Jakarta (ANTARA) - Suara "duk-duk" berulang saat kereta api melaju di atas rel ternyata berasal dari sambungan rel yang memang sengaja dirancang memiliki jarak atau celah antarbatang rel.
"Keberadaan celah tersebut memiliki fungsi teknis yang sangat penting untuk keselamatan dan keandalan perjalanan kereta api," ujar Manager Humas PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 1 Jakarta, Ixfan Hendriwintoko di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, celah atau jarak pada sambungan rel bertujuan untuk mengantisipasi perubahan panjang rel akibat suhu. Besi atau baja sebagai bahan rel akan memuai saat panas dan menyusut saat dingin.
"Jika tidak ada celah, maka rel bisa melengkung atau bahkan retak akibat tekanan termal," kata dia.
Pada siang hari, suhu rel dapat meningkat tajam karena paparan sinar matahari langsung. Tanpa ruang pemuaian yang cukup, sambungan antarrel akan mengalami tekanan besar yang bisa menyebabkan "track buckling" atau pelengkungan rel, yang berisiko terhadap keselamatan perjalanan kereta api.
Dengan adanya celah, rel diberikan ruang untuk memuai sehingga tekanan tidak terkonsentrasi di satu titik. "Inilah kenapa desain sambungan rel dibuat tidak rapat sempurna," kata Ixfan.
Selain celah sambungan, terdapat juga "rail joint bars" (pelat sambungan) dan "fish bolts" (baut khusus) untuk menyambungkan antarbatang rel.
Sistem ini tidak hanya memberikan fleksibilitas terhadap perubahan suhu, tetapi juga mempermudah proses perawatan, inspeksi dan penggantian rel jika diperlukan.
Untuk jalur-jalur strategis dan padat, kini banyak digunakan rel jenis "continuous welded rail" (CWR) yang menggunakan teknik penyambungan rel tanpa celah.
Namun, pada jalur dengan rel jenis ini, diperlukan sistem penanganan ekspansi termal yang lebih kompleks, seperti "rail anchor" dan "ballast retention".