Terima atau tidak, ada orang-orang asing yang juga turut menyukseskan kemerdekaan Indonesia. Baik saat merebut atau saat mempertahankan kemerdekaan.
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari dengan judul Tokoh Asing Pejuang RI, penulis: Bambang Irawan
Intisari-Online.com -Selain berkat kegigihan dan patriotisme para pejuang bangsa Indonesia, kemerdekaan RI yang sudah kita nikmati sejak 59 tahun lalu juga tak lepas dari peran serta orang asing. Baik langsung maupun tidak.
Setiap menghadiri upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI, kita selalu diajak untuk mengenang dan mendoakan para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah.
Terbayanglah dalam benak kita para pahlawan seperti Jenderal Sudirman, Pattimura, Pangeran Diponegoro, dr. Soetomo, dan seterusnya. Rata-rata mereka warga asli Indonesia. Kalaupun terselip warga asing, paling-paling yang diingat adalah Douwes Dekker.
Padahal kalau ditelisik lebih mendalam, ternyata banyak warga asing yang memberi sumbangsih dalam mewujudkan ataupun mempertahankan kemerdekaan kita. Terkadang sumbangan mereka tak bersentuhan secara langsung, tetapi apa yang mereka lakukan tak bisa dinafikan begitu saja.
Berikut beberapa nama yang bisa disebut di antara sekian banyak nama lain.
Patnaik dan Nyonya
Suami-istri warga negara India ini merupakan taipan di negerinya. Kedekatan mereka dengan keluarga Nehru membuat mereka dianggap sebagai anak sendiri oleh Nehru. Kedekatan itu pula yang membuat mereka berhasil menyelundupkan Bung Hatta untuk bertemu dengan Nehru dan Mahatma Gandhi saat Hatta mendapat tugas rahasia ke India.
Pasangan ini lalu menyarukan Bung Hatta sebagai Abdullah dan bertindak sebagai kopilot Patnaik, yang memang memiliki lisensi terbang. Diantar Nehru, Hatta bisa bertemu dengan Gandhi yang sebelumnya tidak tahu bahwa tamunya itu adalah sang Proklamator. Gandhi sempat marah atas insiden ini, tapi akhirnya bisa memakluminya. Misi rahasia pun berhasil dilaksanakan Bung Hatta.
PRS Mani
Perwira India pada Tentara Sekutu ini menjabat sebagai perwira penerangan yang bertugas di Surabaya. Dia sempat menjadi saksi betapa kuat tekad masyarakat Surabaya mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan RI. Selepas tugas dari kesatuannya, dia bergabung dengan Kantor Berita Antara, di samping bekerja untuk Free Press Journal of Bombay.
Mani pernah ditempatkan di Yogyakarta sebagai wakil resmi Pemerintah India. Pernah turut serta sebagai anggota penyelenggara Konferensi Persaudaran Antar Asia yang agendanya membantu perjuangan bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, Mani berjasa besar dalam membantu RI yang masih muda kala itu dalam memperoleh dukungan internasional.
Dr. Hu Yung
Hu Yung merupakan sineas asal Korea yang mendarat bersama tentara Jepang. Bersama RM Soetarto dia mendirikan Perusahaan Film Negara (PFN) yang menghasilkan film-film perjuangan untuk dipertontonkan kepada khalayak internasional. Akibatnya, kondisi nyata Indonesia bisa dinikmati orang asing.
Charles Tambu
Pria kelahiran Sri Lanka ini bekerja sebagai juru warta yang diperbantukan pada Dinas Penerangan RI. Sumbangsih Tambu muncul ketika Belanda melakukan agresi militernya pada 21 Juli 1947. Dunia internasional menolak agresi ini. Bahkan, India dan Australia membawa masalah ini ke Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika,30 Juli 1947.
Di situlah Charles Tambu bersama Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo "berperang kata-kata" melawan delegasi Belanda. Pada sidang itu, Agus Salim membuat van Kleffens pemimpin delegasi Belanda - tergagap-gagap seperti pesakitan yang sedang disidang.
Foto-foto Tambu bersanding dengan Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro terpampang di harian-harian terkemuka di dunia.
Laksamana Maeda
Diakui bahwa kemerdekaan kita bukan hadiah dari Jepang. Namun, ada tokoh Jepang yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Tokoh yang bernama Laksamana Maeda ini sering dikutip dalam berbagai buku sejarah yang ada kaitannya dengan proses kemerdekaan RI.
Di rumahnya yang masuk daerah ekstrateritorial sehingga tidak dapat dimasuki oleh angkatan lain, beberapa pemimpin nasional berkumpul merumuskan naskah Proklamasi yang diucapkan oleh Bung Hatta, kemudian ditulis oleh Bung Karno, dan selanjutnya diketik oleh Sayuti Melik. Rumah tinggal Laksamana Maeda itu kini dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Thomas Christley
Diplomat asal Australia ini datang ke Indonesia sebagai anggota Komisi I Tiga Negara, mewakili negaranya. Dia amat bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Waktu Dakota Australia yang membawa Bung Syahrir dari Bukittinggi ke Singapura dipaksa mendarat di Palembang oleh Belanda karena membawa candu dan bubuk kina dalam jumlah besar, Christley turun tangan dengan cepat. Dia meminta supaya Belanda melepaskan pesawat itu.
Selamatlah penumpang dan bahan-bahan yang akan dijual ke Singapura untuk ditukar dengan barang-barang yang dibutuhkan RI.
Dr. George Mc Turner (M.C.) Kahin
Dia terkenal sebagai salah satu Indonesianis legendaris. Sejak mahasiswa dia sudah bertualang ke Indonesia melakukan penelitian tentang revolusi Indonesia. Datang pada tahun 1948, dia menyeberangi daerah demarkasi dengan jip bekas yang dibelinya. Meskipun dicurigai, dia akhirnya diantar oleh seorang perwira TNI ke Yogyakarta. Di ibukota perjuangan ini ia berkesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh RI seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan lainnya.
Hubungan Kahin dengan Syahrir pun semakin erat. Dia termasuk pengagum tokoh kemerdekaan itu. Dia juga menjadi saksi penyerbuan pasukan Belanda ke Yogya. Dia menulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia dan mengajar di Cornell University, Amerika. Sebagai Indonesianis Kahin menjadi acuan bagi orang luar untuk mengenal Indonesia. Tahun 1954 dia mendirikan Cornell Modern Indonesia Project (CMIP), dengan dana dari Ford Foundation.
Bob Freeberg
Penerbang petualang ini betul-betul jatuh cinta pada Indonesia, sehingga seluruh tenaga dan pikirannya dicurahkan ke negara yang masih berusia muda ini. Dengan pesawat Dakota C 47 dia membantu mengangkut muatan ke luar Indonesia yang ditukarnya dengan barang-barang yang diperlukan oleh RI.
Dia pernah pula mengangkut pasukan PARA yang diterjunkan di Kalimantan. Salah satu anggota pasukan yang diterjunkan adalah Cilik Riwut, yang kelak menjabat sebagai gubernur Kalimantan dan kini namanya digunakan sebagai nama bandara di Palangkaraya.
Pengalaman yang mendebarkan dialaminya ketika mendarat di pantai selatan Jawa. Karena tidak ada landasan yang memadai, penduduk setempat membangun landasan dari bambu yang dianyam (atau gedek dalam bahasa Jawa). Beralaskan gedek itu dia mendarat dan terbang dengan Dakota-nya.
Freeberg akhirnya meninggal dalam tugas ketika dia disergap Mustang Belanda di atas Selat Sunda. Bangkai pesawatnya tak pernah ditemukan. Dengan segala sepak terjangnya yang menembus blokade Belanda, dia layak disebut blockade runners.
Karena hampir semua manajemen ditangani sendiri, dia dijuluki One Man Air Force.
Ketut Tantri
Nama Ketut Tantri tak bisa dipisahkan dari Bali. Perempuan Amerika Serikat kelahiran Skotlandia ini bernama asli Susan Daventry-Walker. Dia terdampar di Bali pada Perang Dunia II. Ketika perang berakhir, pengarang Revolt in Paradise (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Revolusi di Nusa Damai) ini hijrah ke Jawa Timur membantu radio Suara Pemberontakan.
Waktu pertama kali bertemu dengan Bung Karno, dia mengenakan kebaya dan sarung yang memaksa Bung Karno mengganti pakaiannya dengan sarung untuk menghormatinya. Ketut Tantri merupakan propagandis perempuan yang baik bagi Indonesia.
John Coast
Awalnya, dia adalah pegawai Departemen Luar Negeri Inggris, sebelum akhirnya bergabung dengan Indonesia. Sangat dekat dengan Bung Karno, sehingga sering diajak berkeliling ke desa-desa sekitar Yogyakarta. Saat itulah, presiden pertama Indonesia itu bercerita soal budaya Indonesia.
Dia kemudian diperbantukan pada Menteri Muda Luar Negeri H. Agus Salim dan pernah ditempatkan di Bangkok. Di sini dia ditawan saat pendudukan Jepang dan disuruh ikut bekerja membangun jalan kereta api maut. Peristiwa ini difilmkan dengan versi berbeda dan diberi judul Bridge over River Kwai dengan bintangnya William Holden.
Di usia lanjut dia kembali ke Inggris bersama istrinya yang berasal dari Indonesia. Di sana dia memperkenalkan Indonesia, terutama dari sisi bidang seni yang beragam. Meski sudah di Inggris, dia tidak lupa dengan Indonesia yang dianggapnya sebagai Tanah Air keduanya.
Letkol Laurens van der Post
Dia adalah perwira Inggris berdarah Belanda yang berasal dari Afrika Selatan. Post termasuk anggota pasukan Sekutu yang ditempatkan di Indonesia menjelang Perang Dunia II. Sayang, dia tertawan pasukan Jepang saat tentara negeri Matahari Terbit itu menginvasi Indonesia.
Karena bisa berbahasa Jepang, seusai perang dia diminta oleh Jepang menjadi perwira penghubung antara Sekutu dan Jepang. Kebetulan panglima Sekutu untuk Asia Selatan, Lord Louis Mountbatten, menaruh perhatian kepadanya sehingga kepada dialah Sang Panglima bertanya segala hal.
Lewat kedekatan ini Post memberi masukan yang berharga bagi Panglima yang merupakan simpatisan Partai Buruh (sempat pula Panglima Mountbatten berkunjung ke Perdana Menteri Syahrir yang menjadi kunjungan tingkat tinggi pertama dari Sekutu ke pimpinan pemerintah waktu itu).
Van der Post juga memegang peran dalam mediasi antara tokoh-tokoh Indonesia dan pihak Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali.
Rasanya, kita patut berterima kasih dan menaruh hormat pada mereka. Orang-orang asing itu telah berjasa bagi kemerdekaan dan kedaulatan RI. Maka, saat mengheningkan cipta di kala upacara, mari kita ingat pula jasa mereka.