Kubah hijau yang menjadi ciri khas Gedung DPR/MPR sejatinya melambangkan kepak sayap burung yang hendak terbang. Bukan yang lain
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Aksi kembali mendatangi Gedung DPR/MRI di kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025). Mereka terdiri atas elemen buruh dan mahasiswa, tuntutannya di antaranya adalah pengesahan RUU Ketenagakerjaan Baru. Juga protes terkait gaji dan tunjangan fantastis anggota DPR RI.
Tapi kali ini kita tidak akan membahas tentang demonstrasi yang terjadi, tapi soal riwayat atau sejarah Gedung DPR RI, kenapa bentuknya begitu. Semua berawal dari pertanyaan, "Kok Gedung DPR bentuknya seperti itu?"
Ada yang bilang, bentuk Gedung DPR RI seperti bra perempuan, ada yang bilang seperti pantat manusia, ada yang bilang seperti punggung kura-kura, tapi sebenarnya yang tepat itu adalah gambaran kepakan sayap burung yang akan lepas landas.
Bagaimana riwayatnya?
Sebagaimana disebut di awal, kubah hijau besar yang ikonik pada Gedung DPR/MPR itu adalah lambang kepakan sayap burung yang akan lepas landas. Apa maksud dari kepakan sayap yang hendak lepas itu?
Mengutip Kompas.com, Gedung DPR/MPR RI mulai dibangun pada 8 Maret 1965 melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965. Melalui surat tersebut, Presiden Soekarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk melaksanakan pembangunan proyek political venues.
Menurut Keppres 48/1965, political venues diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional di bidang politik dalam rangka penggalangan persatuan bangsa-bangsa. Kita tahu, ketika itu Bung Karno sedang menggagas penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) di Jakarta. Conefo adalah konferensi internasional yang mendukung gagasan pembentukan tatanan dunia baru.
Anggota Conefo adalah negara-negara sosialis, komunis, dan kekuatan progresif kapitalis, yang akan bersaing dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lokasi yang dipilih untuk pembangunan proyek political venues bersebelahan dengan sport venues di Gelanggang Olahraga Senayan. Keppres 48/1965 juga memuat ketentuan-ketentuan tambahan, bahwa proyek political venues harus sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus selesai sebelum 17 Agustus 1966.
Sebagai pihak penerima pelimpahan tugas untuk menjadi penanggungjawab pembangunan proyek, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Soeprajogi segera menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Nomor 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo atau disingkat Kopronef. Pada 19 April 1965, dalam sebuah upacara dipancangkan tiang pertama pembangunan proyek political venues yang nantinya dikenal sebagai Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI.
Sesuai permintaan Presiden Soekarno, kompleks bangunan political venues harus memiliki kepribadian khas Indonesia, tetapi juga sanggup menjawab tantangan zaman dan menampilkan keunggulan karya rancang bangun para teknisi Indonesia.
Sebelum dimulainya proyek pembangunan political venues, pemerintah mengadakan sayembara rancangan bangunan sesuai permintaan Presiden Soekarno. Pemenang sayembara adalah Soejoedi Wirjoatmodjo, yang kini dikenal sebagai arsitek gedung DPR/MPR RI. Menjelang HUT kemerdekaan Indonesia ke-20, seluruh struktur berbagai bangunan telah terwujud dan tersisa beberapa bagian yang memerlukan sentuhan akhir.
Tapi sentuhan akhir tersebut terhambat dieksekusi akibat meletusnya peristiwa G30S yang mengguncang segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Pembangunan selesai pada 1983 Pembangunan baru dilanjutkan kembali setelah Soekarno lengser dan Soeharto menjadi Presiden RI.
Namun lengsernya Sukarno turut membuat tujuan pembangunan berubah. Berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 79/U/Kep/11/1966 tanggal 9 November 1966, peruntukan pembangunan telah diubah menjadi Gedung MPR/DPR RI. Gedung MPR/DPR RI diharapkan dapat digunakan sebagai tempat persidangan para wakil rakyat untuk menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat.
Bentuk Gedung MPR/DPR RI sebagaimana terlihat saat ini memiliki struktur dan konstruksi yang khas.
Struktur atap, yang sering dianggap menyerupai tempurung kura-kura, melambangkan kepakan sayap burung yang akan lepas landas. Kompleks Gedung DPR/MPR terdiri dari beberapa gedung yang awalnya dinamai dengan nama bahasa Inggris, misalnya seperti Main Conference Building.
Setelah itu, sempat diubah dengan menggunakan nama dari bahasa Sanskerta, misalnya Grahatama, Pustaloka, dan Lokawirasabha.
Pada 14 Desember 1998, nama-nama gedung dalam Kompleks Gedung DPR/MPR diubah menggunakan nama dalam Bahasa Indonesia sesuai usulan anggota MPR RI. Seperti Gedung Nusantara, Gedung Nusantara I, Gedung Nusantara II, Gedung Nusantara III, Gedung Nusantara IV, Gedung Nusantara V, Gedung Sekretariat Jenderal MPR/DPR/DPD, Gedung Mekanik, dan Gedung Balai Kesehatan
Begitulah, jadi, kubah hijau yang menjadi ciri khas Gedung DPR/MPR itu adalah lambang kepakan sayap yang hendak terbang. Bukan yang lain ya.