Didesak Pengunjuk Rasa Cabut Usulan Taman Nasional Meratus, Gubernur Kalsel Respons Ini
Irfani Rahman August 16, 2025 03:33 AM

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARBARU – Gelombang penolakan terhadap Taman Nasional Meratus terus mengalir. Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Meratus berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Banjarbaru, Jumat (15/8/2025).

Dalam aksi, Gubernur Kalsel, Muhidin dan wakilnya Hasnuryadi Sulaiman menemui ratusan demonstran.

Aliansi Meratus menuntut Gubernur dan DPRD Kalsel mencabut usulan penetapan taman nasional dan meminta Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh prosesnya.

Mereka juga mendesak implementasi Perda Kalsel Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Dialog antara Gubernur dengan demonstran sempat berlangsung alot. Namun, Muhidin belum memustukan sikap saat aksi tersebut.

Ia berencana membawa perwakilan masyarakat adat ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi langsung ke kementerian terkait.

Muhidin menegaskan siap mencabut usulan Taman Nasional Meratus jika terbukti merugikan masyarakat adat.

"Kalau merugikan, saya akan cabut usulan itu,” tegas Muhidin.

Ia bahkan menyatakan kesediaan untuk mundur dari jabatannya bila masyarakat adat benar-benar tergusur akibat kebijakan tersebut.

Gubernur juga memerintahkan jajarannya bersurat kepada para bupati yang belum menerbitkan perda pengakuan masyarakat adat.

“Kalau ada bupati yang tidak mau, berarti tidak mematuhi arahan gubernur,” ujarnya.

Muhidin berpendapat status taman nasional justru akan memperkuat perlindungan Meratus dari ancaman eksploitasi.

Ia mengklaim, tanpa peningkatan status, kawasan hutan lindung berpotensi diturunkan menjadi hutan produksi bahkan hak pengelolaan lahan (HPL).

“Dengan status taman nasional, pemerintah juga lebih mudah memberikan bantuan kepada masyarakat adat,” ujarnya.

Namun, masyarakat adat Dayak Meratus menilai konsep taman nasional berisiko mematikan identitas lokal. Mereka khawatir pembatasan aktivitas berladang dan ritual adat akan menggusur ruang hidup yang telah diwariskan turun-temurun.

Aliansi Meratus menegaskan konservasi berbasis kearifan lokal telah lama dijalankan melalui hutan keramat dan tabu lingkungan, tanpa perlu intervensi negara. Mereka menolak model taman nasional yang dianggap mengacu pada pola asing dan mengabaikan hukum adat.

Keraguan masyarakat adat kian menguat oleh pengalaman di sejumlah taman nasional lain di Indonesia. Sejumlah kawasan konservasi justru dipenuhi tambang dan perkebunan sawit, sementara akses informasi masyarakat sekitar terbatas. Aliansi Meratus khawatir hal serupa terjadi di Pegunungan Meratus.

(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Syaiful Riki)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.