Saat anak-anak di Setu Babakan bermain damdas, terompah, dan egrang, mereka sedang belajar merdeka dari layar yang sering mencuri perhatian

Jakarta (ANTARA) - Tawa riang anak-anak terdengar pecah di sebuah lapangan hijau di Unit Pengelola Kawasan (UPK) Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jakarta Selatan. Mereka berlari, melompat, dan saling adu strategi untuk memenangi perlombaan.

Peluh membasahi dahi hingga tubuh mereka, tapi senyum tak henti terpasang. Sesekali terdengar teriakan penuh semangat, "Ayo cepat! Jangan sampai kalah!”

Potret sederhana itu kian jarang ditemui di tengah derasnya arus gawai dan gim daring.

Saat banyak anak lebih memilih duduk terpaku di depan layar berjam-jam memainkan Roblox atau aplikasi serupa, pemerintah terus berupaya menghidupkan kembali permainan tradisional, dengan tujuan agar anak merasakan kembali dunia nyata yang sarat interaksi sosial; dharapkan permainan tradisional bukan sekadar nostalgia, melainkan ruang belajar emosional.

Pada 12-13 Agustus lalu, UPK Setu Babakan menggelar Gebyar Seni Budaya yang menyelenggarakan lomba permainan tradisional. Mulai dari egrang, damdas, gasing, terompah panjang, dan tok kadal dengan kategori siswa SMP dan SMA di Jakarta.

Menghidupkan permainan tradisional juga sejalan dengan momentum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Di berbagai daerah, lomba 17 Agustus seperti panjat pinang, balap karung, atau tarik tambang menjadi simbol riuhnya kebersamaan.

Seorang siswa kelas 9 SMP Negeri 103 Jakarta bernama Labib, mengaku tertarik bermain permainan tradisional agar bisa mengurangi ketergantungan pada ponsel.

"Lebih asyik main gim tradisional karena bisa bercanda sama teman dan latihan serius. Jadi, lebih nyaman," katanya.

Menurut Labib, terlalu lama menatap layar gawai bisa menumbuhkan pribadi yang individualis dan minim interaksi.

Dia bersama empat teman yang juga atlet taekwondo dan silat saling menyusun strategi dan komitmen untuk memenangi lomba terompah panjang sebagai kegiatan bersama, ketimbang sekadar kompetisi.

Hal senada diungkapkan Syfa Nazlin, siswi kelas VIII SMP 256 Jakarta, yang mengaku antusias mengikuti lomba permainan tradisional tok kadal.

Dia mengaku mengenal permainan tok kadal dari gurunya. Menurutnya permainan ini mirip dengan baseball.

"Bedanya sama game online, kalau tradisional kita bisa gerak semua dan gak merusak mata, badan dan otak ikut latihan. Bisa melatih kebersamaan juga,” ujarnya.

Merasakan interaksi nyata

Seorang psikolog anak, Gloria Siagian mengatakan gim daring saat ini digandrungi karena permainannya yang interaktif sehingga menarik perhatian anak.

Seorang siswa bermain egrang dalam Gebyar Seni Budaya Setu Babakan di Unit Pengelola Kawasan (UPK) Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2025). ANTARA/Luthfia Miranda Putri.

Dia menilai anak-anak secara natural menyukai momen interaksi, sehingga dibutuhkan perhatian dari orangtua maupun orang sekitarnya untuk menjadi teman bermain.

Menurut dia, jika tak ada teman main di dunia nyata, anak-anak lebih memilih gim seperti Roblox yang interaktif dan bisa dengan mudah menemukan teman main, bahkan dengan orang belum dikenalnya di dunia nyata.

"Maka itu, menjadi tantangan jika ingin melepaskan anak dari kecanduan gawai dengan memperkenalkan permainan tradisional," katanya.

Misalnya, orangtua bisa membagi waktu bermain gim selama 1-2 jam saat hari libur. Kemudian, kenalkan anak dengan hobi lainnya seperti berolahraga, baca buku, dan permainan tradisional yang tak kalah interaktif. Hal ini penting diterapkan secara konsisten.

Perhatian pemerintah

Berbagai laporan mengungkap kekhawatiran serius akan dampak gim Roblox terhadap anak-anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menemui siswi kelas 8 yang tidak naik kelas karena terlalu sering bermain gim daring hingga sering absen sekolah.

KPAI segera meminta investigasi terhadap korban dampak negatif gim tersebut oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Lebih lanjut, jika terbukti melanggar Undang-Undang Hak Anak (UU No. 1 Tahun 2024 tentang ITE), KPAI mendesak pemerintah untuk memblokir gim Roblox sebagai penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) yang abai terhadap perlindungan anak.

Sejumlah siswa SMP berlomba memainkan permainan tradisional terompah di Unit Pengelola Kawasan (UPK) Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan untuk menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 RI, di Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2025). ANTARA/Luthfia Miranda Putri.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan pentingnya perlindungan anak di dunia digital dan menegosiasikan regulasi seperti PP Tunas dan klasifikasi gim agar aman bagi anak-anak.

Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengimbau keluarga memegang peran utama dalam membentuk karakter anak dengan delapan fungsi keluarga yakni agama, cinta kasih, sosial budaya, dan lainnya sebagai benteng dari paparan negatif gim daring.

Berbagai upaya regulasi dan edukasi penting untuk ditindaklanjuti. Namun, anak-anak juga butuh pengalaman nyata yang tidak bisa digantikan oleh layar. Permainan tradisional seperti yang tergambar di halaman sekolah adalah ruang hidup anak belajar empati, belajar mengekspresikan kekalahan dan kemenangan, berbagi tawa dan gestur fisik, semua dalam interaksi nyata.

Jika Roblox dan gim daring lain menimbulkan kekhawatiran, maka kembalinya anak ke halaman bermain adalah bentuk kemerdekaan yang jauh lebih penting yakni kemerdekaan untuk merasakan, berinteraksi, dan bersahabat dengan teman sungguhan.

Memutus candu layar bukan berarti anti-teknologi, melainkan memprioritaskan faktor manusiawi: teman yang bisa dilihat, bisa disentuh, dan bisa diajak tertawa bersama.

Saat anak-anak di Setu Babakan bermain damdas, terompah, dan egrang, mereka sedang belajar merdeka dari layar yang sering mencuri perhatian.

Di tengah arus digital yang deras, layar akan selalu ada. Namun momen bermain bersama teman di bawah langit Betawi itu akan terus bisa terkenang.

Di tengah gempuran era digital, mengajak anak kembali ke permainan tradisional bukan berarti menolak teknologi. Keseimbangan yang diharapkan lantaran anak tetap bisa mengenal gim daring, tapi tidak kehilangan dunia nyata yang hangat.

Kehangatan sederhana itu adalah pengingat bahwa dunia nyata selalu menawarkan sesuatu yang tak tergantikan.

Teman yang bisa disentuh, tawa yang bisa didengar, dan pelukan yang bisa dirasakan, itulah yang membuat permainan tradisional selalu relevan dengan kebutuhan di dunia nyata.

Di tengah derasnya arus digital, permainan tradisional hadir sebagai teman lama semasa kecil. Ia menuntun anak kembali pada hakikatnya yakni bahagia bersama teman nyata, bukan tokoh maya.