MENTERI Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq meminta peraturan daerah (perda) yang memperbolehkan masyarakat membakar lahan maksimal dua hektare dicabut karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hal tersebut disampaikannya dalam rapat koordinasi kesiapsiagaan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bersama 13 pemerintah kabupaten/kota se-Kalimantan Selatan (Kalsel), Kamis (7/8). Sebelumnya mantan kepala Dinas Kehutanan Kalsel ini memimpin apel kesiapsiagaan menghadapi karhutla di Lapangan Sepak Bola Lanud Sjamsudin Noor, Banjarbaru.
Permintaan tersebut dapat diartikan petani yang membakar sawahnya di Kalimantan Selatan dapat dituntut secara hukum. Hal itu karena mereka tidak lagi punya payung hukum. Di tengah sulitnya perekonomian saat ini, apa yang disampaikan Hanif terasa tidak bijaksana.
Masyarakat tidak memiliki peralatan untuk membersihkan lahannya. Kalaupun ada perlu biaya.
Sebelumnya Hanif juga menutup sejumlah tempat pemrosesan akhir (TPA), termasuk TPA Basirih milik Pemerintah Kota Banjarmasin, karena masih menggunakan sistem terbuka. Niatnya baik agar tidak mencemari lingkungan, namun akibatnya sampah menumpuk dan berhamburan di Banjarmasin hingga mengganggu kehidupan masyarakat. Dampaknya bahkan masih terasa sampai saat ini. Sampah masih kerap di terlihat di tepi jalan.
Memang apa yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup ada benarnya. Jika ada peraturan yang menolerir pembakaran lahan maka masyarakat bisa seenaknya membersihkan sawahnya. Namun alangkah lebih baik pemerintah memberikan solusi terlebih dulu.
Hanif meminta pemerintah daerah untuk memberikan bantuan peralatan olah tanah, sehingga petani tidak lagi membakar lahannya. Namun pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah mampu.
Terlebih pernyataan bahwa perda tersebut bertentangan dengan UU No 32/2009 masih mendapat bantahan dari Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel Rubi. Dia mengatakan pasal 69 ayat 2 memberikan pengecualian kepada masyarakat adat yang membuka lahan dengan cara membakar secara tradisional maksimal dua hektare per kepala keluarga.
Masyarat Dayak, yang menjadi peladang berpindah, punya teknik tradisional membakar lahan tanpa menyebar. Ladangnya dikelilingi dengan parit. Parit dialiri air dari batang bambu yang dilubangi. Bambu berisi air ditempatkan dengan jarak tertentu. Dengan demikian api tidak melewati batas.
Itu dilakukan karena petani adat tidak mau hutan mereka terbakar karena di sanalah kehidupan mereka. Inilah kearifan lokal. Harapannya para pemimpin negeri ini juga punya kearifan dalam mengedukasi masyarakat, termasuk dalam mengatasi karhutla. (*)