagian royaltinya kepada band dan songwriter supaya lebih mudah dipahami dan transparan," tutur Martinus.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum Agung Damarsasongko mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music atau layanan streaming lainnya.

Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal atau pribadi, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.

Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.