Komisi III DPR Akan Undang KPK hingga BEM Bahas RUU KUHAP 
Theresia Felisiani August 19, 2025 10:32 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengatakan, pihaknya akan mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kelompok lainnya untuk meminta masukan terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP.

"Terkait KUHAP komisi III akan mengundang sejumlah pihak di antaranya KPK, Lokataru, Dosen Gandjar Bondan, Kemenham, Komnas HAM, sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan banyak elemen masyarakat lain untuk meminta masukan," kata Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (19/8/2025).

Habiburokhman menegaskan, Komisi III DPR ingin memastikan KUHAP baru tidak melemahkan pemberantasan korupsi.

"Pendeknya, lebih baik tidak ada KUHAP baru kalau sampai melemahkan pemberantasan korupsi," ujarnya.

Selain itu, kata dia, Komisi III DPR akan melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat.

DPR dan pemerintah diketahui telah merampungkan pembahasan 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP hanya dalam dua hari. 

Pembahasan dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP dimulai Rabu (9/7/2025) dan selesai Kamis (10/7/2025).

Sebelumnya, KPK telah secara resmi mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR untuk meminta audiensi terkait RUU KUHAP. 

KPK menyebut setidaknya terdapat 17 poin krusial dalam draf RKUHAP yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi melemahkan independensi serta efektivitas kerja lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi.

Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:

1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.

3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.

4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.

5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.

8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.

9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.

10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.

13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.

14. Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir: Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.

15. Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK: RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.

16. Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat: RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.

17. Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK: Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.

DEMO KUHAP DPR - Puluhan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) hingga Koalisi Sipil Pembaruan KUHAP menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di Gerbang Pancasila Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/7/2025). (Fersianus Waku)
DEMO KUHAP DPR - Puluhan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) hingga Koalisi Sipil Pembaruan KUHAP menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di Gerbang Pancasila Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/7/2025). (Fersianus Waku) (Fersianus Waku)

 

Soal RUU KUHAP

RUU Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP adalah revisi besar terhadap KUHAP 1981 yang bertujuan menyesuaikan hukum acara pidana Indonesia dengan perkembangan hukum modern dan KUHAP Nasional yang akan berlaku mulai 2026.

RUU ini memuat 334 pasal dan mencangkup 10 substansi utama antara lain penyesuaian nilai hukum baru, penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, saksi, perempuan, disabilitas dan lansia, peran advokat, pengaturan upaya paksa dan praperadilan

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.