Jejak Kanibal Anak Hartawan dan Obsesinya Terhadap Perempuan Bule Berkulit Putih
Moh. Habib Asyhad August 20, 2025 08:34 PM

Cerita Kriminal ini tentang Issei Sagawa dan bbsesinya untuk memakan daging manusia, terutama perempuan bule berkulit putih.

Artikel ini tayang di Majalah Intisari edisi April 2016 dengan judul "Jejak Kanibal Anak Hartawan"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tak ada yang mengira, malam itu, tepatnya 11 Juni 1983 menjadi malam terakhir bagi Renée Hartevelt (25). Mahasiswi Sastra di Sorbonne Academy, Paris, itu menjadi korban pembunuhan, perkosaan, dan mutilasi.

Issei Sagawa bukan orang sembarangan. Pria kelahiran 26 April 1949 itu merupakan putra dari konglomerat di Jepang. Dia sendiri sarjana sastra Inggris di Wako University, Tokyo. Otaknya cerdas. Pada 1977, Sagawa memutuskan pergi ke Paris untuk mendapatkan gelar PhD.

Sejak kali pertama melihat Hartevelt, Sagawa langsung terpikat dan jatuh hati pada teman sekelasnya itu. Di mata Sagawa, gadis asal Negeri Kincir Angin itu merupakan sosok wanita yang sempurna.

Parasnya cantik, kulit merona, perawakan tinggi, tubuh ideal, bibir memikat, rambut yang indah, dan penampilan fisik lainnya yang menarik. Banyak pria di kampusnya yang tergila-gila, tak terkecuali Sagawa. Sayangnya, pada awalnya tak ada keberanian untuk mengungkapkan perasaan itu kepada Hartevelt. Sagawa minder dengan penampilan fisiknya, yang pendek, kurus, dan menurutnya tidak menarik.

Ditembak dan diperkosa

Butuh berminggu-minggu sebelum akhirnya Sagawa berbicara dengan Hartevelt. Rupanya perasaan itu tak bertepuk sebelah tangan. Hartevelt juga mengagumi sosok Sagawa. Menurut Hartevelt, Sagawa merupakan sosok yang pandai dan sederhana karena tidak pernah memamerkan kekayaan keluarganya. Beberapa kali Sagawa mengundang Hartevelt untuk bergabung belajar bersama teman-temannya dan mencicipi masakan Jepang buatannya, yakni sukiyaki. Namun, Hartevelt menolak ajakan itu.

Baru pada ajakan yang kesekian, Hartevelt bersedia datang seorang diri ke apartemen Sagawa, di Apartemen François Mitterrand, Rue Erlanger, Paris. Kali itu keduanya ingin sama-sama mengerjakan tugas kuliah, yakni menerjemahkan sebuah puisi bahasa Jerman karangan Johannes Becher sambil makan malam bersama. Selain pandai, di kalangan teman-temannya Sagawa juga dikenal menguasai tiga bahasa asing, salah satunya Jerman, sehingga Hartevelt menerima ajakan itu.

Usai mengerjakan tugas, dalam suatu kesempatan, Sagawa meminta Hartevelt untuk membacakan hasil terjemahan puisi itu dengan gaya yang puitis. Ketika Hartevelt sedang membacakan, Sagawa diam-diam pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah senapan kaliber 22. Kemudian, dia menembakkan timah panas tepat di belakang leher Hartevelt. Seketika, gadis tersebut langsung tergeletak di lantai dan tewas dengan badan berlumuran darah.

Usai menembak, Sagawa mengaku shock dan kemudian jatuh pingsan. Namun sadisnya, setelah Sagawa tersadar, dia segera mewujudkan keinginannya untuk memakan tubuh Hartevelt.

Sebelum memakan, Sagawa sempat memperkosa Hartevelt yang sudah tak bernyawa. Bagian tubuh yang pertama kali digigitnya adalah bokong. Namun, karena tak bisa tergigit, Sagawa keluar apartemen untuk membeli pisau daging. Tubuh itu kemudian dimutilasi dan potongannya dimakan mentah-mentah.

Sagawa juga memasukkan beberapa potongan tubuh ke dalam plastik dan menaruhnya ke dalam freezer untuk bisa dikonsumsi beberapa hari ke depan. Selama dua hari, dia terus mengkonsumsi tubuh Hartevelt.

Tak mampu menghabiskan seluruh tubuh Hartevelt dan takut menimbulkan aroma busuk di antara para penghuni apartemen lainnya, Sagawa akhirnya memasukkan sisa tubuh itu ke dua buah koper. Kemudian sore harinya, 13 Juni 1981, dia membuangnya ke Bois de Boulogne, sebuah danau di dalam taman di pinggiran kota Paris.

Rupanya, aksi Sagawa dipergoki sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu sore sambil menikmati matahari terbenam di danau itu. Merasa ada sesuatu yang ganjil dan mencurigakan, mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada polisi. Dari hasil penelusuran serta kesaksian seorang sopir taksi, polisi bergerak menuju Bois de Boulogne yang tak lain kawasan di sekitar apartemen milik Sagawa.

Baru beberapa hari kemudian polisi berhasil menemukan Sagawa di apartemennya. Saat ditangkap, Sagawa sama sekali tidak melakukan upaya perlawanan. Apartemennya digeledah dan ditemukan sisa potongan daging lainnya yang masih tersimpan dalam lemari es.

Kepada polisi, Sagawa mengaku telah mengkonsumsi beberapa bagian tubuh Hartevelt selama dua hari. Ada berbagai macam metode pengolahan, mulai dari direbus, ditumis, dan digoreng dengan menggunakan aneka bumbu. Bahkan, ia juga mencampur kacang polong di dalamnya.

Sama seperti pelaku mutilasi lainnya, Sagawa mengaku, tak merasa takut maupun khawatir ketika memutilasi tubuh Hartevelt. Termasuk saat mengkonsumsi dagingnya. Justru dia merasakan kebahagiaan yang memuncak karena berhasil memakan daging manusia.

Selain itu, Sagawa mengungkapkan, daging manusia tidak memiliki rasa alias tawar. Dan tidak beraroma amis seperti kebanyakan daging hewan. “Rasanya mirip dengan daging ikan tuna,” kata Sagawa.

Kanibal sejak kecil

Kekaguman Sagawa pada Hartevelt selama ini hanyalah semu. Rupanya, Sagawa memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya, khususnya wanita-wanita berkulit putih alias bule hanya karena ingin memakannya. Caranya adalah dengan membunuh.

Sagawa mengatakan, tidak memiliki niat membunuh Hartevelt, melainkan hanya ingin memakannya. Dengan membunuhnya, maka dia dapat memakannya. “Aku membunuhnya karena ingin memakan dagingnya,” ucap Sagawa ketika diwawancarai oleh Vice.

Hasrat kanibal Sagawa terhadap wanita bule sudah ada sejak masa kanak-kanak, tepatnya ketika berusia tujuh tahun. Dia belajar mengenai kanibalisme dari sebuah dongeng. Orangtuanya, Tomi Sagawa dan Akira Sagawa mengetahui hal itu, namun sayangnya mereka tidak pernah mengkonsultasikan perilaku putranya itu ke psikiater.

Bahkan, Sagawa memiliki impian terpendam ingin memakan daging manusia dan itu akan membuatnya merasa bahagia. Saat duduk dibangku SMP hingga SMA, hasrat kanibal Sagawa terhadap wanita bule semakin menjadi-jadi, ketika dirinya terobsesi dengan aktris Hollywood Grace Kelly yang kemudian dipersunting Pangeran dari Monaco.

Pada 1980, ketika sedang berjalan di Kamakura, Sagawa melihat seorang gadis Jerman memakai rok mini, yang menunjukkan paha mulusnya. Perawakan wanita itu semampai, berkulit putih, berparas cantik, dan bibir berwarna merah muda. Melihat itu, hasrat kanibal Sagawa semakin bertambah.

Diam-diam Sagawa mengikuti wanita itu yang pergi menaiki sebuah bus. Dia bahkan duduk di sebelahnya. Saat itu sebenarnya hasrat kanibalnya menyeruak. Betapa ingin dia segera melahapnya. Namun dia hanya berani mengikuti wanita tersebut hingga ke rumahnya. Diamatinya gerak-gerik wanita itu, mulai dari keadaan rumah dan jendelanya, bahkan hingga ia mengetahui kebiasaan wanita tersebut, yang tidur tanpa mengenakan pakaian.

Beberapa hari kemudian, pada suatu malam, Dia kembali ke tempat tinggal wanita itu untuk menjalankan aksi jahatnya. Dia mengintip kamar wanita itu dan melihatnya tengah tidur tanpa mengenakan sehelai benang pun. Dengan membawa sebuah payung yang siap digunakan untuk memukul dan pisau untuk memotong, Sagawa menyelinap masuk melalui jendela. Namun, ketika dia sudah berada dekat tanpa sengaja lututnya menyentuh tubuh wanita itu. Wanita itu pun terbangun dan terkejut saat menyadari ada orang asing di kamarnya.

Wanita itu langsung berteriak histeris. Sagawa pun panik. Tanpa berpikir panjang, dia langsung keluar dan lompat melalui jendela. Namun wanita itu berhasil mencengkeram lengan Sagawa dengan sangat kuat. Lantaran kondisi fisiknya yang pendek dan kurus, Sagawa ternyata tidak berdaya dalam cengkraman wanita itu.

Kegaduhan itu mengundang masyarakat di sekitar untuk berdatangan. Sagawa pun langsung diamankan ke kantor polisi dengan aduan percobaan perkosaan. Sayangnya, kasus tersebut ternyata tidak sempat bergulir ke meja hijau.

Ayah Sagawa, bos besar di perusahaan ternama dan seorang konglomerat di Jepang menggunakan pengaruhnya agar anaknya bebas. Salah satunya, meminta wanita Jerman itu mencabut laporannya dengan kompensasi sejumlah uang dalam nominal besar.

Setelah peristiwa itu selesai, orangtua Sagawa membawanya ke psikiater untuk memeriksakan kejiwaan putranya. Hasilnya, psikiater menyatakan Sagawa berpotensi besar melakukan hal berbahaya. Namun alih-alih mengobati, orangtua Sagawa memilih mengirimkan putranya ke Paris untuk belajar sastra. Orangtuanya berharap, Sagawa dapat berubah dan tidak lagi melakukan hal gila karena sibuk kuliah.

Di Paris, hasrat kanibal Sagawa justru semakin kuat karena ketertarikannya terhadap wanita-wanita bule. Rupanya, selama berada di kota itu, sebelum bertemu HArtevelt, hampir setiap malam dia membawa wanita penghibur ke apartemen dengan tujuan memakannya. Namun, upaya tersebut gagal karena jari-jarinya melemas setiap kali ingin menarik pelatuk. Para wanita penghibur, yang sadar dirinya akan menjadi korban percobaan pembunuhan, beberapa kali sempat beradu otot dengan Sagawa dan berhasil meloloskan diri.

Ketika pada akhirnya Sagawa berhasil menembak Hartevelt, sebenarnya dia berniat untuk memanggil ambulans. Namun niat itu urung dilakukan karena impian terpendamnya memakan daging manusia akan terwujud di depan matanya. “Aku telah bermimpi tentang hal itu selama 32 tahun dan sekarang benar-benar terjadi,” ucap Sagawa tanpa rasa bersalah.

Pria yang terlahir prematur itu mengungkapkan, keinginannya memakan daging manusia bukan karena dia lapar, melainkan semacam nafsu seksual. Meski, menurut pengakuannya, dia jarang mengalami ejakulasi setelah berhasil memakannya.

Dinyatakan gangguan jiwa

Meski telah terbukti sebagai pembunuh, pemerkosa, maupun pemutilasi Hartevelt, namun Sagawa sama sekali tidak dihukum. Pengadilan Prancis dengan majelis sidang Hakim Bruguiéres memutuskan, Sagawa mengalami gangguan jiwa, sehingga terbebas dari segala tuntutan hukum. Kasus itu dianggap selesai dan ditutup.

Pengadilan lantas mengirim pria bertubuh kecil itu ke salah satu rumah sakit jiwa di Prancis untuk memulihkan kondisi jiwanya. Setahun di rumah sakit jiwa, pada 1984, pengadilan memutuskan untuk mengekstradisi Sagawa ke Jepang.

Di Jepang, Sagawa ditampung di rumah sakit jiwa Matsuzawa. Di sanalah dia kembali menjalani tes kejiwaan. Anehnya, hasil tes itu menunjukkan, Sagawa tidak mengalami gangguan jiwa alias waras.

“Penyimpangan seksual adalah motivasi utama pembunuhan yang dilakukan Sagawa,” ungkap ahli kejiwaan di rumah sakit tersebut. Menggunakan hasil tes tersebut, pemerintah Jepang bermaksud ingin melanjutkan kembali kasus hukum Sagawa. Sayangnya, pengadilan Prancis menolak menyerahkan dokumen kasus itu.

Alasannya, kasus Sagawa sudah diputuskan dan selesai, sehingga pemerintahan Jepang tidak bisa kembali memperkarakan kasus tersebut. Pemerintah Jepang pun tak bisa berbuat banyak dan memilih mengakhirinya pula.

Menjadi selebritas

Pada 12 Agustus 1986, Sagawa keluar dari rumah sakit jiwa. Rupanya di tengah bergulirnya kasus itu, Inuhiko Yomota, seorang penulis, berencana mengangkat kasus kekejian Sagawa dalam sebuah novel. Bahkan dia sudah mengunjungi Sagawa sewaktu masih menjadi pasien di rumah sakit jiwa di Paris.

Berdasarkan novelnya, berbagai media, baik media Jepang maupun asing tertarik untuk mengangkat nama Sagawa. Pembunuh gila itu akhirnya menjadi sorotan dunia. Namanya muncul di surat-surat kabar. Rupanya hal itu pula yang menjadi alasan pengadilan Prancis mengekstradisi Sagawa ke Jepang.

Dalam sekejap, Sagawa menjelma bak selebritas. Dia mendapat tawaran main film, termasuk membintangi film porno. Dia juga menjadi bintang iklan, menulis sejumlah buku, termasuk buku mengenai pembunuhan, menjadi bintang tamu atau komentator dalam suatu program acara, dan menulis review restoran untuk sebuah majalah kuliner di Jepang.

Sagawa terus mengalami kepopuleran setidaknya hingga 1997. Meski terlepas dari hukum negara, Sagawa tak bisa terlepas dari hukuman sosial. Setelah popularitasnya memudar, dia mengalami banyak kesulitan, salah satunya untuk mendapatkan pekerjaan. Rekam jejaknya sebagai kanibal dan pembunuh, membuat Sagawa ditolak beberapa perusahaan ketika melamar pekerjaan.

Beberapa penerbit kemudian juga mulai menolak menerbitkan buku yang ditulisnya. Pada 2005, saat orangtuanya meninggal dunia, dia dicegah untuk menghadiri pemakamannya sebelum melunasi utang orangtuanya. Peristiwa itulah yang membuat Sagawa menjual rumah kedua orangtuanya dan pindah ke perumahan rakyat.

Dalam wawancara kepada Vice pada 2009, dia mengatakan, pernah memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup karena sulitnya mencari pekerjaan. “Stigma sebagai kanibal dan pembunuh merupakan hukuman paling mengerikan,” ungkap Sagawa.

Sagawa meninggal pada 2022 lalu di usia 73 tahun setelah sempat mengalami pendarahan otak, sehingga sementara diasuh oleh perawat dan adiknya. Hingga ajal menjemputnya, kasus Sagawa tetap menjadi kontroversi di negaranya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.