Moewardi, dari Pemimpin Barisan Pelopor hingga Jadi Nama Rumah Sakit di Solo, 'Hilang' saat Peristiwa Madiun
Moh. Habib Asyhad August 26, 2025 08:34 PM

Moewardi, dokter yang juga pemimpin Barisan Pelopor yang dibentuk Bung Karno. Hilang saat Peristiwa Madiun, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo.

Pernah tayang di Majalah HAI edisi Juni 1986 dengan judul "MOEWARDI"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Dokter Moewardi sejatinya sosok yang biasa-biasa saja. Sederhana. Julukannya saja dokter gembel.

Saudaranya banyak, ada dua belas orang. Dia anak kelima. Pernah ditunjuk Bung Karno sebagai Menteri Pertahanan tapi dia menolak, lebih suka menyembuhkan pasien. Sayang, nasibnya naas saat Peristiwa Madiun meledak. Dia menghilang, tak ada kabar, entah ke mana, kuburannya pun entah ada di mana.

Moewardi, selain seorang dokter, dia adalah politikus dan organisator ulung.Dia senang dengan kepanduan, cikal bakal pramuka. Pengalaman dan keterampilannya sebagai pandu, melambungkan namanya sebagai ketua umum kepanduan, Kepanduan Bangsa Indonesia.

Dokter Moewardi, pernah menolak tawaran dari Presiden Sukarno menjadi Menteri Pertahanan, hanya karena dia dokter. Pengabdiannya pada kemanusiaan, lebih penting daripada jabatan-jabatan politis apa pun juga.

Dia, yang kemudian menjadi pemimpin umum organisasi pertahanan Barisan Banteng ini, mendahulukan orang sakit di atas segala-galanya. Bahkan kalau untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sekalipun. Kini namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit di Solo, RSUD dr. Moewardi.

---

Moewardi adalah putra kelima dari tiga bersaudara keluarga Sastrowardono. Dia adalah murid yang cerdas, sejak kecil. Tak salah kalau kemudian dia mendapat beasiswa untuk sekolah di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia.

Lulus sekolah dokter, dia tak mau menjadi pegawai Belanda. Penentang penjajahan yang gigih ini berprinsip, lebih baik membayar semua ikatan dinas dengan jalan praktik daripada kerja untuk pemerintah Belanda.

Dokter kelahiran Pati, Jawa Tengah, tahun 1907 ini akhirnya bekerja sebagai asisten di bekas sekolahnya, STOVIA. Itu pun dengan syarat, dia boleh meneruskan pendidikan sebagai spesialis penyakit hidung. Di sela-sela waktu mengajar dan belajar ini pun Moewardi meneruskan hobinya berorganisasi, menjadi anggota Parindra, Jong Java dan Indonesia Moeda.

Dalam organisasi Pandu, dia menjadi pimpinan umum yang langsung terjun ke lapangan, memimpin latihan-latihan kepanduan. Setelah lulus sebagai spesialis hidung, Moewardi bekerja di rumah sakit Jati Petamburan.

Kepanduan bukan wadah kegiatan remaja thok. Tapi juga wadah untuk mengembangkan diri ke arah politik. Itu yang dilakukan dr. Moewardi. Berkat pengalamannya di kepanduan, Moewardi berhasil tampil sebagai tokoh politik. Selain di kepanduan, dia juga melatih Barisan Pelopor, (Hansip sekarang) organisasi yang dibentuk Bung Karno menjelang proklamasi.

Moewardi kemudian diangkat sebagai pimpinan umum Barisan Pelopor Jakarta, dengan ketua Soediro. Tugas baru ini dipikulnya dengan penuh tanggung jawab. Beberapa hari menjelang proklamasi Bung Karno memutuskan Moewardi menjadi pimpinan Barisan Pelopor untuk seluruh Jawa. Tugas utama Barisan Pelopor ini adalah mengamankan jalannya proklamasi.

Setelah 17 Agustus 1945 tugas Moewardi menjadi ringan. Dia kembali pada tugas mulianya, membantu memberi kesembuhan pada orang sakit. Dia juga kemudian menawarkan dibentuknya Barisan Pelopor Istimewa selaku pengawal pribadi Bung Karno. Setelah Bung Karno terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, dr. Moewardi diangkat sebagai Kepala Bagian Keamanan.

Tugas baru dalam republik muda ini membuatnya makin jarang pulang. Tapi hal ini sama sekali tak memadamkan semangatnya untuk mengabdi di bidang kemanusiaan lewat pengobatan. Dia menolak diangkat menjadi Menteri Pertahanan karena dia tetap ingin menjadi dokter. Dengan kerendahan hati dia menolak jabatan yang tinggi ini.

Dokter yang kepala Bagian Keamanan istana ini mendapat tantangan berat pada akhir tahun 1945. Nama baiknya dipertaruhkan dengan beredarnya isu bahwa Barisan Pelopor yang menjadi tanggung jawabnya, mulai melakukan teror ke rakyat. Bahkan mereka menjadi perampok, pembunuh, ketika pasukan keamanan ini sedang turun tangan melawan Inggris di daerah Klender.

Dr. Moewardi pada mulanya tidak peduli dengan isu itu. Tapi toh kemudian dia mau mendengarkan saran kawan-kawan dekatnya. Karena situasi di Jakarta makin berbahaya bagi anggota pimpinan organisasi ini, maka mereka kemudian dipindahkan ke Solo. Namanya pun berganti menjadi Barisan Banteng.

Segera Moewardi mengembangkan sayapnya dengan membuka seksi-seksi di tiap karesidenan, kabupaten, dan kawedanan. Sebagai pemimpin umum dia pun rajin mengadakan inspeksi ke tiap seksi untuk memberi semangat. Di bawah pimpinannya Barisan Banteng ini berkembang luas sampai Jawa Timur dan Bandung di Jawa Barat.

Dia juga membuka hubungan dengan tokoh militer seperti Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Dalam lawatannya, sering dr. Moewardi ikut terlibat langsung dalam pertempuran-pertempuran. Seperti ketika dia mengunjungi Bandung, dia ikut terlibat dalam pertempuran "Bandung Lautan Api" bersama tokoh-tokoh Barisan Banteng di Bandung seperti Abdul Haris Nasution dan Suprajogi. Atau ketika dia di Semarang ikut terjun dalam pertempuran di Srondol.

Kehidupan pribadi dr. Moewardi tak pernah berubah. Kesederhanaan tetap menjadi prinsip hidupnya. Untuk menyambung hidup keluarga sehari-harinya, Moewardi membuka praktik dokter.

Di sela-sela kesibukannya dengan pasien-pasiennya, juga dengan Barisan Banteng, dr. Moewardi masih sempat mendirikan Sekolah Kedokteran, bersama beberapa rekan dokternya. Sekolah Tinggi Kedokteran ini letaknya di Jebres, walau hanya beberapa minggu, kemudian pindah ke Klaten.

Awal tahun 1948 situasi kota Solo mulai tegang, sejak pecahnya partai Front Demokrasi Rakyat pimpinan Amir Syarifuddin. Resimen Banteng I dan II memihak pada Amir. Moewardi sendiri tidak tinggal diam. Bersama Maruto dia membentuk Gerakan Revolusi Rakyat. Kelompok Amir tidak setuju dan mulai mengadakan teror dan pembunuhan serta penculikan. Panglima Divisi IV dibunuh.

Suasana makin tegang. Dr. Moewardi disarankan untuk tidak membuka praktik lagi di Jebres. Keamanan penerima bintang Mahaputra klas III (tahun 1963) terancam. Apalagi ketika kedua pengawal pribadinya ditemukan terbunuh. Seluruh Barisan Banteng memintanya untuk tidak meninggalkan rumah.

Tugas kemanusiaan tak bisa ditinggalkannya. Tanggal 13 September 1948, pagi hari seperti biasanya dr. Moewardi meninggalkan rumah menuju rumah sakit Jebres. Hari itu tak ada tanda-tanda istimewa. Dia pergi dengan meninggalkan uang Rp10.000 pada istrinya untuk membeli sprei. Dia mampir ke Markas Besar Barisan Banteng sebelum ke Jebres. Anggota Stafnya sempat menahannya beberapa waktu.

Tapi sekitar jam 9.00 dia nekat berangkat, ingat janjinya pada pasien yang harus dioperasi. Tanpa pengawal, dr. Moewardi berangkat dengan andong. Ini perjalanan terakhirnya, dr. Moewardi tak pernah sampai ke Jebres. Dokter bedah dan spesialis hidung ini hilang begitu saja. Tak seorang pun menemukan jenazahnya. Dia masih tetap Moewardi yang menolak jadi Menteri demi pasien-pasiennya. Bahkan demi kehidupan orang lain, dia merelakan nyawanya jadi taruhannya. Dokter ini telah berlalu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.