Merawat jiwa bukan kelemahan, melainkan ibadah, mencari pertolongan bukan tanda kurang iman, melainkan bentuk syukur karena manusia menjaga amanah tubuh dan ruh yang dititipkan Allah.

Jakarta (ANTARA) - Kesehatan mental dan rohani semakin diakui sebagai fondasi penting kehidupan manusia. Namun, stigma yang melekat padanya sering kali lebih menyakitkan daripada masalah itu sendiri.

Banyak orang masih menganggap gangguan mental sebagai aib, sehingga tidak sedikit yang memilih diam dalam penderitaan. Padahal, keberanian untuk bercerita dan mencari pertolongan justru merupakan langkah awal menuju pemulihan.

Karena itu, hadirnya ruang aman untuk berbicara, mendengar, dan saling menguatkan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Ruang aman bukan hanya tempat secara fisik, melainkan suasana batin di mana seseorang merasa diterima apa adanya oleh lingkungan sekitar.

Di sinilah manusia belajar bahwa ia tidak sendirian. Penelitian-penelitian modern yang berbasis keilmuan sudah lama menekankan pentingnya dukungan sosial dalam menjaga kesehatan jiwa.

National Institutes of Health, misalnya, menemukan bahwa dukungan keluarga dan pasangan dapat menurunkan depresi secara signifikan.

Mayo Clinic Health System pun menegaskan, ikatan sosial yang erat membuat seseorang lebih tangguh menghadapi tekanan hidup. Fakta ini sesungguhnya selaras dengan ajaran agama bahwa manusia diciptakan untuk hidup dalam kebersamaan, saling menolong, dan saling menguatkan.

Jika ditelaah lebih jauh, kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari dimensi rohani. Seseorang bisa saja menjalani terapi atau konseling, namun penyembuhan yang menyentuh sisi terdalam mencakup iman, makna hidup, dan hubungan dengan Tuhan memberi daya pulih yang lebih utuh.

Upaya mengintegrasikan dukungan psikologis dan pendekatan agama kini mulai diimplementasikan di berbagai kegiatan publik.

Melalui forum-forum dan inisiatif khusus, masyarakat diajak untuk memahami bahwa mencari pertolongan profesional bukan berarti kurang iman, melainkan bagian dari menjaga amanah tubuh dan jiwa yang diberikan Tuhan.


Tujuan syariat

Ketika ilmu psikologi berpadu dengan nilai spiritual, penyembuhan tidak hanya mengurai beban pikiran, tetapi juga menenangkan hati. Itulah sebabnya, dalam tradisi Islam, menjaga jiwa dan akal ditempatkan sebagai bagian dari tujuan syariat.

Merawat jiwa bukan kelemahan, melainkan ibadah, mencari pertolongan bukan tanda kurang iman, melainkan bentuk syukur karena manusia menjaga amanah tubuh dan ruh yang dititipkan Allah.

Kesadaran ini kini mulai dihidupkan di banyak ruang publik. Salah satunya melalui Bali Muslim Festival yang akan digelar pada 13 September 2025.

Festival ini bukan dimaksudkan sebagai pesta seremonial belaka, melainkan wadah pembelajaran bersama tentang kesehatan mental dan rohani.

Program-program seperti talkshow, konseling, hingga Qur’an journaling dihadirkan bukan sekadar sebagai kegiatan, tetapi sebagai simbol bahwa masyarakat mulai berani membicarakan isu kesehatan jiwa secara terbuka, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai spiritual.

Namun, lebih dari acara itu sendiri, pesan yang hendak ditegaskan adalah bahwa kesehatan mental adalah tanggung jawab kolektif.

Tidak cukup hanya mengandalkan individu untuk “kuat” menghadapi tekanan hidup. Lingkungan sosial, keluarga, komunitas, dan masyarakat luas harus memberi ruang aman agar setiap orang merasa didengar dan diterima.

Inilah yang membedakan antara sekadar pengetahuan dengan budaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari buku atau seminar, tetapi budaya lahir dari kebiasaan kolektif, dari cara seseorang mendengarkan, dari kesediaan untuk hadir bagi orang lain, dari keberanian untuk berkata bahwa tidak apa-apa merasa rapuh.

Bagi sebagian orang, ruang aman itu bisa berarti forum diskusi. Bagi yang lain, bisa berupa komunitas kecil atau lingkar keluarga yang mau mendengarkan.

Di manapun bentuknya, keberadaannya adalah penopang penting bagi kesehatan jiwa. Kehadiran acara seperti Bali Muslim Festival hanyalah salah satu upaya kecil yang diharapkan dapat menularkan kesadaran ini ke lingkar yang lebih luas.

Pesan utamanya adalah bahwa kesehatan mental dan rohani adalah bagian dari fitrah untuk ibadah. Menjaga hati dan pikiran merupakan wujud syukur kepada Allah, dan mencari bantuan adalah langkah yang mulia, bukan kelemahan.

Yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai yang dibicarakan di sana dapat diteruskan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah, di tempat kerja, bahkan di ruang publik.

Selain menjadi ajang edukasi, kegiatan ini juga diharapkan dapat mempererat hubungan antarwarga dan memberikan pemahaman bahwa menjaga kesehatan jiwa adalah tanggung jawab bersama.

Pada akhirnya, yang ingin dicapai bukanlah sekadar keberhasilan menyelenggarakan acara, tetapi lahirnya budaya baru budaya keterbukaan, keberanian untuk mencari pertolongan, dan kepedulian untuk saling menguatkan.

Sebab, kesehatan mental bukan isu pribadi semata tapi adalah isu kemanusiaan. Semua orang, tanpa memandang latar belakang, bisa mengalami kegelisahan, kehilangan, dan rasa hampa. Tetapi semua orang juga memiliki peluang yang sama untuk pulih, ketika ia tidak merasa sendirian.

Dari Bali, pesan itu hendak disuarakan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahwa mencari pertolongan adalah langkah mulia, bukan kelemahan, dan bahwa merawat hati serta pikiran adalah wujud syukur atas anugerah hidup.

Jika kesadaran ini tumbuh, maka ruang aman tidak lagi hanya hadir dalam acara tahunan, melainkan menjadi bagian dari keseharian sebagai bangsa yang peduli dan berempati.


*) Penulis adalah seorang ustadz yang juga pembina dan penanggung jawab Bali Muslim Festival 2025.