Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan sejumlah cara termasuk memasang jaring untuk menanggulangi busa di Pintu Air Wier 3, Banjir Kanal Timur (BKT), Jakarta Utara, dalam kegiatan simulasi pada 13 Agustus 2025.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto di Jakarta, Ahad mengatakan, jaring terapung berfungsi untuk melokalisasi penyebaran busa.
Lalu, sejumlah perahu karet bermotor akan disiagakan di dalam dan luar area jaring untuk mendukung mobilitas petugas di lapangan.
Selain itu, Pemprov DKI juga menggunakan semprotan selang (nozzle) yang mencampurkan air dengan cairan microorganisme pengurai surfactant, seperti EM4, yang lebih biodegradable guna mempercepat pemecahan busa.
Kegiatan simulasi penanggulangan busa nantinya melibatkan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lintas sektor guna memastikan respon cepat dan efektif jika busa kembali muncul di lokasi tersebut.
Asep mengatakan, simulasi ini merupakan langkah konkret dalam penanggulangan pencemaran jangka pendek sebagai bagian dari program pemulihan air sungai dalam jangka panjang.
Ia menyebutkan, kadar pencemar di kawasan tersebut sudah melampaui baku mutu lingkungan.
“DLH bersama BPBD, Dinas Sumber Daya Air, serta Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan akan berkolaborasi untuk mempercepat pemulihan kualitas air sungai,” ujar Asep.
Penyebab munculnya busa tersebut diduga akibat tingginya pencemaran organik yang ditunjukkan oleh nilai "Biological Oxygen Demand" (BOD) dan "Chemical Oxygen Demand" (COD).
Selain itu, limbah rumah tangga terutama sabun dan deterjen yang mengandung surfaktan sintetis, menjadi penyebab utama.
“Kondisi turbulen di pintu air akibat perbedaan elevasi permukaan membuat udara terjebak di dalam air sehingga memperbanyak dan mempertahankan busa,” katanya.
Lalu, selain penanganan darurat, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta juga menekankan pentingnya pencegahan jangka panjang.
Salah satunya melalui penertiban pelaku usaha yang diwajibkan memiliki Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), sebuah dokumen wajib bagi usaha berskala kecil, dengan luas lahan terbangun di bawah satu hektare atau bangunan di bawah 5.000 meter persegi (m2).
Asep mengingatkan, pelanggaran terhadap pengelolaan lingkungan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dengan ancaman kurungan 10 hingga 90 hari atau denda antara Rp100 ribu hingga Rp30 juta.
Selain itu, sesuai Peraturan Gubernur Nomor 122 Tahun 2005 tentang Air Limbah Domestik, pelanggar juga dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan penyegelan bangunan.
“Tahun ini kami fokus membina usaha kategori SPPL, dimulai dari kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung sebagai 'pilot project' penguatan pengelolaan lingkungan sejak dari hulu,” kata Asep.