Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mengingatkan bahwa karya cipta bukan hanya dipandang dari sisi komersial, melainkan juga memiliki fungsi sosial, publik, dan kebudayaan.

“Kita jangan sampai terjebak. Karya cipta bukan hanya soal dihitung dengan uang, tetapi juga punya fungsi sosial, fungsi publik, dan fungsi kebudayaan yang menjadi instrumen untuk memajukan peradaban,” ujar Willy.

Hal ini disampaikannya saat menjadi pembicara dalam dalam diskusi bertajuk “Akhiri Polemik Royalti, Revisi UU Hak Cipta Menjadi Solusi” yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Willy lantas menyoroti Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya memperbolehkan siapa saja membentuk lembaga manajemen kolektif (LMK) sehingga jumlahnya kini mencapai belasan.

Akibatnya, kata dia, terjadi kebingungan di tengah masyarakat hingga muncul kasus rumah makan kecil yang dipungut royalti hanya karena memutar musik

“Itu kan sesat pikir. Ada warung kecil jualan Indomie lalu dipungut royalti karena memutar musik. Padahal, musik di situ hanya sekadar pengisi suasana agar tidak hening seperti kuburan. Hal-hal seperti ini yang harus diluruskan,” ujarnya.

Dia menekankan penarikan royalti kini akan dipusatkan di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Dia menyatakan pula kesiapan DPR untuk membahas revisi UU Hak Cipta bersama pemerintah guna memastikan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan.

Dia menambahkan Komisi XIII DPR RI tinggal menunggu perintah Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad untuk menggulirkan pembahasan revisi UU Hak Cipta.

“Komisi XIII siap membahas, bahkan kami sudah melakukan riset kecil untuk menyusun regulasi secara proporsional,” tuturnya.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani menilai pemerintah harus lebih hati-hati menafsirkan UU Hak Cipta.

Dia mengkritisi tafsir lama yang menyebut event organizer (EO) sebagai pihak pengguna musik yang wajib membayar royalti.

“Dalam undang-undang sebenarnya yang diatur adalah pencipta dan penyanyi, bukan EO. Akibat tafsir yang keliru itu, para komposer kehilangan hak mereka selama bertahun-tahun," kata Ahmad Dhani saat menyampaikan pernyataan melalui pesan video.

Dia lantas menjelaskan, "Padahal jika dihitung dari penjualan tiket konser sejak 2014, hak komposer bisa mencapai ratusan miliar."

Menurut dia, revisi UU Hak Cipta harus memastikan tidak ada lagi kekeliruan tafsir.

“Kita harus hati-hati menafsirkan kata demi kata. Jangan sampai komposer kembali dirugikan. Bagi saya, pengguna yang dimaksud dalam UU Hak Cipta lebih tepat adalah penyanyi, bukan EO,” kata dia.