“Pada pekan lalu (11-17 Agustus 2025, red.), penyidik melakukan penyitaan aset dari tersangka HY. Aset-aset tersebut diatasnamakan keluarga, kerabat, dan pihak lainnya,”
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat aset milik tersangka kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan, Haryanto (HY), yang disamarkan.
“Pada pekan lalu (11-17 Agustus 2025, red.), penyidik melakukan penyitaan aset dari tersangka HY. Aset-aset tersebut diatasnamakan keluarga, kerabat, dan pihak lainnya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut Budi mengatakan empat aset tersebut berupa satu bidang tanah beserta bangunan seluas 954 meter persegi, satu bidang tanah beserta tanaman tumbuh seluas 630 meter persegi, dan dua bidang tanah dengan total luas 1.336 meter persegi. Dia menjelaskan empat aset tersebut berlokasi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
“Penyitaan aset ini bertujuan untuk pembuktian dalam proses penyidikan sekaligus langkah awal dalam optimalisasi pemulihan kerugian keuangan negara,” jelasnya.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.