Manusia Antara Dimensi Esoterik dan Eksoterik
suhendri August 10, 2025 03:30 PM

Oleh: Rusydi Sulaiman - Direktur Madania Center & Guru Besar dalam Kepakaran Bidang Pengkajian Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

DI awal keberadaan wujud fisiknya di bumi, manusia bergerak dan menyikapi sesuatu dengan kekuatan dirinya. Terlebih saat dua potensi; akal dan kalbu menguat, manusia merasa mampu mengatasi segalanya, di antaranya karena manusia yakin akan kekuatan dirinya sehingga tidak membutuhkan selain dirinya.

Namun, ketika begitu banyak masalah menerpa dan tak teratasi oleh dirinya, manusia mulai mengakui ada kekuatan lain di luar dirinya, lalu diyakini. Bila kekuatan magis tersebut berupa benda-benda mati yang diyakini, maka disebut dinamisme. Dan bila berupa roh-roh tertentu, maka disebut animisme--jauh sebelum kemunculan agama, baik agama budaya ( cultural religion) maupun agama wahyu (divine religion). 

Manusia merasa lemah karena fakta kelemahan dan ketidakberdayaan dalam dirinya. Agama yang bersumber dari Tuhan melalui orang bijak sekelas nabi, rasul, ulama, dan tokoh agama mengajak manusia ke arah kebaikan. Faktanya tidak juga agama menjadi rujukan saat itu, karena dianggap tidak juga menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Selain itu,  ada yang mengambil jalan pintas dengan cara mendatangi orang pintar, disebut dukun, tabib atau sosok lain yang  diyakini mampu mengatasi masalah.  Benarkah demikian?

Istilah-istilah tersebut adalah gelar atau lekatan pada orang tertentu karena diyakini memiliki kelebihan tertentu. Sama halnya sebutan ustaz, kiai, buya, guru atau tuan guru dan semacamnya, dipastikan ada maksud spesifik dan tujuan penamaannya. 

Bila seseorang diberi gelar tertentu, maka dasar dan argumennya harus jelas sehingga keberadaan dirinya dianggap dan diapresiasi. Bila tidak, maka hal tersebut akan menjadi masalah tersendiri. Penyebutan gelar tertentu pada seseorang dan atau pelekatan gelar tersebut oleh dirinya sendiri padahal ia tidak memenuhi kualifikasi, maka hal tersebut akan menjadi dilema tersendiri.

Dukun misalnya, apakah ia palsu atau benar-benar dukun, sulit sekali mengukurnya. Adakah syarat tertentu atau faktor lain seperti keturunan dan atau pelimpahan (ijazah) tertentu sehingga seseorang diberi gelar dukun? Setidaknya penafian peran dukun ke masalah tertentu oleh pihak tertentu mengindikasikan hal tersebut. Mungkin ada benarnya? Setidaknya secara moral perlu disikapi.

Bila seseorang meyakini benda-benda mati dan roh tertentu memiliki kekuatan magis tertentu di luar kekuatan Tuhan, lalu mengultuskannya bahkan men-Tuhan-kannya, sesungguhnya ia telah berbuat syirik terhadap Tuhan, Allah Swt. Seorang muslim  yang menyentuh dimensi esoterik apa pun bentuknya, maka ia mesti mengakui otoritas Allah, as the ultimate reality ( sebagai realitas tertinggi). 

Bila tidak, maka ia sudah berada di luar garis ketauhidan; dianggap sesat, dan apa pun yang diajarkannya menyesatkan.  Paham bahkan teori di luar mainstream pun terkadang dianggap sesat di waktu atau zaman tertentu walaupun di zaman berikutnya diyakini benar, bahkan ia menemukan basis atau pijakannya di tengah masyarakat. Pastinya, tidak saling menyalahi, tetapi terus berbagi pengetahuan untuk kemaslahatan bersama.

Di Nusantara, lebih spesifik Pulau Bangka, dahulunya tertanam kuat keyakinan animisme dan dinamisme, lalu agama Islam disebarkan melalui jalur tertentu sehingga berlangsung proses islamisasi. Intens atau tidaknya, diyakini bahwa persentuhan pun telah terjadi. Tinggal mana yang dominan dalam konteks akulturasi budaya; antara yang lama dan sesuatu yang baru. 

Telah terjadi "the clash of culture" ( benturan kebudayaan) bahkan "the clash of belief", menjadi benturan keyakinan. "Urang Lom" (orang yang belum beragama) menjadi "Urang Lah" (orang yang sudah beragama), menganut Agama Islam. 

Upaya seseorang yang diidentikkan dengan  semangat menyinergikan hubungan antara manusia, alam dan kekuatan magis tertentu menjadi fenomena tersendiri. Bila dia beragama, maka apa sebutannya? Apakah ia hanya berkutat pada dimensi esoterik atau sebaliknya?  Manusia mesti berada pada titik tertentu, antara dimensi eksoterik dan dimensi esoterik.  

Ihrish lidunyaaka ka'annaka ta'iisyu abadan, wa'mal  li Aakhiratika ka'annaka tamuutu ghadan (peliharalah kehidupan duniamu seakan akan kamu hidup selamanya, dan berbuat saleh untuk akhiratmu seakan akan kamu mati besok hari). 

Berada pada dimensi eksoterik karena manusia adalah penghuni bumi yang memiliki ketergantungan terhadap sumber alam di bumi. Sebaliknya  manusia juga perlu menyentuh dimensi esoterik  untuk penguatan kesadaran keagamaan (spiritual)  karena manusia akan berpulang ke alam akhirat. Apa pun yang kita perbuat, maka agama menjadi pijakan kehidupan. Wassalam. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.