TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kopda Bazarsah kini menggantungkan nasibnya pada upaya banding usai dijatuhi hukuman mati dan dipecat dari dinas militer atas perkara penembakan 3 polisi di lokasi judi sabung ayam, Way Kanan, Lampung
Mengajukan banding jadi jalan terakhir yang bisa ditempuh agar lolos dari vonis mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer I-04 Palembang pada Senin (11/8/2025).
Dalam hukum banding adalah upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, misalnya Pengadilan Negeri. Pengadilan Militer, setingkat dengan Pengadilan Negeri.
Banding diajukan agar perkara tersebut diperiksa kembali oleh pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Banding harus diajukan dalam jangka waktu tertentu setelah putusan dibacakan, biasanya 14 hari.
Hasil banding bisa menguatkan, mengubah atau membatalkan putusan sebelumnya.
Seperti dimuat Facebook TribunSumsel, terlihat ekspresi Kopda Bazarsah usai divonis hukuman mati.
Hakim mempersilahkan Kopda Bazarsah berdiskusi dengan kuasa hukum dalam mengambil sikap atas vonis hakim.
Kopda Bazarsah terlihat berdiskusi dengan para kuasa hukumnya atas vonis hakim tersebut.
Ekspresi Kopda Bazarsah pun tampak tegang. Telapak tangannya terus memainkan pahanya sambil mengangguk-angguk mendengarkan petunjuk kuasa hukum.
Kopda Bazarsah juga terlihat dikuatkan oleh kuasa hukum yang memegang pundaknya selama berbicara.
Hasilnya tim kuasa hukum Kopda Bazarsah yang dipimpin oleh Kolonel CHK Amir Welong SH mengumumkan rencana pengajuan banding tersebut.
Mereka memiliki waktu delapan hari, hingga 19 Agustus 2025, untuk menyusun dan melayangkan materi banding ke Pengadilan Tinggi Militer Medan, Sumatera Utara.
Pengadilan Militer Tinggi berfungsi sebagai pengadilan tingkat banding untuk perkara-perkara pidana yang sebelumnya diputus di tingkat Pengadilan Militer.
Artinya, jika seseorang tidak puas dengan putusan Pengadilan Militer, mereka bisa mengajukan banding ke Pengadilan Militer Tinggi.
Jadi, dalam kasus Kopda Bazarsah, pengajuan bandingnya akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi Militer Medan karena putusan awalnya dijatuhkan oleh pengadilan militer di Palembang, yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Militer I Medan.
"Dari awal kami memberikan pendampingan hukum sampai vonis ini. Terdakwa ini meskipun salah, tetap manusia biasa punya keluarga," ungkap Amir Welong usai persidangan.
Ia juga menambahkan bahwa timnya berkeyakinan dakwaan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana tidak terbukti secara kuat.
Seluruh argumen ini akan menjadi poin utama dalam materi banding yang mereka siapkan.
Di sisi lain, Oditur Militer I-05 Palembang menerima putusan tersebut. Kepala Oditur Militer Kolonel Kum Eni Sulisdawati menyatakan bahwa mereka telah menyusun dakwaan secara kumulatif dan merasa puas dengan putusan yang ada
Suasana di ruang sidang Pengadilan Militer I-04 Palembang, Senin (11/8/2025), terasa tegang dan hening.
Semua mata tertuju pada Ketua Majelis Hakim, Kolonel CHK (K) Fredy Ferdian Isnartanto.
Di kursi pesakitan, Kopda Bazarsah berdiri dengan wajah datar, menanti takdirnya.
Di sisi lain ruangan, keluarga tiga anggota polisi yang tewas di tangannya menahan napas, menggenggam harapan akan keadilan.
Hening itu pecah seketika saat palu hakim diketuk dengan tegas.
“Menjatuhkan pidana mati dan dipecat dari dinas militer,” ujar Kolonel Fredy, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Seketika, isak tangis haru dan lega pecah dari barisan keluarga korban.
Penantian panjang mereka atas keadilan bagi orang-orang terkasih yang gugur di Way Kanan, Lampung, akhirnya terjawab dengan vonis paling berat.
Kopda Bazarsah, prajurit yang seharusnya mengayomi, kini harus menghadapi akhir hidupnya di tangan eksekutor dan namanya dicopot dari institusi yang pernah ia banggakan.
Perjalanan kasus ini cukup berliku. Oditur militer awalnya menuntut Bazarsah dengan pasal berlapis, termasuk dakwaan primer Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Namun, majelis hakim memiliki pandangan berbeda.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa unsur "perencanaan" tidak terbukti.
“Majelis hakim berpendapat dalam rangkaian perbuatan terdakwa tidak terdapat tindakan-tindakan persiapan untuk melakukan perbuatan pembunuhan,” jelas Kolonel Fredy.
Faktanya, Bazarsah tidak mengetahui bahwa hari nahas itu akan ada penggerebekan di lokasi judi yang ia kelola.
Senjata api ilegal yang selalu ia bawa pun, menurut hakim, merupakan alat untuk menjaga keamanan bisnis haramnya, bukan alat yang secara khusus disiapkan untuk membunuh para polisi pada hari itu.
Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan vonis berdasarkan dakwaan subsider, yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Meskipun unsurnya berbeda, akibatnya tetap sama fatal tiga nyawa melayang.
Vonis mati tersebut tidak hanya didasarkan pada hilangnya nyawa. Majelis hakim juga menyatakan Kopda Bazarsah terbukti bersalah atas dua tindak pidana lainnya yang memberatkan.
Pertama, kepemilikan senjata api ilegal sesuai Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951.
Kedua, perannya sebagai pengelola arena judi yang melanggar Pasal 303 KUHP. Dua kejahatan inilah yang menjadi latar belakang terjadinya tragedi penembakan tersebut.
Keterlibatannya dalam dunia gelap ini mencoreng nama baik institusi militer dan menjadi ironi pahit bagi seorang abdi negara.
Bagi keluarga korban, vonis ini mungkin tidak akan pernah bisa mengembalikan orang yang mereka cintai.
Namun, tangisan yang pecah di ruang sidang hari itu adalah simbol dari sebuah kelegaan, bahwa keadilan tertinggi telah ditegakkan.
Kasus yang menyita perhatian publik ini ditutup dengan vonis mati dan pemecatan, menjadi penutup tragis dari sebuah babak kelam yang melibatkan aparat penegak hukum dari dua institusi berbeda.
Vonis mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer Palembang terhadap Kopda Bazarsah, pelaku penembakan tiga polisi di Way Kanan, disambut baik oleh berbagai pihak.
Dr. H. Ruben Achmad, S.H., M.H., seorang pakar hukum pidana dari Universitas Sriwijaya (Unsri), memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada majelis hakim atas keputusan tersebut.
Menurutnya, putusan ini merupakan cerminan dari penegakan hukum pidana yang kuat di lingkungan TNI.
Vonis yang dijatuhkan pada Senin (11/8/2025) itu sesuai dengan tuntutan Oditur Militer yang meminta hukuman mati dan pemecatan dari dinas kemiliteran.
Ruben yang juga peneliti aktif di Unsri menjelaskan bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan jika tindak pidana yang dilakukan memang memiliki ancaman pidana tersebut, seperti halnya dalam kasus pembunuhan berencana ini.
Pemecatan dari TNI pun menjadi hukuman tambahan yang relevan.
“Pengadilan Militer wajib diberi apresiasi positif dalam penegakan Hukum Pidana yang pelakunya anggota TNI,” ujar Ruben.
Lebih lanjut, ia memaparkan implikasi hukum dari putusan ini dari dua aspek, yaitu teoritis dan praktis.
Secara teoritis, putusan ini menegaskan bahwa penegakan hukum pidana di Indonesia harus didasarkan pada hukum positif dan doktrin hukum pidana.
Sementara itu, secara praktis, vonis maksimal ini diharapkan dapat menjadi ‘deterrent effect’ atau efek jera bagi prajurit TNI agar tidak mengulangi tindakan pidana serupa di masa mendatang.
"Dampak vonis mati ini menunjukkan TNI ingin tetap menjaga citra dan kepercayaan publik, dan memberikan rasa keadilan bagi para keluarga korban," tegas Ruben yang juga aktif menulis di berbagai jurnal hukum, di antaranya analisis tindak pidana perjudian online, studi tentang penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi, dan lainnya.
Ia menambahkan bahwa putusan hakim harus mampu memberikan rasa keadilan bagi korban, pelaku, dan masyarakat, serta menegakkan kepastian hukum.
Meskipun demikian, Ruben mengakui bahwa pelaku masih memiliki hak untuk menempuh upaya hukum lain seperti banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) hingga putusan tersebut inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Ruben juga menyoroti bahwa hukuman mati dalam KUHP Nasional kini tidak lagi menjadi hukuman pokok, melainkan hukuman khusus.
Ini berarti pidana mati bisa berubah jika terpidana menunjukkan perbaikan signifikan selama menjalani masa hukuman. Namun, dalam kasus Kopda Bazarsah, proses hukum dipastikan masih akan terus berlanjut.
Kasus ini berawal dari penembakan yang menewaskan tiga polisi di Way Kanan, Lampung, adalah peristiwa tragis yang melibatkan oknum anggota TNI, Kopda Bazarsah.
Kejadian ini berawal dari penggerebekan lokasi judi sabung ayam yang dilakukan oleh tim kepolisian pada 17 Maret 2025.
Pada hari itu, 17 personel Polres Way Kanan mendatangi lokasi judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin.
Saat tiba di lokasi, mereka tiba-tiba ditembaki oleh orang tak dikenal. Tiga anggota polisi menjadi korban dan gugur di tempat, yaitu Kapolsek Negara Batin Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus Apriyanto, dan Bripda M. Ghalib Surya Ganta.
Penyelidikan kemudian mengarah pada Kopda Bazarsah sebagai pelaku penembakan.
Ia merupakan anggota TNI yang diduga terlibat dalam kegiatan judi sabung ayam tersebut.
Bazarsah didakwa melakukan pembunuhan berencana, memiliki senjata api ilegal, dan terlibat dalam perjudian ilegal.
Pada 11 Agustus 2025, Pengadilan Militer I-04 Palembang menjatuhkan vonis mati kepada Kopda Bazarsah. Putusan ini sesuai dengan tuntutan oditur militer yang juga meminta Bazarsah dipecat dari dinas TNI.
Selain Bazarsah, seorang anggota TNI lain, Peltu Yun Herry Lubis, juga divonis 3,5 tahun penjara dan dipecat dari TNI karena perannya dalam kasus judi sabung ayam yang sama.
(tribun network/thf/SRIPOKU.COM)