Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Handhika Rahman
TRIBUNCIREBON.COM, INDRAMAYU - Kondisi Lusita (28) sudah sampai ke telinga pemerintah daerah.
TKW asal Desa Loyang, Kecamatan Cikedung, Indramayu itu kini sudah pulang ke Tanah Air seusai bekerja di Singapura pada Kamis (14/8/2025) pekan lalu.
Hanya saja, saat pulang, kondisinya mengalami depresi ringan.
Ia juga cuma menerima gaji Rp 12 juga selama bekerja 9 tahun di Singapura.
Camat Cikedung, Encep RS mengatakan, pihak puskesmas pun sudah memeriksa langsung kondisi Lusita.
Hasilnya benar yang bersangkutan mengalami depresi ringan. Petugas puskesmas pun sudah memberikannya obat untuk memulihkan kondisi kesehatan Lusita.
“Informasinya obatnya juga sekarang sudah habis, ya harapannya bisa datang ke Puskesmas untuk bisa dievaluasi sudah sejauh mana,” ujar dia kepada Tribuncirebon.com, Kamis (21/8/2025).
Encep mengatakan, kasus yang menimpa Lusita ini juga sudah dikoordinasikan dengan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Indramayu.
Termasuk Pemerintah Kecamatan Cikedung juga melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial (Dinsos) Indramayu.
Rencananya, dari Dinsos Indramayu juga akan melakukan kunjungan untuk mengecek apa saja yang diperlukan oleh Lusita.
“Untuk kasus Lusita ini sudah terpantau oleh kami,” ujar dia.
Di sisi lain, Ketua DPC Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu, Akhmad Jaenuri menyampaikan, Lusita terindikasi kuat sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Apalagi ada temuan manipulasi data soal keberangkatan Lusita ke Singapura.
Pihak perusahaan perekrut menuakan usia TKW tersebut lima tahun lebih tua untuk syarat penempatan kerja.
“Aslinya yang bersangkutan kelahiran 1997 tapi dituakan menjadi 1992,” ujar dia.
Sedangkan perihal kondisi Lusita, Jaenuri menduga Lusita sengaja dibuat mengalami depresi ringan karena pihak majikan tak sanggup membayar utuh gaji yang seharusnya dibayarkan.
Ia pun menyimulasikan, gaji yang diterima Lusita seharusnya sekitar 70.200 Dolar Singapura atau setara Rp 888 juta. Hitungan tersebut berdasarkan kontrak janji kerja gaji Lusita sebesar 650 dolar dikalikan 9 tahun.
“Banyak kejadian seperti ini karena tidak sanggup membayar jadi dibuat hilang ingatan atau dibuat depresi. Kemungkinan seperti itu,” ujar dia.
Jaenuri pun dalam hal akan melaporkan kejadian ini kepada Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).
“Kemudian kami juga akan bersurat ke KBRI Singapura dan akan mencoba membangun jaringan-jaringan yang ada di Singapura apa yang sebenarnya dialami korban di sana,” ujar dia.
Upaya ini dilakukan agar hak-hak Lusita dapat dituntut secara hukum dan majikan diberi sanksi sesuai aturan.
Masih disampaikan Jaenuri, jaringan kawan-kawan di Singapura yang sedang dibangun SBMI diharapkan bisa membantu melaporkan majikan dan agensi ke Ministry of Manpower (MOM) Singapura.
Adapun dari hasil penyelidikan sementara SBMI, diketahui PT yang memberangkatkan Lusita ke Singapura sudah ditutup oleh pemerintah.
Sedangkan perekrutnya saat ini sudah meninggal dunia.
“Untuk sementara kita akan fokus dahulu agar hak Lusita ini bisa dipenuhi,” ujar dia.
Jaenuri nilai, kasus uang menimpa Lusita ini menjadi potret nyata rapuhnya sistem pelindungan bagi perempuan buruh migran Indonesia.
Mulai dari proses perekrutan yang sarat manipulasi, lemahnya pengawasan negara di luar negeri, hingga kekerasan ekonomi dan psikis yang dialami pekerja.
SBMI Indramayu menegaskan, kasus ini bukan yang pertama kali terjadi. Ratusan buruh migran asal Indramayu kerap menghadapi praktik serupa.
“Misalnya upah tidak dibayar, identitas dipalsukan, hingga diperlakukan tidak manusiawi. Kami mendesak agar negara tidak lagi abai, melainkan hadir secara konkret untuk memastikan keadilan bagi para pahlawan devisa yang selama ini disia-siakan,” ujar dia.