Adies Kadir Masih Dapat Gaji Wakil Ketua DPR Meski Nonaktif, Bahlil: Nanti Kita Lihat
Adi Suhendi September 02, 2025 01:32 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia mengatakan pihaknya enggan menanggapi kritikan sejumlah akademisi mengenai keputusan partainya memberikan sanksi nonaktif kepada Adies Kadir sebagai Wakil Ketua DPR RI. 

Dalam kritikannya, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai politik tetap berhak menerima gaji dan fasilitas sebagai legislator. 

Menanggapi hal itu, Bahlil mengaku enggan untuk merespons kritikan tersebut. 

Termasuk desakan partainya segera melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW).

"Nanti kita lihat," ujar Bahlil di Istana Negara, Jakarta, Senin (1/9/2025).

Hal yang pasti, kata Bahlil, pihaknya sudah memberikan sanksi nonaktif kepada Adies Kadir.

"Kemarin dari DPP Golkar seperti yang sudah disampaikan Sekjen bahwa Pak Adies Kadir sudah dinonaktifkan," katanya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai politik tetap berhak menerima gaji dan fasilitas sebagai legislator. 

Sebab, status keanggotaan mereka belum berubah secara hukum selama belum diberhentikan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Sejumlah anggota DPR dinyatakan nonaktif oleh partainya, antara lain Ahmad Sahroni dan Nafa Indria Urbach dari Partai NasDem, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.

Titi menjelaskan, istilah nonaktif memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), namun penggunaannya sangat spesifik. 

Pasal 144 UU MD3 mengatur bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan, apabila pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses.

"Jadi, konteks “nonaktif” dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum," kata Titi kepada wartawan, Senin (1/9/2025).

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai nonaktif hanya berlaku pada pimpinan atau anggota MKD yang diadukan.

Menurut Titi, selain ketentuan itu, perubahan status anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3. 

Proses ini melibatkan usulan dari partai politik, pimpinan DPR, dan penetapan oleh Presiden.

Karena itu, ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, hal tersebut masih berupa keputusan internal partai atau fraksi, dan belum merupakan mekanisme hukum yang otomatis mengubah status keanggotaannya di DPR.

"Dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW. Pergantian antarwaktu bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR," ujar Titi.

Titi menjelaskan, Pasal 239 UU MD3 menyebutkan bahwa anggota DPR berhenti antarwaktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. 

Pemberhentian sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan apabila anggota DPR memenuhi sejumlah alasan, seperti tidak melaksanakan tugas selama tiga bulan tanpa keterangan, melanggar sumpah atau kode etik DPR, dijatuhi pidana lima tahun atau lebih dengan putusan berkekuatan hukum tetap, diusulkan oleh partai politiknya, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, melanggar larangan dalam UU MD3, diberhentikan sebagai anggota partai politik, atau menjadi anggota partai politik lain.

Selain itu, kata dia, mekanisme PAW diatur lebih lanjut dalam Pasal 242 UU MD3.

Apabila seorang anggota DPR berhenti antarwaktu, maka posisinya digantikan oleh calon anggota dari partai yang sama dan daerah pemilihan yang sama, berdasarkan suara terbanyak berikutnya. 

Jika calon pengganti tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat, maka kursi diberikan kepada calon berikutnya.

Dengan demikian, sistem PAW memastikan kontinuitas representasi politik berdasarkan hasil pemilu, tanpa menambah jumlah kursi di luar perolehan suara partai.

"Masa jabatan anggota DPR pengganti berlangsung untuk sisa periode anggota yang digantikannya," jelasnya.

Selain PAW, UU MD3 juga mengatur mengenai pemberhentian sementara anggota DPR. 

Menurut Pasal 244, pemberhentian sementara dapat dilakukan apabila seorang anggota DPR menjadi terdakwa dalam perkara pidana umum dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun, atau menjadi terdakwa dalam perkara pidana khusus seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan tindak pidana berat lainnya.

Jika kemudian anggota DPR dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka ia diberhentikan sebagai anggota DPR. Sebaliknya, apabila dinyatakan tidak bersalah, maka kedudukannya dipulihkan.

"Selama dalam status pemberhentian sementara, anggota DPR tetap memperoleh sebagian hak keuangan, dengan tata cara lebih lanjut diatur melalui Peraturan Tata Tertib DPR," tegasnya.

Dengan demikian, kata dia, PAW merupakan mekanisme formal dan satu-satunya cara yang sah secara hukum untuk mengakhiri masa jabatan anggota DPR sebelum waktunya. 

"Proses ini tidak bisa digantikan dengan istilah nonaktif sebagaimana kerap dipakai partai politik, karena nonaktif hanya berdampak secara internal pada relasi kader dengan fraksi atau partai, bukan pada status resmi sebagai anggota DPR," ucap Titi.

Titi menegaskan, dari perspektif akuntabilitas publik, penggunaan istilah nonaktif oleh partai politik berada di luar koridor UU MD3 dan Tata Tertib DPR, sehingga dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat.

"Agar lebih jelas dan demi menjaga kepercayaan masyarakat, maka partai politik harus mempertegas apa yang dimaksud dengan penonaktifkan tersebut. Serta menjelaskan kepada masyarakat konsekuensi dari penonaktifan terhadap status dan hak keanggotaan dari anggota DPR yang dinonaktifkan itu," tegasnya.

"Selama belum ada pemberhentian antarwaktu atau pemberhentian tetap dari keanggotaan DPR, maka logikanya masih menerima gaji dan fasilitas kedewanan," sambung Titi.

diketahui, lima anggota DPR dinonaktifkan partainya masing-masing.

Hal tersebut buntut pernyataan kontroversial mereka soal tunjangan anggota DPR RI mendapatkan kecaman dari masyarakat.

Kecaman ini juga disertai aksi unjuk rasa yang digelar di berbagai daerah. Bahkan, beberapa dari antara anggota DPR tersebut rumahnya dijarah.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.