Jadi komandan sejak kerbau mengamuk di kampungnya. Jadi jagoan sejak di bangku sekolah. Sebagai prajurit, tidak pernah usai bertempur. Sebagai jenderal, tidak pernah ragu-ragu. Dialah Ahmad Yani, satu dari jenderal terbaik yang pernah kita punyai. Musuh nomor satu komunis.
Artikel ini pernah tayang di Majalah HAI edisi 30 September 1986 dengan judul "Jenderal Ahmad Yani"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Subuh menyeruak. Kira-kira pukul 05.00, tanggal 1 Oktober 1965. Rumah yang terletak di ujung jalan Lembang, Menteng, Jakarta, mulai terlihat 'tanda kehidupan'.
Mbok Milah, pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani sudah bangun. Begitu pula, Eddy, putra bungsu keluarga ini. Di luar rumah, dingin. Tapi ternyata telah terjadi 'kesibukan' yang panas. Sekelompok orang berseragam dan bersenjata menyergap pasukan pengawal rumah. Dan setelah itu memasuki pekarangan.
Gerombolan itu, yang kemudian diketahui sebagai pasukan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Istana Presiden), masuk lewat pintu depan yang kebetulan tidak terkunci. Sersan Tumiran yang duluan masuk, langsung memerintah mbok Milah untuk membangunkan Jenderal Yani. Pembantu rumah tangga ini, tentu saja nggak berani. Eddy, yang kebetulan ada di situ, akhirnya yang disuruh membangunkan ayahnya.
Sementara beberapa anggota gerombolan yang masuk lewat pintu samping menimbulkan kebisingan. Semua anggota keluarga terbangun. Jenderal Yani yang diberitahu ada 'utusan' yang akan menghadap segera bangun. Dan keluar ke ruangan tamu belakang menemui utusan tersebut.
Jenderal Yani, tentu saja nggak curiga. Apalagi yang datang itu anggota Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.
Sersan Raswad, yang memakai tanda pangkat Kapten melaporkan, Jenderal Yani diperintahkan Presiden Soekarno segera datang ke istana. "Baik, tunggu dulu, saya mau mandi," ujar Jenderal Yani seraya berbalik masuk kamar.
"Tidak usah mandi!" ucap Sersan Tumiran.
"Baik, saya akan cuci muka dan berpakaian!" jawab Jenderal Yani kemudian.
"Tidak usah berpakaian!" cetus Sersan Tumiran.
Mendapat jawaban seperti itu, Jenderal Yani marah. Dia membalik badan, dan menempeleng Praka Dokrin, seorang anggota Cakrabirawa yang berdiri persis di belakangnya.
"Tahu apa kau prajurit!" sergah Jenderal Yani sambil melangkah masuk dan menutup pintu kaca.
Tiba-tiba Sersan Giyadi yang berdiri di samping Praka Dokrin melepaskan serentetan tembakan dari senjata Thomson-nya. Peluru panas mengarah dan menghantam tubuh Jenderal Yani yang berada di balik pintu kaca. Dia pun rubuh dengan tubuh bersimbah darah. Jenazahnya dilempar ke atas truk. Kemudian dibenamkan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Kerbau Ngamuk
Jenderal Ahmad Yani yang ketika jadi korban 'keganasan' Gerakan 30 September itu sedang memangku jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Dan, dia yang lahir 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, itu sejak kecil memang sudah bakat jadi komandan. Di kampungnya, dia selalu ditunjuk jadi pemimpin kelompok anak-anak. Selain hobinya main perang-perangan.
Suatu hari, seekor kerbau mengamuk di kampungnya. Semua orang berlarian. Panik. Namun seorang anak kecil dengan tenang memanjat sebuah pohon. Dan dari atas pohon, dia mengomandokan beberapa orang untuk menangkap kerbau itu. Dan anehnya perintah anak itu diikuti. Entah kekuatan apa yang dimilikinya? Kok bisa-bisanya memberi perintah, dan diikutin lagi. Nama anak kecil itu: Ahmad, putra tertua dari keluarga Sarjo bin Suharyo.
Peristiwa 'kerbau ngamuk' itu ternyata membawa keberuntungan buat Ahmad kecil. Hulstyn, seorang Belanda yang jadi majikan ayahnya terkesan dengan 'ulah' Ahmad. Olehnya, Ahmad kemudian diambil dan diasuh. Oleh Hulstyn pula nama Ahmad ditambah dengan Yani.
Tahun 1928, Yani dimasukan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah dasar berbahasa Belanda, di Purworejo. Uniknya, pendidikan di sekolah ini ditempuhnya di tiga tempat. Kelas 3 HIS diikutinya di Magelang. Kelas 4 sampai tamat, Yani mengikutinya di Bogor.
Memukul Belanda
Tamat HIS tahun 1935, Yani meneruskan ke MULO bagian B di Bogor. Nah, ketika di Bogor inilah terjadi peristiwa yang menunjukkan sifat 'berani' Yani. Suatu hari dia berkunjung ke tempat ayahnya bekerja. Saat itu dia melihat si ayah sedang dimaki-maki atasannya, seorang Belanda.
Mendengar makian itu, Yani jadi panas. Si Belanda dimaki ganti dengan bahasa Belanda yang fasih. Tentu saja, suasana jadi panas. Yani dipukul. Dan di luar dugaan, Yani melawan. Terjadilah perkelahian yang tidak seimbang. Sehingga, seorang Kopral KNIL, Lopias, namanya yang tidak tega melihat Yani dipukuli orang Belanda itu, datang membantu.
Si Belanda dipukul Lopias sampai jatuh. Dan perkelahian ini, tentu saja berbuntut panjang. Lopias yang suku Ambon itu kontan diturunkan pangkatnya, lantaran berani memukul seorang Belanda.
Militer Terbaik
Pendidikan di MULO dilewati Yani dengan mulus. Bahkan dia terpilih jadi tiga terbaik. Prestasinya itulah yang melancarkan jalannya masuk AMS (Algemeene Middelbare School), setingkat SMA di Jakarta.
Sayang, perang dunia kedua pecah. Belanda mengumumkan mobilisasi umum. Yani, tahun 1940, meninggalkan AMS dan mendaftarkan diri di Dinas Topografi (pemetaan) Militer. Nah, dari saat itulah karir militer mulai dirintisnya. Atasannya yang melihat bakat militer yang kental pada Yani, lalu mengirim dia mengikuti pendidikan militer dengan intensif di Bogor.
1942 Belanda kalah. Jepang, kini giliran bercokol di Indonesia. Yani, yang saat itu berpangkat sersan ditangkap. Dan sempat pula beberapa bulan ditawan di Cimahi.
Tapi, lagi-lagi nasibnya mujur. Yani, yang saat itu sedang mendaftar menjadi juru bahasa malah disarankan perwira Jepang yang bernama Obata itu mengikuti pendidikan militer untuk jadi Heiho di Magelang. Dia, tentu saja senang.
Pendidikan heiho tidak dirasanya berat. Selain dia pernah mendapat pendidikan dasar militer di zaman Belanda dulu, lebih dari itu, otaknya memang encer. Sehingga pendidikan heiho diselesaikannya dengan gemilang.
Yani, kemudian mengikuti pendidikan syodanco di Bogor. Dan ini pun dilewatinya dengan mantap. Bahkan dia terpilih sebagai siswa terbaik.
Komandan ulung
Jepang bertekuk lutut. Belanda yang membonceng pasukan Sekutu, berhasrat lagi menancapkan kukunya di bumi Indonesia yang sudah merdeka.
Yani, setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk diangkat jadi komandan batalyon 4. Pangkatnya pun sudah Mayor. Sementara pertengahan Oktober 1945, pasukan sekutu mendarat di Semarang. Tujuannya sih semula hanya mau membebaskan tawanan Belanda dari Jepang. Tapi, selanjutnya tawanan ini malah dipersenjatai.
Tindakan ini, tentu saja menyulut ketegangan dengan tentara kita. Bentrokan senjata pun tidak bisa dihindari. Dari pertempuran di sekitar Magelang, pasukan yang dipimpin Yani, berhasil memukul mundur pasukan Sekutu sampai ke Ambarawa.
Pertempuran tidak berhenti. Bersama pasukan TKR lainnya, batalyon Yani menggempur pasukan sekutu di Ambarawa. Kemenangan diraih. Pasukan sekutu (serikat) dipaksa mundur lagi ke Semarang.
Prestasi Yani cukup menjulang, hingga September 1948, pangkat Yani dinaikkan jadi Letnan Kolonel. Dan mengomandoi Brigade Diponegoro di Jawa Tengah.
Baru beberapa hah dia memegang jabatan itu, PKI melancarkan pemberontakan. Dia, kembali turun menumpas pemberontakan itu di daerah sekitar Purwodadi, Grobogan.
Pemberontakan 'bangsa sendiri' itu berhasil dipadamkannya. Namun, Yani nampaknya belum bisa ngaso. Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer untuk kedua kalinya.
Magelang, yang jadi kota tempat kedudukan Yani terkepung. Tapi, Yani, seperti biasanya, tidak panik. Magelang dibumihanguskan (sesuai rencananya). Pasukan ditarik mundur. Mulailah dia menggunakan taktik yang telah digariskan Panglima Besar Sudirman. Apalagi kalau bukan perang gerilya.
Pahlawan ulung
Seusai perang kemerdekaan, Yani tidak pernah berhenti 'bertempur'. Berturut-turut gangguan datang merongrong Republik Indonesia yang masih berusia bayi itu. Di antaranya gangguan gerombolan bersenjata Kyai Somolangu di Kebumen, pemberontakan Batalyon 426 yang dipimpin Mayor Munawar. Sementara gerombolan DI/TII makin giat mengacau di daerah Pekalongan dan Brebes. Nah, yang kayak beginilah tugas Yani buat menumpasnya.
Kembali dari sekolah Command And General Staff College, di Amerika Serikat, Yani ditarik ke Markas Besar Angkatan Darat (Mabad) dan menjabat Deputi I (Operasi).
Ilmu 'operasi gabungan' yang didapatnya ketika belajar di Amerika Serikat (1955-56) itu pun segera dipraktekkannya. Yakni, ketika dia jadi Komandan Operasi 17 Agustus yang melibatkan unsur darat, laut, dan udara. Operasi gabungan ini dibentuk untuk menumpas pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat.
Jenjang kepangkatan bertahap dilaluinya semenjak kembali dari Sumatera. Hingga 1 Januari 1963, Yani diangkat jadi Kasad, orang 'nomor satu' di Angkatan Darat, dengan pangkat – yang setahun kemudian – Letnan Jenderal.
Sebagai Jenderal, sebagai prajurit, dia tak lepas dari pergolakan. Suasana politik Indonesia yang kurang sedap di masa itu tak jarang menyudutkan posisi Yani dengan Angkatan Daratnya.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berniat menguasai pemerintah Indonesia terus melemparkan fitnah-fitnah kejam ke tubuh Angkatan Darat. Seperti tuduhan 'Dewan Jenderal' yang dipimpin Yani, yang bertujuan hendak berkhianat kepada Presiden. Pokoknya, garis permusuhan yang tebal telah digaris antara Yani dengan PKI yang berlindung di balik Presiden.
Hingga, kejadian subuh, 1 Oktober 1965 itu. Jenderal berwajah tampan itu dibunuh. Dibenamkan di sumur Lubang Buaya dengan perwira-perwira lainnya yang juga jadi korban kebengisan gerombolan Gerakan 30 September-nya.
Jenderal Ahmad Yani, tokoh Angkatan Darat dengan tiga belas bintang penghargaan, setelah gugur diberi anugerah oleh pemerintah dengan gelar mulia, Pahlawan Revolusi. Dan, Yani tidak hanya delapan anak dan seorang istri saja yang ditinggalkannya. Tapi, lebih besar dari itu diwariskan kepada kita semangat berjuang, dan keteguhan pendiriannya. Apalagi, kalau bukan dipakai untuk: Kebenaran.