Aktor Bruce Willis (70) telah vakum dari dunia perfilman dalam beberapa tahun terakhir. Keputusan ini diambil setelah ia didiagnosis mengidap afasia dan demensia frontotemporal.
Pada tahun 2022, gejala awal yang dialami oleh Bruce adalah kesulitan berkomunikasi. Sang istri yang bernama Emma Heming Willis mengira itu berkaitan dengan masalah gagap yang pernah dialami Bruce semasa kecil. Bruce juga sempat mengalami gangguan pendengaran yang saat itu dikira akibat syuting film laga.
"Ketika bahasanya mulai berubah, saya pikir itu hanya bagian dari gagap, itu hanya Bruce. Tak pernah terbayangkan bahwa itu adalah bentuk demensia pada seseorang yang masih tergolong muda," cerita Emma, dikutip dari Today, Senin (4/8/2025).
Pada saat itu, Bruce didiagnosis mengidap afasia, kondisi yang membuat kemampuan berbicara menjadi sulit. Lalu, setahun kemudian, pihak keluarga mengumumkan Bruce mengalami kondisi demensia frontotemporal.
Berbeda dengan jenis demensia lain yang memengaruhi ingatan, demensia yang dialami Bruce lebih memengaruhi komunikasi dan perilaku.
Secara umum, kondisi Bruce Willis saat ini sangat stabil. Namun, sang anak, Rumer Willis, sempat mengungkapkan kesedihannya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ayahnya sebaik seperti dulu lagi.
"Aku berharap bisa bertanya lebih banyak ketika kamu masih bisa menjawab. Tapi aku tahu kamu tak ingin aku bersedih, jadi aku akan mencoba bersyukur karena kamu masih ada untuk kupeluk, kucium, dan kuceritakan kisah," curhat Rumer Willis.
Apa Itu Afasia dan Demensia Frontotemporal?
Afasia dan demensia frontotemporal sebenarnya merupakan dua masalah kesehatan berbeda. Namun, keduanya bisa saja saling berkaitan.
Afasia
Dikutip dari Mayo Clinic, afasia adalah gangguan yang memengaruhi cara orang berkomunikasi. Kondisi ini dapat menurunkan kemampuan berbicara, menulis, serta memahami bahasa lisan, maupun tulisan.
Afasia biasanya muncul tiba-tiba, setelah seseorang mengalami stroke atau cedera kepala. Afasia juga bisa berkembang secara bertahap, akibat tumor otak yang tumbuh lambat atau penyakit degeneratif yang merusak otak secara progresif dan permanen.
Gejala Afasia
Seseorang yang mengalami afasia bisa memunculkan gejala seperti:
- Berbicara dalam kalimat yang pendek atau tidak lengkap.
- Mengucapkan kalimat yang tidak masuk akal.
- Menukar satu kata atau suara dengan kata/suara lain.
- Mengucapkan kata-kata yang tidak dikenali.
- Kesulitan menemukan kata yang tepat.
- Tidak memahami percakapan orang lain.
- Tidak memahami apa yang dibaca.
- Menulis kalimat yang tidak logis.
Penyebab Afasia
Penyebab paling umum adalah kerusakan otak akibat stroke, yaitu penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Kehilangan aliran darah menyebabkan kematian atau kerusakan sel otak di area yang mengatur bahasa.
Kerusakan otak akibat cedera kepala berat, tumor, infeksi, atau proses degeneratif juga dapat menyebabkan afasia. Dalam kasus seperti ini, afasia sering disertai dengan masalah kognitif lainnya, seperti gangguan memori atau kebingungan.
Demensia Frontotemporal
Demensia frontotemporal adalah istilah umum yang merujuk sekelompok penyakit otak yang memengaruhi lobus frontal dan temporal otak, yang memengaruhi kepribadian, perilaku, dan bahasa. Lobus orang dengan kondisi ini biasanya mengalami penyusutan.
Gejala Demensia Frontotemporal
Gejala demensia frontotemporal terbagi menjadi perubahan perilaku, komunikasi, dan motorik. Untuk perubahan perilaku meliputi:
- Semakin sering bersikap tidak pantas secara sosial.
- Kehilangan empati dan kemampuan bersosialisasi, misalnya tidak peka terhadap perasaan orang lain.
- Kurangnya penilaian yang baik.
- Kehilangan kontrol diri.
- Kehilangan minat (apatis), yang sering disangka sebagai depresi.
- Perilaku kompulsif, seperti mengetuk-ngetuk, bertepuk tangan, atau membunyikan bibir berulang kali.
- Penurunan kebersihan pribadi.
- Perubahan pola makan, seperti makan berlebihan atau menyukai makanan manis dan tinggi karbohidrat.
- Makan benda-benda asing.
Beberapa subtipe dari demensia frontotemporal menyebabkan perubahan pada kemampuan berbahasa atau hilangnya kemampuan bicara. Subtipe-subtipe tersebut meliputi primary progressive afasia (penurunan kemampuan berbahasa), semantic dementia (penurunan pemahaman kata), dan progressive agrammatic afasia (penurunan kemampuan penyusunan kata).
Gejala-gejala yang ditimbulkan seperti:
- Sulit menggunakan dan memahami bahasa tertulis dan lisan.
- Sulit Menyebut nama benda.
- Tidak mengerti makna kata-kata.
- Ucapan terputus-putus.
- Kesalahan penyusunan kalimat.
Subtipe demensia frontotemporal yang jarang dapat memicu masalah motorik seperti:
- Tremor (gemetar).
- Kekakuan otot (rigiditas).
- Kejang atau kedutan otot.
- Koordinasi tubuh yang buruk.
- Kesulitan menelan.
- Kelemahan otot.
- Tertawa atau menangis yang tidak sesuai konteks.
- Sering terjatuh atau kesulitan berjalan.
Penyebab Demensia Frontotemporal
Orang dengan demensia frontotemporal mengalami penyusutan lobus frontal dan temporal otak, serta ada zat-zat tertentu menumpuk di otak. Penyebab pasti dari perubahan ini biasanya tidak diketahui.
Beberapa perubahan genetik telah dikaitkan dengan kondisi ini. Namun, lebih dari setengah kasus demensia frontotemporal terjadi tanpa riwayat demensia keluarga. Penelitian lebih lanjut masih terus dilakukan untuk memahami hubungan antara kedua kondisi ini.
Intinya, afasia merupakan salah satu gejala dari demensia frontotemporal. Pada kondisi ini, kerusakan otak secara bertahap memengaruhi kemampuan berbahasa, baik dalam memahami maupun menggunakan kata.