TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya tidak dikenakan royalti dalam bentuk apa pun.
Penegasan ini disampaikan di tengah kekhawatiran publik terkait kewajiban membayar royalti atas pemutaran musik di ruang publik, termasuk suara alam seperti kicauan burung.
“Enggak ada itu,” kata Supratman saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/8/2025).
Menurut Supratman, anggapan bahwa lagu Indonesia Raya termasuk dalam daftar lagu berbayar merupakan bentuk kesalahpahaman dalam menafsirkan isi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Ia menjelaskan bahwa lagu kebangsaan telah masuk dalam domain publik dan secara eksplisit dikecualikan dari kewajiban royalti.
“Semua orang yang bicara tentang itu adalah orang yang tidak baca Undang-undang tentang Hak Cipta. Karena itu sudah public domain. Apalagi Indonesia Raya,” ujarnya.
Kewajiban membayar royalti atas penggunaan lagu atau musik di ruang publik telah diatur dalam UU Hak Cipta.
Ketentuan ini berlaku bagi tempat usaha seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan kafe yang memutar musik secara komersial.
Supratman menegaskan bahwa kewajiban tersebut tidak dibebankan kepada pengunjung, melainkan kepada pemilik atau pengelola tempat usaha.
“Bagi pengunjung, yang bukan pelaku usaha, enggak usah resah karena tidak dikenakan royalti,” kata Supratman dalam acara IPXpose Indonesia 2025 di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Ia menyayangkan adanya kesalahpahaman di masyarakat, terutama dari kalangan pengunjung tempat usaha.
“Ini yang ribut pengunjung. Pemilik tempat usahanya yang kena royalti, tidak apa-apa. Kok pengunjungnya yang ribut padahal enggak kena royalti?” ujarnya.
Fenomena penghindaran royalti oleh pelaku usaha memunculkan praktik baru: mengganti musik komersial dengan suara alam seperti gemericik air, angin, atau kicauan burung.
Namun, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa suara alam yang berasal dari rekaman tetap termasuk dalam objek perlindungan hak cipta.
“Kalau suara alam itu direkam dan diputar di ruang publik, tetap dikenakan royalti. Yang tidak dikenakan adalah suara alam langsung, bukan dari rekaman,” ujar perwakilan LMKN dalam keterangan tertulis.
Pernyataan ini memicu kebingungan di kalangan pelaku usaha. Banyak yang mengira suara alam adalah solusi bebas royalti, padahal jika berasal dari media rekaman, tetap bisa dikenai biaya.
“Jadi sekarang kami harus pastikan suara burung itu live atau rekaman? Ini makin rumit,” ujar salah satu pengelola kafe di Jakarta Selatan.
Supratman menyatakan bahwa pemerintah akan mengatur mekanisme pembayaran royalti secara lebih jelas dan terbuka. Ia juga menyampaikan kesediaannya untuk menanggung konsekuensi dari kebijakan tersebut.
“Tetapi sekali lagi, saya terima konsekuensinya. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban. Saya tidak menghindar dari risiko itu. Dan sekali lagi, kita akan terbuka untuk semuanya,” kata politisi Partai Gerindra itu.
Kebingungan ini menunjukkan perlunya edukasi publik yang lebih masif terkait aturan royalti dan hak cipta. Pemerintah diharapkan tidak hanya menegaskan pengecualian terhadap lagu kebangsaan, tetapi juga memperjelas batasan teknis yang bisa dipahami oleh pelaku usaha dan masyarakat umum.