Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani mengingatkan bahwa pada usia ke-80 tahun kemerdekaan RI, pendidikan merupakan penentu nasib bangsa dalam meraih Indonesia Emas 2045.

"Pendidikan hari ini adalah penentu nasib bangsa dalam menapaki abad kedua kemerdekaan Indonesia Emas 2045," kata Lalu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (13/8).

Dia menegaskan menyambut 80 tahun Indonesia merdeka berarti memastikan seluruh anak Indonesia, baik dari kota hingga desa, mempunyai peluang yang setara untuk belajar, tumbuh, dan berkontribusi.

"Jika kita gagal mengentaskan ketimpangan dan menyiapkan generasi yang benar-benar merdeka berpikir, maka bekal menuju Indonesia Emas hanyalah retorika tanpa pijakan nyata. Mari jadikan pendidikan fondasi sejati bagi masa depan bangsa," katanya.

Dia pun menekankan pendidikan sejati adalah pendidikan yang memerdekakan, yang tidak hanya menamatkan buku teks, tetapi membebaskan pikiran dari keterbatasan.

"Pendidikan adalah batu loncatan ke depan, bukan rantai yang mengikat," ujarnya.

Lalu memandang kondisi pendidikan saat ini memperlihatkan sebuah ironi, yakni meskipun akses dasar sudah tinggi, namun kualitas dan kelanjutan pendidikan masih menyimpan jurang ketimpangan yang memprihatinkan.

Dia lantas membeberkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2024 bahwa angka partisipasi sekolah (APS) untuk jenjang SD (usia 7-12 tahun) mencapai lebih dari 99 persen, yang mencerminkan bahwa hampir seluruh anak di jenjang ini bersekolah.

Meskipun, APS pada jenjang SMP (13-15 tahun) masih tinggi, namun APS pada jenjang SMA (16-18 tahun) menurun signifikan yakni berkisar antara 70-85 persen secara nasional.

"Dan untuk kelompok usia 19-23 tahun, jenjang pendidikan tinggi, partisipasi kembali anjlok ke level 30-40 persen," ucapnya.

Dia lantas menyoroti rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas secara nasional hanya mencapai 9,22 tahun atau setara dengan tamat SMP.

"Meskipun angka ini tumbuh secara perlahan, naik dari sekitar 9,13 tahun tahun sebelumnya, angka ini menyiratkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak melanjutkan pendidikan hingga SMA," tuturnya.

Dia mengatakan statistik selanjutnya menunjukkan ketimpangan provinsi yang mencolok. Misalnya, Papua Pegunungan yang hanya memiliki rata-rata lama sekolah sebesar 5,10 tahun, yang artinya banyak penduduknya belum tamat SD.

"Profil HDI (human development index) juga menggambarkan Jakarta memimpin dengan harapan lama sekolah sekitar 11,49 tahun, sedangkan banyak provinsi di luar Jawa masih tertahan di angka di bawah 9 tahun," katanya.

Untuk itu, Lalu mengingatkan pentingnya reformasi pendidikan yang menyertakan semua sektor, dan terpenting menyasar beberapa titik utama, yakni pertama, meningkatkan kontinuitas pendidikan hingga SMA dan keterlibatan di pendidikan tinggi, terutama di daerah tertinggal melalui beasiswa, pengurangan biaya, dan peningkatan akses fisik maupun digital.

Kedua, kata dia, mendorong kualitas kurikulum dan guru agar relevan dengan kebutuhan abad ke-21, litera­si digital, karakter, berpikir kritis, serta kolaborasi.

Ketiga, mengurangi disparitas antar-wilayah dengan program anggaran yang sensitif terhadap kebutuhan geografis dan memperkuat infrastruktur pendidikan di daerah terpencil.

Keempat, melibatkan komunitas lokal, baik orang tua, tokoh masyarakat, maupun pemuda dalam mengawal pendidikan agar anak-anak tetap bersekolah dan termotivasi.