TRIBUNNEWS.COM - Kasus kematian tragis Dea Permata Karisma (27) mengguncang publik setelah terungkap bahwa korban sempat mengalami teror selama berbulan-bulan sebelum ditemukan tewas di rumahnya.
Laporan ancaman yang telah disampaikan keluarga ke Polsek Jatiluhur diduga tidak ditindaklanjuti, memicu sorotan tajam terhadap kinerja aparat kepolisian setempat.
Kini, publik mempertanyakan apakah kelalaian dalam respons awal turut berkontribusi pada kematian korban.
Dea Permata Karisma ditemukan tewas bersimbah darah di kediamannya yang berada di Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (12/8/2025) siang.
Perempuan muda itu ditemukan pertama kali oleh pembantunya, usai pergi ke warung pada Selasa sekitar pukul 13.30 WIB.
Pantauan Tribunjabar.id di lokasi kejadian sekitar pukul 16.00 WIB, garis polisi terpasang di kediaman korban.
Pihak kepolisian juga tengah mendalami dengan melakukan oleh TKP dan memerika sejumlah saksi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, jasad korban ditemukan oleh pembantunya dengan kondisi bersimbah darah dengan sejumlah luka tusuk.
Dugaan tindak pidana pembunuhan ini sontak membuat geger masyarakat sekitar, polisi pun langsung memasang garis polisi di sekeliling rumah korban.
Proses identifikasi dilakukan tim Inafis Polres Purwakarta.
Tidak disangka memang Dea Permata Karisma pergi begitu cepat.
Sosok Dea diungkapkan oleh adik kandungnya, Rafi Karisma (19).
Rafi menyebutkan bahwa Dea merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
"Terakhir ketemu hari Sabtu (9/8) kemarin, kami sekeluarga main ke rumah sini yang di Jatiluhur," kata Rafi kepada Tribunjabar.id, Selasa (12/8/2025).
Ia mengatakan, Dea merupakan sosok yang penyayang kepada keluarga. "Teteh (Dea) mah baik, kalau ketemu kami adik-adiknya suka nawarin jajan," kata Rafi.
Rafi tak menyangka bahwa pertemuan dengan sang kakak pada akhir pekan tersebut menjadi hari terakhir pertemuannya.
Rafi pun mengungkapkan bahwa sang kakak sempat bercerita terkait ancaman yang dilakukan oleh seseorang.
"Ia pernah cerita ke keluarga, soal ancaman lewat WhatsApp," ucapnya.
Sosok Dea yang baik dan kerap bergaul pun juga diungkapkan oleh tetangganya, Salbiah.
"Dia baik, suka bergaul sama semua orang, suka negor juga. Saya engga dengar dia punya masalah dengan siapa pun," ucapnya.
"Hari ini, Selasa (12/8), kami tim identifikasi dari Polres Purwakarta melakukan olah TKP di rumah yang ditemukan perempuan dalam kondisi meninggal dunia," ucapnya.
la mengatakan, pihak kepolisian masih mendalami peristiwa tersebut, mulai dari olah TKP hingga memintai keterangan dari sejumlah saksi.
"Jenazah korban akan diotopsi guna memastikan sebab-sebab kematiannya," kata Anom.
Sebelum terjadi pembunuhan, Dea sering mendapatkan teror lewat pesan WhatsApp (WA) hingga disarankan memasang CCTV di rumah.
Teror lewat chat WA tersebut berisi ancaman pembunuhan yang membuat Dea sempat gelisah.
Dea pun sempat melaporkan keresahannya ke pihak kepolisian setempat namun tidak mendapatkan tindak lanjut.
Hal tersebut diungkap oleh ayah korban, Sukarno (65) dan ibu korban, Yuli Ismawati (55).
"Pernah cerita, sempat diancam berturut-turut selama tiga bulan. Bahkan orang itu sempat masuk ke dalam rumah juga dipergoki oleh pembantu, pas itu langsung kabur," ujar Sukarno saat ditemui Tribunjabar.id di lokasi kejadian, Selasa (12/8/2025).
Sukarno mengatakan, anaknya itu juga diancam pembunuhan melalui chat WA.
Sementara itu, Yuli Ismawati juga membenarkan mengenai ancaman pembunuhan lewat pesan elektronik tersebut.
Sebagai orangtua, Yuli khawatir dan menyarankan putrinya melaporkan ancaman tersebut ke pihak kepolisian dan menyarankan memasang CCTV di kediamannya.
"Sudah lapor Babinsa, sampai ke Polsek Jatiluhur, tapi engga ada yang datang," ungkap Yuli sambil menangis.
Menurut Pasal 108 ayat (1) KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981):
“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.”
Pasal 108 ayat (1) KUHAP mengatur tentang hak setiap orang untuk melaporkan peristiwa yang merupakan tindak pidana. Ini berarti bahwa setiap orang yang mengalami, melihat, atau menjadi saksi suatu tindak pidana berhak untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Hak Melapor:
Pasal ini memberikan hak kepada setiap orang untuk menyampaikan laporan atau pengaduan terkait tindak pidana yang terjadi.
Siapa Saja?
Hak ini tidak hanya terbatas pada korban langsung, tetapi juga mencakup saksi mata atau siapapun yang mengetahui terjadinya tindak pidana.
Pihak Berwenang:
Laporan dapat disampaikan kepada penyelidik atau penyidik, baik secara lisan maupun tertulis.
Tindak Pidana:
Pasal ini berlaku untuk semua jenis tindak pidana, bukan hanya tindak pidana tertentu.
Pentingnya Laporan:
Laporan dari masyarakat dapat menjadi dasar bagi pihak berwajib untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terhadap suatu tindak pidana.
Setelah laporan diterima, penyelidik wajib melakukan penyelidikan awal untuk menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.
Aturan Pendukung
Perkapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana:
Polisi wajib membuat rencana penyelidikan.
Harus ada tindak lanjut berupa pencatatan, pemanggilan saksi, dan pengumpulan bukti.
SPDP dan SP2HP:
Pelapor berhak menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Polisi wajib memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) secara berkala kepada pelapor.
Jika Polisi Tidak Menindaklanjuti
Jika laporan tidak diproses, pelapor bisa:
Meminta SP2HP secara resmi.
Melaporkan ke Propam Polri atas dugaan kelalaian atau pelanggaran prosedur.
Mengajukan pengaduan ke Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi.
Menempuh praperadilan jika terjadi penghentian penyidikan tanpa dasar hukum yang jelas.
Jika merujuk pada kasus tewasnya Dea, maka Polisi memiliki kewajiban hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat sesuai Pasal 108 KUHAP dan Perkapolri No. 14 Tahun 2012.
Secara umum, Polsek (Kepolisian Sektor) memiliki kewenangan sebagai unit pelaksana tugas kepolisian di tingkat kecamatan. Dalam kasus dugaan pembunuhan, kewenangan Polsek meliputi:
Menerima laporan awal dari masyarakat.
Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara (TKP) seperti pengamanan lokasi dan pencatatan saksi awal.
Koordinasi dengan Polres (tingkat kabupaten/kota) untuk penyidikan lanjutan.
Memberikan perlindungan sementara kepada korban jika ancaman masih berlangsung.
Namun, penyidikan kasus pembunuhan secara penuh biasanya ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres, karena termasuk tindak pidana berat.
Dalam kasus Dea, laporan diduga diabaikan, padahal ancaman sudah jelas dan berulang. Ini menunjukkan kelalaian dalam deteksi dini terhadap potensi tindak pidana serius.
Polsek gagal menjalankan kewenangan awalnya untuk menindaklanjuti laporan dan melakukan deteksi dini. Ada dugaan kelalaian atau pelanggaran prosedur dalam penanganan laporan ancaman yang berujung fatal.
Implikasi Hukum dan Etika
Maladministrasi: Tidak menindaklanjuti laporan bisa dianggap sebagai pelanggaran administrasi dan etika profesi.
Pelanggaran Hak Asasi: Mengabaikan laporan ancaman berarti mengabaikan hak warga atas rasa aman.
Potensi Sanksi Internal: Jika terbukti lalai, anggota Polsek bisa dikenai sanksi oleh Propam Polri.
Selain itu, berdasarkan Perkapolri No. 7 Tahun 2022, polisi dilarang mengabaikan laporan masyarakat.
Kematian Dea menimbulkan trauma kolektif bagi masyarakat, terutama perempuan yang merasa tidak aman meski sudah melapor. Menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Bagi pihak keluarga korban dapat mengajukan pengaduan ke:
Propam Polri atas dugaan kelalaian.
Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi.
Komnas HAM jika ada pelanggaran hak atas rasa aman.
Publik dapat mendorong reformasi sistem pelaporan agar lebih responsif dan transparan. Kasus Dea adalah pengingat bahwa laporan korban bukan sekadar formalitas, melainkan permintaan perlindungan nyawa.