TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekolah Rakyat disebut merupakan pendekatan holistik untuk mengatasi masalah kemiskinan ekstrem dan tingginya angka putus sekolah.
Dampaknya bukan hanya menyentuh siswa, tetapi juga keluarga dan masyarakat luas.
“Pendekatan yang holistik itu memiliki tujuan inti, yaitu memutus rantai kemiskinan antargenerasi melalui pendidikan. Karena keluarga miskin dengan anak putus sekolah sangat mungkin akan menghasilkan generasi miskin berikutnya. Di sinilah nilai strategis dari program ini,” ujar Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Dr Harris Arthur Hedar, SH, MH, Rabu (27/8/2025).
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, S.H., M.H., adalah seorang akademisi dan praktisi hukum yang dikenal luas di Indonesia. Ia merupakan Guru Besar Kehormatan di bidang Hukum Kebijakan Publik.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) itu menilai, pendidikan dengan model asrama bagi anak-anak miskin dan putus sekolah bukan hanya menjamin akses pendidikan, tetapi juga peningkatan taraf hidup anak-anak melalui penyediaan fasilitas akomodasi dan nutrisi yang layak.
"Tentu terjadi peningkatan kualitas hidup, karena selain pendidikan akademik, sekolah dengan model asrama menjamin akomodasi dan nutrisi, juga membina karakter. Sehingga outputnya adalah individu yang lebih sehat, terampil, dan berdaya saing,” beber Wakil Rektor Universitas Jayabaya Jakarta itu.
Lebih jauh, Harris menekankan agar bangsa Indonesia memandang dengan jernih dan obyektif kebijakan ini.
Menurutnya, seluruh program Presiden Prabowo Subianto mulai dari sekolah rakyat hingga makan bergizi gratis bagi siswa dan ibu hamil, bermuara pada satu tujuan besar, yakni membangun ketahanan nasional.
“Salah satu aspek ketahanan nasional adalah kualitas sumber daya manusia. Itu yang dicapai melalui pendirian sekolah rakyat dan program makan bergizi gratis. Selain ketahanan energi, pangan, dan pertahanan keamanan, Presiden juga menekankan pembangunan manusia sebagai fokus utama,” jelas Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) ini.
Harris optimistis, bila program ini konsisten dijalankan hingga menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), maka peta jalan Indonesia Maju akan semakin nyata.
Gagasan sekolah rakyat sejatinya bukan hal baru dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, konsep sekolah rakyat lahir untuk memberi kesempatan bagi anak-anak dari keluarga sederhana memperoleh pendidikan dasar.
Sekolah rakyat atau “SR” saat itu menjadi jenjang pendidikan enam tahun, sebelum kemudian digantikan dengan Sekolah Dasar (SD) melalui reformasi pendidikan pada era 1970-an.
Kini, istilah sekolah rakyat kembali dihidupkan dengan semangat baru oleh Presiden Prabowo. Bedanya, sekolah rakyat modern bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan dengan konsep asrama, penyediaan gizi, dan pembinaan karakter.
Pendekatan ini bertujuan menyelesaikan akar persoalan pendidikan sekaligus kemiskinan ekstrem yang masih menghantui banyak daerah di Indonesia.
Transformasi inilah yang dipandang para akademisi dan praktisi sebagai langkah strategis. Sekolah rakyat bukan sekadar tempat belajar, tetapi instrumen negara untuk memastikan tidak ada lagi anak yang tertinggal hanya karena faktor ekonomi.
“Kalau ini berlanjut hingga ke pelosok dan daerah 3T, kita akan melihat generasi baru Indonesia yang lebih sehat, berpendidikan, dan memiliki daya saing global,” tutup Harris.