Bintang Jasa atau Sekadar Balas Jasa? Mempertanyakan Makna Tanda Kehormatan Negara
Dodi Esvandi August 27, 2025 01:33 PM

Oleh: Achmad Fadillah 
Pemerhati dan Peneliti Kebijakan Publik

Di tengah kemegahan Istana Negara pada 25 Agustus 2025 lalu, 141 tokoh bangsa menerima tanda kehormatan dari Presiden Prabowo Subianto. 

Namun, di balik kilau medali dan jabat tangan seremonial, tersembunyi kegelisahan publik yang mendalam. 

Alih-alih menjadi perayaan atas prestasi, peristiwa ini justru memicu perdebatan sengit tentang esensi penghargaan negara. 

Pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang bukanlah "siapa" yang menerima, melainkan "mengapa"—sebuah pertanyaan yang menguji batas antara pengakuan tulus atas jasa dan dugaan transaksionalisme politik.

Penganugerahan ini, terutama Bintang Mahaputera, berisiko menjadi babak baru dalam devaluasi simbol-simbol kehormatan kita. 

Ketika tanda jasa yang semestinya menjadi milik pahlawan sejati disematkan pada figur-figur yang lekat dengan kontroversi dan kedekatan personal dengan kekuasaan, kita patut cemas. 

Jangan sampai kehormatan tertinggi bangsa ini kehilangan cahayanya, berubah makna dari bintang jasa menjadi sekadar tanda mata.

Standar Emas yang Terlupakan

Untuk memahami betapa krusialnya persoalan ini, mari kita pejamkan mata sejenak dan kembali pada standar emas yang diletakkan oleh para pendahulu kita. 

Bintang Mahaputera, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2009, dianugerahkan atas "jasa luar biasa". 

Frasa ini bukanlah sekadar jargon hukum, melainkan sebuah tolok ukur sakral yang lahir dari pengorbanan. 

Bayangkan Jenderal Soedirman, memimpin perang gerilya selama tujuh bulan dengan tubuh yang digerogoti penyakit, ditandu keluar-masuk hutan demi tegaknya republik. Itulah "jasa luar biasa".

Ingatlah Mohammad Natsir, yang dengan "Mosi Integral"-nya berhasil merajut kembali serpihan-serpihan Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI yang utuh dan berdaulat. 

Itulah "jasa luar biasa". 

Kenanglah Ki Hajar Dewantara, yang mendedikasikan hidupnya untuk Taman Siswa, menyalakan pelita pendidikan bagi kaum pribumi yang hidup dalam kegelapan kolonialisme. 

Pengorbanan, visi, dan dedikasi tanpa pamrih inilah yang menjadi standar kehormatan sejati. 

Kini, dengan berat hati, mari kita sandingkan standar agung tersebut dengan realitas penganugerahan hari ini.

Nepotisme, Loyalitas, dan Patronase

Tiga fenomena dalam daftar penerima tahun ini menjadi pusat kegelisahan. 
Pertama, penganugerahan Bintang Mahaputra kepada Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha terkemuka yang juga adik kandung Presiden. 

Tak ada yang menampik kontribusi Tuan Hashim di bidang filantropi atau lingkungan hidup—bahkan negara pernah memberinya penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada 2017 dan anugerah Kalpataru pada 2014 atas jasanya di bidang lingkungan.

Namun, ketika penghargaan sipil tertinggi kedua disematkan oleh kakaknya sendiri, persoalannya bukan lagi soal jasa, melainkan etika. 

Ini adalah manifestasi nepotisme yang terang-terangan, yang mengaburkan batas sakral antara negara, keluarga, dan gurita bisnis. 

Ironisnya, Hashim sendiri dilaporkan merasa "tak nyaman" menerima penghargaan itu, sebuah sentimen yang seolah mengamini nurani publik.

Kedua, Letkol Teddy Indra Wijaya, seorang perwira berprestasi yang dianugerahi Bintang Mahaputera Utama. 

Meski rekam jejak militernya mengagumkan, penghargaan ini diberikan atas perannya sebagai ajudan dan kini Sekretaris Kabinet. 

Ini menciptakan preseden yang merisaukan: bahwa loyalitas dan efektivitas dalam melayani pemimpin secara personal kini setara nilainya dengan pengabdian institusional yang berdampak nasional. 

Budaya patrimonialisme, di mana kedekatan dengan pusat kekuasaan lebih berharga daripada meritokrasi, berisiko tumbuh subur salah satunya akibat dari peristiwa simbolik ini.

Ketiga, penganugerahan masif kepada para menteri kabinet yang baru menjabat, seperti Bahlil Lahadalia yang menerima kelas tertinggi, Bintang Mahaputra Adipurna. 

Argumen Istana bahwa ini didasarkan pada "prestasi 10 bulan" terasa tidak proporsional untuk sebuah kehormatan yang seharusnya merefleksikan pencapaian monumental. 

Praktik ini mengubah fungsi tanda kehormatan dari pengakuan atas pengabdian seumur hidup menjadi semacam bonus kinerja bagi sekutu politik. 

Ini adalah bentuk patronase yang jika dinormalisasi, akan membuat Bintang Mahaputera tak lebih dari sekadar aksesori jabatan.

Luka pada Kepercayaan Publik

Praktik ini meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar perdebatan sesaat. 

Ia mengikis kepercayaan kita sebagai warga negara. 

Ketika simbol negara yang paling sakral dapat diobral untuk kepentingan politik jangka pendek, masyarakat akan menjadi sinis. 

Kehormatan yang seharusnya menginspirasi justru melahirkan apatisme. 

Lebih berbahaya lagi, ini adalah normalisasi konflik kepentingan. 

Memberikan penghargaan tertinggi kepada keluarga inti atau kroni bisnis seolah mengirim pesan bahwa pertautan antara kekuasaan dan kepentingan pribadi adalah hal yang wajar. 

Lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) telah berulang kali mengingatkan bahaya laten ini. 

Ketika elite tertinggi memberi teladan yang buruk, bagaimana kita bisa menuntut integritas dari aparatur di bawahnya?

Tentu, pihak Istana akan berlindung di balik argumen hak prerogatif Presiden. 

Namun, hak prerogatif bukanlah kekuasaan absolut tanpa batas etika dan nalar publik. 

Ia harus dijalankan sesuai semangat undang-undang, yaitu untuk menghargai "jasa luar biasa", bukan untuk membagi-bagikan "kue kekuasaan". 

Penganugerahan tanda kehormatan bukanlah peristiwa personal antara Presiden dan penerima. 

Ia adalah ritual kenegaraan di mana bangsa ini secara kolektif menundukkan kepala, mengakui, dan berterima kasih kepada putra-putri terbaiknya. 

Jika proses ini tercemar oleh nepotisme dan patronase, maka yang dihina bukanlah para kritikus dan pemerhati kebijakan, melainkan memori kolektif tentang para pahlawan dan kecerdasan rakyat Indonesia.

Sudah saatnya kita menuntut reformasi. Kriteria "jasa luar biasa" harus diperjelas, Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan perlu diperkuat independensinya, dan transparansi harus menjadi nafas dalam setiap prosesnya. 

Kita harus mengembalikan cahaya bintang itu ke tempatnya yang semestinya: sebagai penanda jasa tulus bagi Ibu Pertiwi, bukan sekadar perhiasan bagi lingkar kekuasaan.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.